webnovel

5. Cornelia

Diikuti Caesar, Milius melangkah melewati pintu sebuah bangunan.

Terdapat pemandangan cukup mewah di dalamnya, dengan sebuah air mancur yang menyejukkan dan lukisan besar yang mengisi seluruh permukaan tembok. Lukisan itu berisi gambaran tiga manusia dengan pakaian mewah menyelimuti tubuhnya, dua perempuan, satu laki-laki. Terdapat pula warna jingga keputihan yang memancar layaknya cahaya di belakang mereka, menunjukkan aura keagungan yang dimiliki ketiga manusia itu.

Mata Caesar langsung terpaku pada lukisan perempuan di bagian tengah, ia amat familiar dengan bentukan tubuh dan wajahnya. Jika saja lukisan itu digambar dengan lebih realistis, mungkin Caesar dapat mengenalinya secara penuh.

"Caesey, kau menyembah dewa yang mana?" tanya Milius.

"Entahlah, mungkin tidak satupun diantara mereka."

Pertanyaan itu tentu menggelitik Caesar, mengingat jabatannya sebagai Pontifex Maximus atau pemuka agama tertinggi di Roma pada masa lalu, tentu saja ia menyembah dewa jupiter sebagai dewa utama, serta Mars, Neptunus, dan yang lain sebagai dewa sampingan. Tapi, menyandang gelar setinggi itu dan menyampaikan berbagai ucapan ilahi ke rakyat Roma —yang sebenarnya adalah kebohongan—, membuatnya sadar bahwa para dewa tidak lebih dari makhluk karangan manusia saja, setidaknya hingga ia hidup kembali di dunia ini.

"Jupiter, mungkin?"

Milius menoleh dengan mengangkat sebelah alis, "Hah? Jupiter?"

"Maksudku, dewa mana itu? Dari Voretamia hingga Remusium, hanya ada tiga dewa-dewi yang bisa disembah?"

"Maaf, aku hanya bercanda."

Diikuti pria berhidung mancung itu, Milius berjalan mendekati lukisan dewa-dewi itu, mulai dari yang paling kanan, seorang dewa perempuan.

"Yang ini bernama Meria, dewa kesuburan, panen, cahaya, dan tumbuh-tumbuhan, berterima kasihlah padanya karena berkat dia kau masih bisa makan roti yang enak."

Milius bergeser ke tengah.

"Dan yang ini.." ia memandang ke atas dengan rasa kagum, "Adalah dewa yang ku sembah, Ravenna."

"Dewa kasih sayang, rahmat, cinta, serta keindahan. Segala keindahan yang kau lihat semasa hidupmu, ialah yang membentuknya."

Milius menoleh ke Caesar, "Caesey, Ravenna pernah bilang, 'bersikaplah murah hati pada dunia, walaupun dunia telah bersikap kejam terhadapmu'. Aku tak tahu apa yang kau lalui sehingga membuatmu tidak memiliki rasa iba dan kemanusiaan, tapi satu hal yang pasti, kasih sayang itu absolut, jika semua orang memiliki kasih sayang, maka semua hal buruk yang kau lalui takkan pernah ada."

Sehabis mengatakan itu, wanita berkulit putih itu mendekati Caesar dan mengelus pipinya. "Dengan dirimu muncul di kehidupanku, aku ingin kau memulai awal baru, lupakan segala hal yang telah terjadi di masa lampau, mari tebarkan kasih sayang bersamaku, Julius Caesar."

Antara setuju dan tidak, Caesar terdiam seribu kata. Ia merenungkan segala hal yang telah dilaluinya di masa lalu. Pertempuran dan pembantaian tak terhitung yang telah dilakukannya, pantaskah itu dimaafkan? Pantaskah ia memulai awal baru?

Lalu, dalam hati ia berucap, "Jika aku membiarkan rasa kemanusiaanku memperbolehkan pengungsi Alesia melewati tembok saat itu, mungkin aku takkan memenangkan pertempuran tersebut, Milius."

