webnovel

6. The Will

"Aku teringat dua belas tahun yang lalu."

"Itu pertama kali aku bertemu denganmu, saat kau adalah seorang murid lama dan aku adalah seorang murid baru, di akademi paman Pius, hanya beberapa jam perjalanan dari pusat ibukota."

"Karena aku adalah orang yang pendiam dan sedikit angkuh, semua orang enggan berteman denganku, kecuali kau yang dengan tingkah sok akrab mu melontarkan berbagai candaan padaku."

"Aku dan kau mulai akrab, kita menghabiskan waktu bersama, membuat puisi, melukis, mendengar paman Pius menasehatimu saat kau berusaha mencuri cat minyak, dan.. Banyak lagi! Aku bahkan tak ingat karena saking banyaknya.""

"Tak perlu waktu lama bagiku untuk dirundung karena bertingkah agak arogan, tapi hanya perlu dua hari bagimu untuk menyelesaikan mereka, ya tuhan, caramu berkelahi sangat mirip seperti anak lelaki saat itu."

"Kau sangat kuat, dan aku sangat bergantung padamu."

"Sekarang katakan padaku Caesar."

Cornelia menoleh ke Julius Caesar dengan senyum putus asa.

"Apa yang bisa ku lakukan tanpanya?"

***

Sang Barones telah mati.

Voliar membawa surat perintah dari raja untuk menghabisinya atas tuduhan menjadi dalang pemberontakan suku Azerim.

Mansiunnya langsung diambil alih, semua yang melawan ditusuk oleh besi merah tajam Tarsia. Caesar, Cornelia, dan belasan pelayan lainnya diampuni oleh Voliar, walaupun Cornelia sempat melawan dengan tubuh yang masih belum pulih sepenuhnya, entah kenapa sang Komandan masih mengampuninya.

Voliar bilang gelar kebangsawanan Milius tidak direbut, gelar itu akan diwariskan kepada orang yang berhak atasnya, dan untuk mengetahui siapa pewarisnya, Cornelia dan Caesar perlu kembali ke tempat tinggal Milius di sebuah kota di timur.

"Miriad, itu adalah kota kelahirannya." Jelas Cornelia.

Mereka membawa mayat Milius yang telah dibersihkan dan ditaruh di peti, pakaian yang ia kenakan saat di bunuh dipisahkan dari tubuhnya sehingga mendiang sang Barones yang terbaring di peti saat ini dalam keadaan telanjang bulat.

Ia nantinya akan dimakamkan di samping makam ayah dan ibunya yang mati dalam perang dan malaria.

Sepanjang perjalanan, para penduduk terdiam dan termenung, menatap ke kereta kuda yang membawa peti mati gadis itu dengan tatapan sedih dan kehilangan.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya kakek-kakek dan cucunya yang ditolong Milius, ya?"

Caesar membuka topik pembicaraan, setelah kesedihan dan keheningan panjang yang mendominasi isi kereta kuda yang ditumpanginya.

"Mereka berada di kereta ketiga, masih dirawat oleh tabib pribadi Milius. Katanya si cucu hanya demam parah, hanya saja bisa berujung kematian jika tidak ditangani oleh tabib," ujar Cornelia.

"Bahkan sebelum dia mati, dia masih saja berbuat kebaikan." gadis itu tersenyum bangga.

"Dia juga meyakinkanku untuk menyembah dewinya, haha." Caesar tertaw kaku untuk meringankan suasana, namun tampaknya itu tidak membuat segalanya membaik.

"Berhentilah Caesar. Kau tak perlu menghiburku. Kau tahu kan beberapa hari yang lalu kita saling melukai, maksudku kau yang melukai aku."

"Itu mekanisme pertahanan diri."

"Dikatakan salah juga tidak benar."

Keduanya kembali diam, terbenam dalam pikirannya masing-masing. Namun situasi hening itu tak bertahan lama. Caesar menggerakkan bibirnya.

"Katakan segalanya tentang Milius."

Mata Cornelia sedikit melebar, ia yang tadinya tertunduk mengangkat kepala lurus ke pria di hadapannya.

"Kukira kau tidak tertarik dengannya."

Dan dengan permintaan itu, Cornelia mulai menceritakan segalanya, segalanya tentang Milius.

Ia lahir di Miriad, mungkin nama kota itulah yang menginspirasi ayahnya, Baron Gahalla Tanter, untuk menamai putrinya Milius.

Ia tumbuh bersama keluarganya yang agak tegas hingga berusia enam setengah tahun, saat itulah dia dititipkan ke filsuf terkenal yang sempat menjadi pahlawan negara, Antoni Pius, untuk diajarkan ilmu filosofi, kesusastraan, seni, dan etika.

Saat menginjak usia enam belas tahun ia harus kembali ke Miriad untuk mengklaim gelar ke-Baron-annya sebab sang ayah tewas dalam peperangan. Seminggu setelah itu ia kembali ke kediaman Pius untuk menjemput Cornelia dan mempekerjakannya sebagai tangan kanan.

Bersama dengan prajurit pribadinya, Milius memulai rangkaian kampanye untuk membasmi para bandit.

