webnovel

NAMA DI KAIN KAFAN

Saat ini adalah malam Jum'at Kliwon. Suara tetes air hujan terdengar jelas dari atap rumah Seroja, yang terbuat dari genteng tanah liat. Sebuah sobekan kecil, kain kafan putih tergeletak di atas meja riasnya. Seroja mengambil sebuah silet, yang tergeletak di samping kain kafan tersebut. Sambil menyeringai sinis dan membaca mantra, yang pernah diajarkan oleh Ibunya, Nyai Ayu Rembulan. Kemudian dia mulai menyayat sedikit ujung jari telunjuknya, agar dapat mengeluarkan darah segar. Pada saat darah menetes, Seroja mulai menuliskan tujuh nama laki-laki di atas sobekan kain kafan tersebut. "Besok, aku akan menyelipkan kain kafan ini di jenazah Rembulan. Agar rohnya kelak dapat membantu aku, membalaskan semua dendam!" gumam Seroja sambil menyeringai penuh kebencian.

Ifan_Tiyani · Horror
Not enough ratings
284 Chs

KETAKUTAN!

Mendengar penjelasan Pramono temannya yang bernama Sugeng segera melihat tangan Pramono, yang saat ini sedang dipegangnya dengan erat. Lalu dengan penuh keheranan dia pun ikut memegang tangan Pramono tersebut, sambil membolak-balikannya dengan kening berkerut kemudian tersenyum mengejek.

"Mana tanganmu yang kau bilang berlumuran darah tersebut Pramono? Kau ini aneh sekali, Lihatlah! Tanganmu dalam keadaan baik-baik saja, kau ini belum tidur sudah mengigau! Hehehe," ujar Sugeng sambil tertawa lepas dan menggelengkan kepalanya.

Mendengar perkataan Sugeng tersebut, seketika Pramono langsung melihat ke arah tangan yang dipegangnya dengan erat. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Sugeng, saat ini tangannya yang tadi dilihat berlumuran darah karena bekas cakaran ternyata dalam keadaan baik-baik saja.

"Sudah kau kembali ke tempat dudukmu sana! Nanti jika Bagas datang, dia akan duduk kembali di kursinya ini," perintah Sugeng kepada Pramono sambil menepuk pundaknya lumayan keras.

"Ti-tidak Sugeng, a-aku duduk di sini saja, biar Bagas nanti yang duduk di tempat duduk aku," jawab Pramono dengan bibir bergetar karena ketakutan dan wajah yang pucat pasi, sambil membuang pandangnya ke sebelah kanan tanpa berani melihat ke arah Seroja.

Karena di dalam pandangan Pramono sekarang ini Seroja nampak mengerikan sekali penampakannya, seperti sosok kuntilanak saja dalam penglihatannya Pramono. Maka Pramono sama sekali tidak berani melihat lagi ke arah Seroja, apalagi berusaha untuk menggodanya kembali seperti tadi.

Tidak berapa lama kemudian teman mereka yang bernama Bagas kembali dari toilet, Bagas merasa terkejut karena Pramono duduk di kursinya saat ini.

"Loh, kenapa kau duduk di kursi milikku Pramono? Kembali lah ke kursimu sana!" usir Bagas dengan kesal dan merasa keheranan.

"A-aku tidak mau! Kau saja yang duduk di kursiku itu," jawab Pramono sambil terus berpaling, tanpa berani melihat ke arah Seroja.

"Ah kau ini, ada-ada saja Pramono, biasanya paling suka duduk bersama dengan wanita cantik. Sekarang sok jual mahal kau! Hehehee," seloroh Bagas menggoda sambil segera duduk di samping Seroja kemudian tersenyum tipis kepadanya.

Perjalanan menuju ke Jakarta menjadi sebuah perjalanan yang sangat menakutkan bagi seorang Pramono, karena sepanjang perjalanan tersebut dia terus melihat sosok penampakan Seroja seperti kuntilanak di pandangan matanya. Pramono terus bersembunyi di balik jaket kulit berwarna hitam yang dikenakannya, dengan penuh rasa ketakutan yang luar biasa.