Dan dengan begitu, secara diam, dia mengabaikan petuah gadis rupawan tersebut. Beralasan bahwa terkadang, tidak memiliki kemanusiaan adalah solusi terbaik.

"Oh ya, kalau yang itu dewa apa?" Caesar menunjuk ke dewa laki-laki yang belum dijelaskan oleh Milius.

" Oh, yang itu.."

"Reme, dewa literatur, strategi, dan pertahanan. Orang-orang bilang ia adalah pendiri Remusium, negara terkuat saat ini dan tiga ratus tahun sebelumnya."

***

Malam itu terasa dingin, namun Caesar tetap memaksakan diri duduk di kursi taman. Ia menatap kekosongan, tak ada yang direnungkan, hanya pemikiran-pemikiran sepi yang berputar di dalam otaknya.

Ia menatap ke bulan, bulannya menampakkan diri sepenuhnya malam ini, namun lagi-lagi ia tidak memikirkan apa-apa, hanya menikmati keheningan yang sangat jarang didapatkannya sebagai komandan militer dan politikus di masa lalu.

"Malam yang sepi, bukan?"

Seseorang menghampirinya. Ia adalah tamu yang datang tadi pagi, Voliar.

Pria itu duduk di samping Caesar dan ikut memandangi sang rembulan.

"Setelah Kulihat gelagat mu, kau seperti tentara yang baru pernah merasakan keheningan setelah pertempuran panjang saja," komentar pria berkulit coklat itu.

Dia benar.

"Tidak juga, aku hanya menyukai bulan," balas Caesar.

"Hahah!" Voliar terkekeh, "Aku juga menyukainya, kita punya selera yang sama, nak!"

Untuk sesaat, keheningan kembali tercipta, tak ada satupun pihak yang menyampaikan isi hatinya kala itu. Hingga akhirnya Voliar berucap kembali.

"Hei, kau sepertinya, bukan orang dari negara ini."

Caesar menoleh, "Apa?"

"Biar ku tebak, kau adalah seorang pedagang dari Remusium, tapi jika dilihat-lihat dari fisikmu, aku yakin kau adalah tentara bayaran yang sering dibayar untuk melindungi pedagang."

"Remusium?"

Caesar seperti pernah mendengar nama itu. Benar juga, saat di kuil Milius mengatakan nama yang serupa.

"Yap, Remusium. Remus - Imperii.. Begitulah cara mereka menyebut kekaisaran terbesar di dunia itu."

Caesar terdiam, dalam diamnya ia menunjukkan ketidaktahuan. Voliar mengernyitkan dahi kala melihat itu.

"Kau bodoh ya? Bagaimana bisa kau tidak mengenal, negara paling berpengaruh dalam sejarah?"

Voliar menggaruk-garuk kepalanya.

"Ya sudahlah.."

"Tapi ngomong-ngomong, bagaimana orang-orang sekitar memperlakukanmu?"

"Baik," jawab Caesar.

"Oh, baik ternyata.."

Untuk sementara waktu, Voliar terdiam, kelopak matanya menyusut, entah apa yang dipikirkannya.

"Kalau kau punya rupa yang bagus, pasti semua orang akan memperlakukanmu dengan baik." Voliar menepuk-nepuk pundak Caesar, "Itu bagus untukmu, nak!"

"Kau tahu kaum Barbar?" ia bertanya lagi.

Karena familiar dengan nama itu, Caesar langsung mengiyakan.

"Mereka kaum jahat yang sering menjarah desa-desa di kerajaan, Caesar. Mereka sangat-sangat jahat." sembari mengatakan itu, ia diam-diam melirik Caesar dengan tatapan misterius.

"Ya.. Mungkin."

Di benaknya, Caesar berucap; 'Apa tidak sebaliknya?'

