webnovel

Maafkan Saya, Rey

"Ah, kamu berlebihan. Kamu tenang saja, Papa akan tetap menanam saham di perusahaan papimu. Papa sudah terlanjur nyaman dan percaya dengan perusahaannya."

"Wah, saya jadi terharu. Terimakasih, Pak!" sambung Papi.

"Sama-sama, Pak Rully."

"Pa, Zeze mau duduk dekat Bunda. Boleh?" tanya Zeze tiba-tiba.

"Tentu boleh, dong, Sayang," jawabku padanya.

Dia langsung berlari ke arah meja di mana Rey sedang duduk sendirian. Ada kelegaan di sini, melihat Zeze menemani Rey di sana. Setidaknya, dia tidak merasa sendirian berada di gedung ini.

"Nicole tidur di rumah Oma, yuk, malam ini!" ajak Bu Tety pada Nicole.

Dia memang terlihat lebih dekat dengan Nicole dibanding Zeze. Mungkin karena Nicole tinggal bersama mamanya, sehingga beliau leluasa menemui cucunya itu.

"Nanti saja, Oma. Setelah tidur di rumah Papa, baru Nicole main ke rumah Oma."

"Baiklah, Sayang. Cium dulu Oma," pintanya.

Nicole mendekat dan mencium Pipi omanya, tidak lupa Pak Suryo juga mendapatkan kecupan manis dari bibir putra kesayanganku itu di kedua pipinya.

"Sayang, jangan terlalu lama ada di rumah Very. Lekas kembali ke apartemenmu, atau ke rumah Mama saja. Tidak enak sama perempuan yang sudah menjadi istri Very sekarang."

Mama mengingatkan Dhiya--anaknya.

"Iya, Ma," jawabnya malas.

Papa dan Mama pamit, setelah mengobrol banyak hal dengan kami. Sedangkan Dhiya hanya diam. Senyum semringah yang baru saja terlihat di wajah cantiknya, lenyap sudah. Nicole beberapa kali terlihat bercanda dengan Papi. Sudah lama mereka tidak bertemu. Di samping kesibukan Papi, Nicole juga ikut mamanya, sehingga jarang mampir ke rumah. Entah kalau dengan Mami. Aku yakin, mereka sering bertemu di belakangku. Mengingat Mami dan Dhiya terlihat sangat dekat dan sepertinya memiliki misi yang sama. Setelah cukup lama bergabung di sini, kurasa tidak ada lagi yang akan dibahas. Kuputuskan kembali mendekati Rey, setelah kepergian Mama dan Papa. Tidak kuhiraukan tatapan sinis Dhiya dan Mami.

"Hey," sapaku pada Rey. Dia hanya tersenyum sambil memangku Zeze dan memeluknya. "Sayang, Bunda susah loh pakai baju seperti itu, sambil pangku kamu."

"Enggak apa-apa, Pak. Saya nggak merasa kesulitan, kok."

"Bunda saja nggak apa-apa, kok, Pa," lanjut Zeze.

"Emmm. Ada yang belain sekarang, ya!" Aku mencubit gemas pipinya.

Dia tertawa riang, sementara Rey ikut tertawa melihat kami. Tidak berapa lama, putri kecilku dipanggil oleh Mami. Dia langsung turun dari pangkuan Rey dan berlari ke arah neneknya. Tanpa kuduga, Papi mendekat ke arah kami. Selanjutnya, memintaku berbincang dengan beberapa koleganya yang duduk di ujung sana. Papi juga memperbolehkanku mengajak Rey untuk bergabung bersama mereka dan memperkenalkannya sebagai menantu sekaligus istriku di sini. Setelah itu, Papi berlalu menemui tamu-tamu lainnya.

"Nyonya Very, ayo, ikut saya ke sana. Akan saya kenalkan dengan orang-orang di sini," ucapku seraya berdiri dan mengulurkan tangan.

Rey tersipu malu diperlakukan seperti itu. barangkali dia menganggap sikapku berlebihan, mengingat selama ini aku tidak pernah seperti itu.

"Pak, malu dilihat orang," jawabnya lirih sambil menerima uluran tanganku.

Aku hanya tertawa mendengar jawabannya. Kami berjalan sambil bergandengan tangan. Dengan santai, kami melangkah menuju meja yang berada di ujung ruangan yang sangat luas ini. Ada tiga pasang orang yang duduk di sana. Aku menyalami mereka satu per satu, kemudian mempersilakan istriku yang cantik ini untuk duduk.