Ia memajukan sistem irigasi dan pemupukan yang secara efektif meningkatkan produksi dan kualitas sayur mayur serta buah-buahan.

Tak berhenti di situ, ia membangun lebih banyak jalan, memperbaiki sistem pasar, menghias kota dengan taman dan marbel, dan menyisihkan sepuluh persen dari pendapatan bulanan untuk dibagikan kepada fakir miskin.

Sederhananya, Milius telah menjadi pahlawan bagi Miriad dan beberapa desa di bawah wilayah kekuasaannya.

"Itu dia, Caesar, kau telah mengetahui hampir segalanya secara singkat," ujar Cornelia.

"Ya, terimakasih."

Waktu berlalu begitu cepat, saat Cornelia mendongakkan kepala keluar, ia mendapati tembok besar yang berdiri kokoh melindungi sesuatu di dalamnya, mereka telah sampai di Miriad.

"Sepertinya kita telah sampai," kata gadis itu.

Begitu menurunkan pandangan dari wajah Cornelia, Caesar mendapati tangan sang ksatria saling menggenggam, gemetaran, khawatir akan suatu hal.

"Tanganmu.."

Saat Caesar mengatakan itu, Cornelia mengepalkan tangannya, memberhentikan getarannya, namun Caesar telah mengetahuinya, ia tidak bisa menyembunyikan apa yang telah diketahui oleh seseorang.

"Aku.. Aku takut menjelaskan apa yang terjadi pada penduduk kota, mereka sangat mencintai Milius, bisa-bisa terjadi kerusuhan nantinya."

"Itu belum pasti terjadi, tenanglah."

Seorang perwira yang menunggangi kuda menyelaraskan langkahnya dengan kereta Cornelia dan Caesar.

"Kita sudah sampai, nona."

Cornelia menghela napas, "Langsung persiapkan acara pemakaman sang Barones, aku akan jelaskan apa yang terjadi pada penduduk kota, setelah itu aku akan langsung pergi ke rumah pengacara Barones."

"Baik, Nona!" dengan demikian perwira itu pergi.

Mereka memasuki gerbang Miriad, disambut oleh para penduduk yang langsung berkerumun di sisi jalan, menyaksikan rombongan Cornelia lewat, dan pastinya, menantikan sang Barones menampakkan diri.

Alih-alih mendapati sang Barones, mereka justru melihat Cornelia yang turun dari kereta kudanya dan berdiri di tengah alun-alun kota. Di samping Caesar dan para pelayan Milius, ia siap menyampaikan kebenarannya.

"Perhatian, semuanya!"

Hampir seluruh orang langsung berkerumun dalam hitungan menit melingkari Cornelia.

"kemarin malam, Voliar, komandan pasukan elit Tarsia, membawa surat dari raja, yang berisi perintah menghukum mati Barones Kalian, Adorus Milius Tanter, atas tuduhan keterlibatannya dalam pemberontakan Azerim."

Tubuh Cornelia melemas ketika hendak mengatakan kalimat terakhirnya.

"Dia mati, Milius telah mati."

***

Segalanya terjadi cukup lancar, saking lancarnya, Cornelia merasa kecintaan penduduk kota ini terhadap Milius tidaklah nyata. Para kerumunan hanya melontarkan pertanyaan satu sama lain, tak luput juga ucapan-ucapan skeptis dan kumpulan kalimat yang didedikasikan untuk berkabung padanya, walaupun terdengar tidak terlalu kehilangan. Gadis itu terlalu berharap lebih pada reaksi penduduk Miriad.

Dia yang masih menundukkan kepala dan meratapi kematian temannya, duduk di kursi panjang dalam sebuah ruangan bersama Caesar di sampingnya.

Tak lama kemudian, seseorang menempati kursi yang terletak di seberang Cornelia dan Caesar, hanya di batasi oleh meja kayu berwarna coklat terang. Pria kurus yang menyimpan wasiat Milius akhirnya tiba.

"Em.. Aku cukup terkejut dengan kabar kematian Barones Milius. Dia adalah orang yang baik, kota ini jadi tiga kali lebih sempurna berkatnya." Pria tua itu membuka percakapan, yang mana tidak mendapatkan tanggapan yang diharapkan dari Cornelia yang tengah berdukacita.

"Tapi takdir adalah takdir, dan takdir memang kejam dan dermawan pada waktu yang sama, " lanjutnya, kali ini tanpa mengharap balasan.

"Bagaimanapun.."

Dia membuka sebuah gulungan perkamen. "Inilah wasiat nona Adorus Milius Tanter."

"Dia ingin Mansiunnya yang berada di desa Sartids didermakan menjadi panti asuhan untuk anak-anak yang tidak mempunyai keluarga."

Itu tidak mengejutkan, Cornelia sudah menduga itu sebelumnya, dia pernah dengar Milius berkata mansiunnya di desa Sartids terlalu luas untuk ditinggali satu orang saja.

"Lalu, dia menulis bahwa, tiga puluh persen hartanya akan diberikan pada kakak kandungnya, Ikhzar Adorus Tanter, Duke Provinsi Alerosia."