"Mereka merampok pedagang, membakar rumah penduduk desa, dan terkadang, memperkosa para wanita.. Mereka jahat sekali, bukan?"

Dengan nada ragu Caesar menjawab, "Ya.. Mungkin saja."

Voliar menolehkan wajahnya, dengan tatapan dingin namun tersirat sedikit sedih, ia membuat sebuah pernyataan.

"Caesar, aku adalah orang barbar."

Spontan pria berkulit putih kemerahan itu menoleh dengan wajah sedikit mengekspresikan ketidakpercayaan.

Voliar dengan agak menyesal mengusap wajahnya, "Maaf, Caesar. Aku hanya sedikit stres, aku sebenarnya sedang cari masalah, kudengar dari tangan kanan Milius bahwa kau adalah petarung yang baik, jadi aku melakukan semua ini."

"Tapi kau tahu? Jawabanmu sedikit melenceng dari perkiraanku, kau bilang 'Mungkin', kan?" pria itu mengulas senyum tipis seiring dia bicara.

"Kukira kau akan bilang 'Ya' dengan percaya diri dan antusias, tapi kau mengatakannya dengan sedikit ragu dan menambahkan kata 'Mungkin' setelah itu, itu menunjukkan bahwa kau adalah pribadi yang skeptis dan 'sedikit' baik menurutku.

"Kau adalah satu-satunya, Caesar."

Keduanya kemudian menatap rembulan yang memberi malam cahaya, dan terhanyut dalam keindahan benda raksasa itu. Namun kemudian Voliar teringat sesuatu, ia harus mengerjakan sebuah tugas yang tak boleh dia tunda.

"Aku harus pergi." Voliar berdiri dari duduknya.

Ia mengulas sebuah senyum ke Caesar, senyum tipis yang aneh, senyum yang penuh kemisteriusan dan keambiguan. Dalam sekali lihat, Caesar merasakan aura yang tak mengenakkan dari senyuman itu.

Dan dengan itu sebagai penutup, Voliar pergi.

***

Dua orang prajurit tampak bersenang-senang sambil menarik tangan tiga pelacur yang hanya mengenakan sehelai kain, menuntun mereka ke suatu tempat dengan tujuan yang sudah jelas tentunya.

Sementara itu dari jarak yang agak jauh, Voliar mendapati keberadaan kedua teman dekatnya. Dengan senyum bersahabat ia melambaikan tangannya, menarik perhatian kedua orang itu.

"Oh! Komandan!" salah satu dari mereka menyapa balik, dengan antusias kedua pria itu -beserta para lacurnya- menghampiri atasan mereka.

"Kalian mau bersenang-senang, ya, Vala, Ola? " tanya Voliar dengan nada santai.

"Oh, yaah! Tentu saja, komandan! Mau ikut? Aku yang traktir!" ajak pria yang kedua, namanya Nikola, sering dipanggil Ola.

"Hah! Dasar tolol! Komandan kan sukanya yang feminin dan keibuan, bukan wanita penghibur seperti mereka—, maaf bukan bermaksud menghina, hehe.." timpal Nivala, seringkali dipanggil Vala.

Nivala dan Nikola adalah kakak beradik. Mereka berasal dari keluarga bangsawan, namun Voliar mengangkat mereka menjadi tangan kanan dan kiri bukan karena itu, tapi karena performa, semangat, kegigihan, dan energi mereka yang sangat tinggi. Mereka juga humoris, dan seringkali meningkatkan moral rekan-rekan di sekitarnya saat bertempur melawan Azerim.

"Maaf tiba-tiba menanyakan ini, tapi, apa pendapat kalian tentang Baroness Adorus Milius?"

Mendengar pertanyaan itu dari sang komandan, kedua pria tersebut jadi canggung, muncul sedikit rona merah di wajah mereka, melihat ini Voliar pun menyeringai jahil.

"Dia pemimpin yang kompeten, tentunya! Yaaaa.. Itu dia!! Pemimpin yang hebat! Hahaha!"

