webnovel

7. Mutiny

Bahkan langit pun ikut berduka atas kematian Milius, Ia meneteskan jutaan tetes air mata di atas ribuan penduduk Miriad yang berkabung di acara pemakamannya.

Cornelia, satu-satunya teman yang tersisa, memberikan penghormatannya dengan memaku diri di samping mayat sahabatnya yang telah terbungkus kain putih. Dia menahan air mata, dengan tubuh bergetar berusaha tetap tenang di depan publik, hanya dirinya yang tahu seberapa lama dia bisa bertahan.

"Aku tidak punya banyak hal untuk dikatakan, aku bukan orator maupun wanita yang mampu merebut hati kalian, hanya seorang sahabat, yang menemaninya sejak bersekolah di tempat paman Pius sekitar sepuluh tahun yang lalu." dengan ucapan pembuka ini, Cornelia menyampaikan pidatonya.

"Yang ku tahu adalah dirinya punya sisi manis dan energetik, tapi tangguh dan energetik di lain waktu. Oh sungguh, saat kuingat kembali memori-memori di masa lalu, terlintas di kepalaku momen-momen tak terhitung saat dia melindungiku dari orang-orang yang kubenci, bahkan berani melayangkan tangan hanya agar aku tak diganggu lagi."

Cornelia terdiam sesaat, dia menunduk dengan pandangan melekat ke wajah Milius yang tertutup kain putih. Saat dia berbicara kembali, nada suaranya menurun.

"Dia pelindungku, dan saat tiba giliranku melindunginya, aku tak bisa melaksanakannya."

Dengan tubuh basah kuyup karena air hujan, Cornelia turun dari panggung tanpa mengucapkan kalimat penutup.

Selanjutnya adalah giliran para pelayan dan budak untuk mengucapkan kata-kata mereka untuk Milius. Mulai dari bagaimana sang majikan memperlakukan mereka layaknya keluarga, seberapa besar upah yang diterima jika dibandingkan dengan pelayan lain, dan betapa ringan pekerjaan yang Milius berikan untuk mereka kerjakan.

Yang ketiga adalah para perwira prajuritnya, mereka memuji kemampuannya dalam memimpin seratus orang prajurit untuk membasmi seribu lebih bandit yang berkeliaran di wilayahnya, tak luput juga bagaimana sang Baroness memperlakukan keluarga prajurit yang tewas dalam pertarungan dengan penuh hormat dan ramah tamah, dia memberi kompensasi yang layak agar keluarga para pejuang yang gugur dapat bertahan hidup setidaknya selama tiga bulan.

Dan terakhir adalah pidato dari Julius Caesar yang datang terlambat karena alasan yang tidak diketahui. Selain itu, dia juga membawa sebuah kotak kayu kecil di tangan kirinya.

Begitu dia melangkahkan kaki ke atas panggung, orang-orang langsung melontarkan pertanyaan kepada sesama tentang siapa dirinya, wajar saja, dia baru diangkat menjadi pengawal di desa Sartids, para penduduk Miriad masih asing dengan keberadaannya.

"Para kekasih Milius yang terhormat."

Begitu Caesar menyampaikan itu dengan sopan, barulah ribuan mata terarah padanya.

"Saat saya melangkahkan kaki saya ke atas panggung, di situlah anda menebak-nebak siapa saya, yang mana kurang sopan jika tidak saya beritahu nama saya yang biasa saja," ucapnya sambil mengarahkan satu tangan ke dada.

"Gaius Julius Caesar, adalah nama yang diberikan ayah saya, dan dia adalah ayah yang baik dan penyayang.."

Gerakan tangan kanan pria itu seolah menunjukkan mayat Milius, "Dan aku melihat sifat itu dalam watak pemimpin kita tercinta, Adorus Milius Tanter."

"Ya!"

"Ya!"

"Dia benar!"

Mereka menyetujui pendapat Caesar.

"Selain Baik dan penyayang, ayah saya juga pemimpin yang baik, manusia yang tangguh, dan makhluk yang penuh dengan kebajikan. Dan tak bisa dipungkiri bahwa saya juga melihat hal-hal tersebut dalam sifat wanita cantik ini."

"Benar!"

"Tentu!"

"Aku tahu itu!"

Sekali lagi Caesar berhasil mendapatkan validasi dari massa.

"Para penduduk yang terberkati," Caesar menggerakkan mata hijau pucat-nya ke lautan manusia yang luas. "Ada satu hal yang belum ku ceritakan dari ayah saya. Mungkin rasa sayang saya terhadap beliau membuat saya enggan menceritakannya, tapi akan tetap saya ceritakan apapun yang terjadi."

"Ayah saya telah berbuat jahat kepada seseorang."

"Dan orang itu membalasnya dengan menusukkan besi tajam terkutuk ke dalam perutnya. Oh, Ravenna.. aku masih mengingat pemandangan mengerikan itu di mana dia bersimbah darah dan jatuh tak berdaya di depanku." Caesar menundukkan kepala.

"Saat itu, aku berpikir."

"Siapa yang salah?"

Caesar kembali mengangkat wajahnya ke ribuan muka di depan, kali ini dengan mata lebar mencari pembenaran.

"Ayahku? Yang telah berbuat zalim kepada orang itu?"

"Atau orang itu? Yang membunuh ayahku karena telah berbuat zalim kepadanya?"