"Wah, putra semata wayangnya Pak Hendrawan, nih. Katanya tetap sukses ya, walaupun kerja di luar," ucap seorang pria berbadan tambun di hadapan kami.

Aku tertawa mendengarnya. "Saya bersyukur, Pak," jawabku singkat.

"Ini siapa?" tanya wanita yang ada di sampingnya, sambil menatap sinis.

"Oh, ini istri saya. Perkenalkan, namanya Reynata."

Istriku menundukkan kepala sopan dan tersenyum pada semua orang.

"Keluarganya bisnis apa, Jeng?" tanya seorang perempuan berlipstik tebal di seberang meja.

"Wah, benar. Saya juga ingin tahu. Setelah berpisah dengan anak penanam saham terbesar di perusahaan. Sekarang, Pak Hendrawan mendapatkan besan yang lebih kayakah?" sahut pria bertubuh kurus di sampingnya.

Rey mulai terlihat gugup, berkeringat dan tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Aku tahu kekhawatiran hatinya. Tidak mungkin dia akan menjawab semua pertanyaan itu.

"Istri saya terlahir dari keluarga yang sangat kaya." Aku memandang wajah mereka satu per satu. Kemudian melanjutkan kalimat, "Keluarganya kaya hati. Mereka tahu tata krama yang baik. Tidak menilai orang lain hanya dari segi materi, serta menghormati semua orang. Tidak pandang bulu dan tidak berbulu domba."

Kemudian mereka berbisik-bisik setelah menengar ucapanku. Sementara aku terus menatap tajam mereka satu persatu. Orang-orang seperti ini kadang pantas untuk diingatkan, supaya tidak terbiasa menghina orang lain.

"Pak, saya tidak apa-apa," sambung Rey, karena khawatir melihatku yang sedikit emosi.

"Maaf, kami ada urusan. Permisi!"

Aku langsung berdiri dan mengamit tangan Rey untuk menjauh dari sana menuju ke meja kami semula, karena aku tahu dia tidak nyaman berada di sana.

"Ini minuman buat kamu."

Kusodorkan jus jeruk yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Rey langsung meminum jusnya sampai habis. Entah benar-benar haus, atau hanya ingin membasahi tenggorokannya yang kering karena gugup.

"Saya ke toilet sebentar, ya," pamitku dan dia mengangguk.

"Pak!" panggilnya sembari menarik tangan, saat aku sudah berdiri dan hendak menjauh.

"Iya, Rey?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.

"Maaf," katanya dengan wajah penuh penyesalan.

"Buat apa?" Dahiku berkerut bingung.

"Karena membuat Bapak malu memiliki istri miskin seperti saya."

Aku yang sudah berdiri kembali duduk di sisinya, lalu menatap ke dalam bola matanya. "Kamu kaya, Rey. Kamu adalah wanita terkaya yang pernah saya temui. Kaya hati, kaya cinta, dan kasih sayangmu seluas samudera. Enggak ada pria yang lebih beruntung dari saya, karena memiliki wanita sepertimu."

Wajahnya yang tertunduk dan hampir meneteskan air mata kini melihatku. Kuulurkan tangan dan mengusap lembut pipinya yang tampak kemerahan karena blush on.

"Terima kasih, Pak."

Aku hanya tersenyum, kemudian mengambil jemarinya. Kukecup hangat punggung tangannya.

"Sama-sama. Kamu tau, kamulah yang terbaik. Percaya sama saya." Rey mengangguk seraya tersenyum haru.

Setelah menenangkannya aku langsung pamit ke toilet, untuk menenangkan diri sendiri.

***

Sampai di toilet, aku membasuh wajah. Hati masih terasa panas, melihat sikap orang-orang di sini. Seharusnya aku memang tidak membawa Rey ke gedung ini. Karena kebanyakan dari mereka bukan manusia, mereka bahkan terlihat seperti monster yang sering menyakiti orang lain. Kasihan sekali Rey. Dia pasti bingung di hadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang seperti itu.

Arrgg!!

Prakk!!

Aku meninju kaca, sampai retak dan kepalan tanganku terluka.

"Maafkan saya, Rey. Maaf ..." ucapku lirih seraya menundukkan kepala dalam-dalam.