Dengan heboh dan humoris Nikola pun menjawab, mereka semua pun tertawa mendengar jawaban yang jelas-jelas penuh kebohongan itu dari mulutnya.

"Tapi serius, apa pendapat kalian?" Voliar menekankan keseriusan pada ucapannya kali ini lewat nada.

Sekali lagi, keduanya canggung.

Mereka kemudian saling menatap dan sepakat akan satu hal; "Dia sangat cantik dan menggoda."

Voliar terkekeh mendengar jawaban jujur itu.

"Kalau begitu, akan ku bayar kalian, nona-nona cantik." Pria itu memberi para pelacur sekantong koin perunggu, dengan bersyukur mereka pun pergi.

"Dan kalian, ikuti aku."

Tanpa bertanya, Nikola dan Nivala pun mengikuti Voliar yang sedang berjalan ke dalam Mansiun.

"Oh ya, Komandan, kenapa kau meminta seratus prajurit untuk tetap berkemah di sekitar mansiun dan tidak pergi ke mana-mana?"

Terulas seringaian tipis wajah pria berkulit coklat terang itu. "Kau akan tahu nanti."

Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk hadir di sebuah ruangan di Mansiun Milius. Di dalam situ, terdapat sebuah meja persegi panjang dengan tiga sofa terduduk disekitarnya, tak luput dengan dua buah cawan kaca di samping sebotol anggur merah.

Voliar membuka tutup botol anggur itu dan menuangkannya ke kedua cawan itu.

"Apa yang kau rencanakan, bos?" tanya Vala, Ola juga tampak menanyakan hal yang sama.

Selagi masih menuangkan minuman tersebut, Voliar menjawab; "Kenapa kau tidak diam dan minum ini."

Ia menyodorkan cawan yang sudah berisi minuman pemabuk itu kepada Nivala dan Nikola. Tanpa keraguan sedikitpun, keduanya menerima minuman tersebut dan meneguknya.

"Maaf terlambat.."

Ucapan itu berasal dari Milius yang datang dari balik pintu bersama Cuirass dan Seraval di belakang. Voliar tampak mengundang gadis itu, terbukti dengan kehadiran sang Barones yang dibalut dengan toga putih bermotif emas yang tentunya hanya akan ia kenakan saat menghadiri undangan dari orang penting saja.

Kesan menggoda dan glamor langsung menyerbu dua bersaudara itu, ditambah dengan kondisi mereka yang sedikit mabuk, memberi mereka gairah lebih begitu melihat sosok bak dewi di muncul di hadapannya.

Begitu tatapan sang Barones melihat sebotol minuman yang memabukkan, ia langsung mengutarakan ketidaknyamanannya.

"Maaf, Komandan, saya tidak suka meminum alkohol!" ujarnya sedikit tegas, "Dan tolong singkirkan benda-benda seperti itu dari tempat tinggal saya!"

"Anda lucu, Barones.. Anda seolah ingin menjadikan tempat ini tempat yang suci dengan melarang penggunaan minuman ajaib ini, sementara anda membawa seorang selir laki-laki yang bahkan tidak anda nikahi."

Voliar bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Milius. Badannya yang menjulang hampir setinggi dua meter memaksa Milius mendongakkan wajah ke atas hanya untuk bertatapan dengannya.

Di dalam benak, gadis itu terintimidasi, namun ia tidak boleh mengalah, tempat ini adalah propertinya, dan ia bebas untuk menetapkan aturan apa saja.

"Jauhkan dirimu dari Barones!"

Cuirass mendorong Voliar, membuatnya menghentak tiga langkah ke belakang.

"Maaf, maaf, aku sedikit terbawa suasana tadi."

Dengan kekehan kecil, Voliar meminta maaf.

"Komandan, jika anda tidak segera mengatakan keperluan anda, maka saya terpaksa harus pergi dari sini," ancam Milius.