Walaupun kepalanya masih menunduk, kali ini Cornelia agak terkejut dengan isi wasiat tersebut. Sejauh yang dia tahu, Milius dan Ikhzar tidak memiliki relasi yang bagus, pertengkaran mereka di pertemuan tahun lalu lah yang mendasari anggapan itu.

Ikhzar adalah Duke yang tampan, dibalut dengan pakaian serba hitamnya dia memerintah dengan nada dingin, lembut, manipulatif, dan kejam. Popularitasnya memang lebih tinggi dari sang adik, namun pada kenyataannya, prestasi Milius satu setengah kali lebih banyak darinya.

"Dan yang terakhir.."

Cornelia akhirnya mengangkat muka, ingin mendengar ke mana perginya sisa harta kekayaan Barones

"Seluruh sisa hartanya, juga properti yang tidak disebutkan dalam daftar warisan tadi, diserahkan pada Cornelia Ekhzia Aleussas, beserta gelar kebangsawanannya sebagai Barones."

Cornelia terkejut, matanya melotot dengan pupil menatap lurus ke pengacara tersebut, ia tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Berikan surat wasiatnya!"

Ia menyambar surat itu, melihat dengan jelas kata-kata yang ditulis oleh jemari Milius secara langsung, ia mengenali gaya tulisan bangsawan tersebut.

Jajaran kalimat wasiat berbaris dari kiri ke kanan, atas ke bawah, memberitahu Cornelia ke arah mana peninggalan-peninggalannya akan pergi. Itu semua sama persis dengan apa yang diucapkan sang pengacara.

Kecuali satu hal terakhir.

Kalimat yang ditujukan secara langsung pada Cornelia.

"Cornelia, temanku."

"Kau sudah dibuang oleh keluargamu, tapi aku berbeda, aku takkan membuang dirimu."

"Sebagai gantinya, aku ingin kau mengurus wilayah kekuasaan ku, Miriad, Sartids, dan Faraza."

"Penduduk di tempat-tempat itu menyukaiku, mungkin mereka menyukaimu juga. Jangan kecewakan ekspektasi mereka, mengecewakan mereka sama saja dengan mengecewakanku."

"Namun aku berbeda, walaupun kau mengecewakanku berulang kali, aku takkan membuangmu. Kau adalah harapanku Cornelia."

Cornelia menggulung kembali perkamen itu, meletakkannya di atas meja, dan mendongak ke atap dengan mata berair.

"Tolong biarkan aku sendiri untuk sementara waktu." dia beranjak dari kursi dan berjalan tergesa-gesa ke halaman belakang rumah.

Caesar tidak menuruti ucapannya. Selang beberapa waktu setelah ia pergi, pria itu mengangkat tubuhnya dan menyusul, hanya untuk mendapati Cornelia terduduk dengan kaki tertekuk ke atas dan wajah terbenam di antaranya.

"Kau sedih?" Caesar berjalan mendekatinya.

"Atau marah karena tidak mendapatkan semuanya?"

Ia duduk di samping Cornelia dengan wajah lurus ke depan.

"Tinggalkan aku."

Mulut Caesar terbuka, hendak mengatakan sesuatu, namun ia menjeda untuk sesaat.

Setelah tiga detik akhirnya ia mengatakan sesuatu. "Berikan uang pensiunku."

"Apa?" Cornelia menolehkan muka dengan ekspresi tak percaya. "Kau pikir ini saat yang tepat??!" terlihat jelas linangan air mata yang membasahi pipinya, ia habis menangis tadi.

Julius Caesar hanya tersenyum tipis, ia lalu melempar wajah ke arah lain untuk menghindari kontak mata.

"Aku bercanda."

"Tapi bisa saja kau langsung memecatku setelah menerima gelar yang Milius berikan."

"Akan ku lakukan! Sekarang tinggalkan aku!!"

Caesar tidak membalas, namun ia mengalihkan topik pembicaraan. "Aneh sekali, padahal aku menusuk pahamu sekitar empat hari yang lalu, tapi kau sudah bisa menggunakannya untuk menyembunyikan mukamu."

"Apa maksudmu? Enyahlah dari pandanganku!"

"Yah, masalahnya kau tidak sedang menatapku."

Bug!

Sebuah sikutan mendarat tepat di hidung Caesar, membuat darah langsung mengalir dari lubangnya. Caesar mengaduh sambil mengusap cairan yang keluar.

Tak masalah bagi Caesar, pria itu sudah pernah menghadapi puluhan tusukan sebelum dia mati, luka segini tak masalah baginya.

Lagipula rasa sakitnya tak setara dengan rasa kasihan pada Cornelia, dan didasari dengan rasa kasihan itu, tangannya bergerak mengelus kepala gadis itu.

Walaupun Cornelia membenci Caesar, ia sangat membutuhkan seseorang di sampingnya. Dan di sinilah Caesar, memberinya kehangatan dan rasa iba yang dia perlukan. Itu semua sudah cukup untuk menghangatkan hatinya.

"Beritahu aku Caesar."

"Bisa apa aku tanpa dia?"