"Dan aku menemukan jawabannya."

"Ayahku lah yang salah, dia berbuat zalim dan dia menuai apa yang beliau tanam."

"Tapi apakah kalian tahu apa yang kulakukan selanjutnya?"

"Aku mengambil sebongkah batu dan menghancurkan kepala pria bajingan itu sekuat tenaga, karena sebagai orang yang telah dirawat dan dididik olehnya selama enam belas tahun, saya takkan terima jika orang lain membunuhnya dengan alasan keadilan atau apapun itu yang membunuh rasa sayangku padanya!"

Nada Caesar menjadi emosional, ia membara tanpa sadar di depan publik, dan bara itu seolah sedikit menyulut jiwa massa yang seakan berada di posisi yang sama dengan Caesar di kisahnya sendiri.

Caesar menciptakan jeda, memberi dirinya sendiri waktu untuk memadamkan emosi yang sempat terbakar karena pidatonya sendiri.

"Dan di sinilah kita; kalian semua; para penduduk Miriad terhormat yang merasakan kasih sayang dari Milius tercinta." Dia melanjutkan barisan katanya.

"Jika aku adalah kalian, aku takkan menghadiri acara ini sebab merasa malu karena tidak dapat membalaskan kematian orang yang sangat amat ku cintai."

Mereka semula terdiam, yang semula ada empat lima orang yang saling bersahutan di antara kerumunan, kini tenggelam dalam renungan mereka sendiri.

"Dan jangan lupa bagaimana dia membersihkan para bandit agar kau tidak dirampok lagi, dan jangan lupa bagaimana dia mengangkat derajatmu sebagai rakyat jelata supaya koin-koin perak dan tembaga tidak menertawakanmu lagi."

"Dan jangan lupa."

"Jangan lupakan semua jasa-jasa yang telah ia cetak untuk memayungi mu dari kerasnya bulir-bulir hujan takdir dan kehidupan!"

"Dan di sinilah kalian, tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa meratapi dirinya yang tak mendapatkan satu pun bentuk pembalasan dari kalian dasar bajingan tidak tahu diri!!"

Caesar mengepalkan tangan dan meninju ke arah ribuan wajah, menghina mereka di atas panggung untuk menyulut jiwa kecil manusia-manusia itu.

"Lalu apa yang harus kami lakukan?!"

Salah seorang bertanya, menyita perhatian Caesar dan sebagian besar dari penduduk tidak tahu diri itu.

"Melakukan pemberontakan?! Agar Voliar dan tentara brengsek nya bisa menggantung kita satu-persatu?!" Pria yang bertanya itu menambahkan.

Caesar menarik napas sambil menegakkan postur tubuh. Dia berhenti sejenak untuk menenangkan diri, agar dalam ucapan berikutnya suara yang ia keluarkan tenang dan jernih.

"Aku di sini tidak untuk mengajakmu memberontak, teman."

Suaranya kini sejernih dan setenang air danau.

"Tapi, jika aku bukanlah satu orang."

"Jika aku adalah banyak orang."

"Yang berbagi satu pikiran, satu perasaan,"

"Mempunyai seseorang yang menyayangiku dan meninggikan derajat ku."

"AKU LEBIH MEMILIH MATI MEMBALAS KEMATIANNYA DARIPADA HIDUP ABADI DENGAN RASA BERSALAH TAK BISA BERBUAT APA-APA!"

Caesar membuka kotak kayu yang dia bawa, langsung diangkat lah sebuah kain putih bernoda darah kering dari dalamnya.

Suasana kembali ramai, banyak yang menanyakan kain apa yang Caesar keluarkan, banyak pula yang mengutarakan spekulasinya ke sesama, yang mana di antara spekulasi-spekulasi itu sebagian sangatlah tepat.

Sementara itu di samping panggung, Cornelia membuka mata lebar-lebar, ia mengenali kain itu.

"Buka matamu dan lihatlah ke sini! Inilah kain yang Milius tercinta kenakan saat di renggut nyawanya oleh Voliar bangsat yang sangat terkutuk! Lihatlah seberapa banyak darah yang menodai toga ini! Seberapa banyak Milius yang terkasih menderita di detik-detik terakhir kematiannya! Lihatlah—!"

"OH MILIUS KITA!!"

"VOLIAR BAJINGAAN!!

Massa langsung mengamuk, segala kutukan mereka keluarkan untuk menghujat Voliar, pria yang membunuh Milius yang terkasih.

Mereka membubarkan formasi kerumunan padat dan bergerak ke segala arah, kemungkinan kembali ke rumah mereka untuk mengambil senjata, atau menyuarakan api pemberontakan kepada penduduk yang tidak hadir.

"BENAR TEMAN, KALIAN SEMUA BENAR!! JIKA NYAWA PEMIMPIN KALIAN DIRENGGUT, JIKA NYAWA SOSOK TERSAYANG KALIAN DIBUNUH, AKANKAH KALIAN DIAM?"

"TIDAK!"

"SERUKAN API PEMBERONTAKAN! KUMPULKAN SEMUA PRIA DAN SENJATA! AKAN KU PIMPIN KALIAN UNTUK MENGHADAP VOLIAR SI BANGSAT!"

Caesar mengibarkan toga Milius, membakar semangat penduduk Miriad lagi dan lagi.

"MILIUS HARUS TERBALASKAN! VOLIAR HARUS TERBUNUH!"