"Dan menggoda selirmu untuk tidur bersamamu?" Pria itu lagi-lagi terkekeh.

"Julius Caesar bukanlah seorang selir, dia adalah pengawa—"

Mendadak, Voliar memegang dagu Milius dan mengangkatnya ke atas. "Tutup mulutmu, manis.."

"Bajingan!!" Bentak Milius sembari mendorong tubuh Voliar, "Kau melecehkanku, bangsat?!"

Begitu mendengar nada suara Milius meninggi, Cuirass menghunuskan pedangnya, menaruh diri di hadapan sang majikan demi menghalangi Voliar melangkah lebih dekat.

"Lupakan Caesar, Milius!"

Voliar mengambil sesuatu dari sakunya.

Sebuah kotak cincin yang terbuat dari kayu. Saat dibuka, terdapat cincin perak dengan permata berukuran lebih kecil dari standarnya.

"Maafkan aku karena permatanya kecil, gajiku tidak cukup untuk membeli yang berukuran sedang."

Voliar menurunkan satu lututnya ke lantai dan mengangkat kotak cincin itu.

"Aku, Voliar Merius, melamar dirimu, Adorus Milius Tantera. Jadilah istriku untuk selamanya—, tidak, untuk sementara waktu juga tak apa! Karena sebagai seorang prajurit, aku tahu diriku pasti berumur pendek."

Semua orang terkejut mendengar lamaran itu.

"Namun," lanjutnya.

"Sebelum ajal menjemput, aku ingin engkau mendampingi hidupku! Jadilah istriku, dan akan ku bahagiakan dirimu untuk selama—"

"Dasar brengsek!"

Kutukan Milius menghentikan ucapan Voliar.

Di situlah sang Barones, berdiri dengan wajah najis dan seolah tak percaya, sambil mengeraskan barisan gigi kuat-kuat dan mengepalkan tangan seerat-eratnya.

"Kau brengsek! Dari dulu aku sudah menganggap dirimu sebagai paman yang mengerti diriku, dan sekarang kau ingin aku melupakan Caesar dan menjadi istrimu? Istri orang yang ku anggap paman sendiri? TENTU TIDAK!"

Itu adalah pukulan kuat bagi Voliar.

Namun bagaimanapun dia adalah seorang prajurit.

Mentalnya telah ditempa untuk menghadapi situasi yang lebih dari ini.

Dan dengan wajah datar seakan tidak terjadi apa-apa, ia berdiri.

"Maaf jika itu mengganggumu, nak."

Sang komandan menghela napas, ia memandang ke atap dengan tatapan tak rela kehilangan sesuatu.

"Tapi ada sebuah surat dari sang raja," ujar Voliar.

Ia membuka sebuah gulungan kertas yang diambil dari balik pakaiannya, segera Voliar membaca isi dari surat itu.

"Kepada Baroness Adorus Milius Tantera, salam dari Raja Voretamia, Ekhzia III. Setelah mengoleksi beberapa bukti dari Voliar dan para mata-mata terpercayaku, aku telah mengambil suatu kesimpulan, yang menyatakan bahwa..."

Mata Milius membesar tak percaya.

"Anda adalah dalang dari pemberontakan suku Azerim yang bermula tiga bulan yang lalu."

"Apa?!" tanya semua orang nyaris bergantian begitu mendengar pernyataan itu.

"Dan dengan ini, sebagai tindakan untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan, aku menjatuhkan.."

"CUIRAASSS!" Teriak gadis itu.

"Hukuman mati."

Slash!!

Sebuah kepala terpenggal, itu adalah milik Cuirass, dan Nivala lah pelakunya.

"SIAL!" umpat Milius.

"SERAVAL! PANGGIL PARA PRAJURI—"

Omongannya terhenti begitu melihat Nikola menancapkan pedangnya di kepala pria tua itu.

Hilang sudah harapan sang Barones.

"Bajingan!"

Milius melangkah mundur, mulutnya menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Kedua temannya, kedua orang kepercayaannya mati begitu saja.

Jleb!

Tanpa peringatan, Voliar menanamkan pisaunya di pinggul kiri Milius. Sang bangsawan jatuh, menatap Voliar dengan tatapan traumatis dan tak percaya.

Ia kemudian merasakan sensasi terbakar di pinggul kirinya, matanya berlinang bersamaan dengan darah mengalir dari luka tusuk, deras seperti sungai. Ia ingin berteriak, namun tertahan tepat di tenggorokan, yang hanya bisa dilakukan hanyalah pasrah dan menerima takdir.

"Ola, Vala, kau boleh lakukan apapun padanya."

Voliar mundur satu langkah, membiarkan kedua temannya yang dimabuk alkohol mengeluarkan kebejatan mereka.

"Terimakasih, komandan, kau sangat baik hari ini!" Puji Nikola mendekati Milius yang merintih kesakitan.

Sementara itu, gadis berambut pirang itu melekatkan tatapan benci pada Voliar. Tak pernah disangka bahwa orang yang telah ia anggap sebagai paman mengkhianati dan berbalik padanya. Namun Voliar tak acuh, dengan senyum meremehkan ia menatap Milius menggeliat melawan dua bersaudara yang berlomba menjilati tubuhnya.

"Bajingan.." geram gadis itu.

Sang komandan tetap memandangi adegan tersebut dalam diam. Raut wajah yang semula meremehkan entah bagaimana berubah menjadi.. dingin, seolah menatap rendah, entah ke Milius yang kalah atau ke hal lain.

Nikola menggigit leher sang Baroness, spontan ia merintih kesakitan, matanya yang habis menangis sekarang berlinang lagi, kini linangan nya semakin deras seiring Vala yang mengecup-ecup pipinya.

Dalam keputusasaan, Milius memejamkan mata. Cornelia, Caesar, ia sungguh berharap mereka berada di sampingnya kini, namun itu hanyalah angan-angan, halusinasi yang takkan jadi nyata.

"Pada akhirnya, kalian sama busuknya dengan para barbarian."

Jleb!

Lempengan besi tajam menusuk kepala Nikola, membuat darah membasahi kain robek gadis itu yang hampir mengekspos dadanya, tampak Nikola sedang berupaya menengok aset Milius saat itu terjadi.

Nivala tersentak, ia tak mampu menggerakkan tubuh kala melihat kepala saudaranya jatuh bebas di samping sang gadis rupawan.

"Komandan.."

Kurang dari sedetik sejak kata itu terucap, wajah Nivala telah terbelah menjadi dua.

Kala merasakan darah mengalir di tubuhnya, Milius membuka mata dan membuat wajah kaget sekaligus heran.

Kedua 'teman dekat' sang komandan kini telah mati.

Namun Voliar tampak tak meratapinya, semakin memperdalam kebingungan gadis pirang tersebut. Situasi apa yang kini ia hadapi?

"Jangan salah paham, kau akan tetap mati."

Voliar mengangkat pedang dengan ujungnya menghadap ke bawah, tepat di atas kepala Milius.

"Ada kata-kata terakhir?"

Milius kini sedikit paham, ia masih tak bisa selamat, dan takkan bisa selamat.

Kehidupan dan kematian adalah bagian dari hukum alam, hanya orang bodoh yang takut akan kematian.

Dan dengan meyakini petuah lama tersebut, Milius akhirnya bisa berdamai dengan sang malaikat maut.

Ia merebahkan tubuh di lantai dan menghadap pada kematian dengan menutup mata.

Namun begitu ia sudah siap dengan segalanya, ia membuka mata dan teringat akan suatu hal.

Suatu nama.

Suatu jiwa.

Suatu tawa.

Suatu sedih.

Suatu senyum.

Seseorang.

"Cornelia."