Maka di sepanjang perjalanan Pramono hanya dapat memejamkan terus kedua matanya, tanpa berani membukanya sama sekali. Hal ini membuat kedua temannya tersebut merasa aneh sekali dengan sikapnya, tetapi mereka tidak dapat berbuat apa pun hanya dapat saling berpandangan dengan berjuta pertanyaan.

Karena Pramono sendiri tidak dapat menceritakan penyebab sikap anehnya ini, dia hanya diam dan diam karena rasa ketakutan yang luar biasa di dalam dirinya.

****

Cukup jauh perjalanan yang harus di tempuh dengan menaiki kereta api ini dari Jawa Timur hingga ke Jakarta, akhirnya jam 20:00 WIB kereta api tersebut pun tiba di stasiun Senen dan saat ini hujan turun dengan derasnya.

Baru saja kereta api berhenti Pramono dengan cepat segera bergegas turun dari atas kereta api, sambil membawa tas ransel miliknya. Tanpa memperdulikan kedua orang temannya, yang ditinggalkan dalam kebingungan dengan sikapnya tersebut.

Sedangkan Seroja sendiri turun dengan perlahan keluar dari atas gerbong kereta api, dan langsung berjalan menuju keluar stasiun. Di depan stasiun kereta api Seroja berdiri dalam kebingungan, baru pertama kalinya Seroja datang ke Jakarta.

Dia belum mengetahui sama sekali bagaimana situasi dan juga kendaraan apa, yang sebaiknya dia gunakan untuk ke rumah Bapak dan juga Rembulan. Seroja mengeluarkan secarik kertas, yang disimpannya di dalam dompet.

Kemudian segera membaca petunjuk yang ada di dalam kertas tersebut, di dalam kertas tertulis agar dia naik angkot 06A jurusan Cijantung agar dapat tiba di alamat yang tertera dalam kertas.

Kepala Seroja menoleh ke kanan dan kiri mencari angkot yang dimaksudkan, cuaca hujan deras yang lebat sungguh mempersulit Seroja dalam melihat ke sekelilingnya.

Setelah beberapa menit berjalan mencari dari tepian trotoar, akhirnya Seroja pun melihat angkot tersebut. Setelah bertanya dengan seorang perempuan muda, untuk memastikan jurusan angkot tersebut Seroja bergegas menaiki angkot itu.

Angkot tersebut berisi penumpang yang lumayan penuh hanya menyisakan dua bangku kosong saja, hujan deras yang terus turun membasahi bumi membuat udara di sekitar terasa sangat dingin sekali malam hari ini.

Pada saat masih di dekat wilayah stasiun Senen situasi masih terlihat sangat ramai sekali, hiruk-pikuk orang yang lewat dengan kesibukannya masing-masing nampak tiada henti. Beberapa menit ketika angkot sudah berada di tengah perjalanan tiba-tiba saja angkot tersebut berhenti, seketika penumpang pun menjadi ribut penuh dengan pertanyaan.

"Kenapa angkotnya Bang? Kok berhenti tiba-tiba, mogok ye?" tanya seorang Ibu separuh baya yang naik bersama dengan anaknya yang masih balita.

"Ga tau nih Bu, aye periksa dulu ya!" jawab supir angkot tersebut nampak mulai panik dengan kondisi yang ada.

Hujan saat ini nampak mulai mereda, hanya gerimis yang masih terus turun secara perlahan tapi pasti. Supir angkot tersebut langsung turun dari dalam angkot, kemudian memeriksa mesin sejenak mesin angkotnya itu.

Sedangkan kenek angkotnya yang masih remaja tanggung, hanya diam saja menunggu di dekat pintu masuk penumpang. Karena nampaknya dia tidak mengerti sama sekali akan mesin mobil tersebut, jadi hanya diam menunggu sama seperti penumpang lainnya.

"Bagaimana Bang? Bisa jalan ga nih angkotnya? Kalau ga bisa kita naik angkot yang lain?" tanya seorang lelaki muda yang merupakan salah satu penumpang angkot, nampak tidak sabar ingin mengetahui keadaan angkot tersebut.

"Maaf nih Bapak-bapak dan Ibu-ibu, sepertinya angkot aye ini mesinnya mati total! Ga tahu kenape, kalau begitu silahkan naik angkot lain aje deh, karena saya juga ga bisa ngebenerinnye," seru supir angkot tersebut akhirnya, memberikan kabar keadaan angkotnya saat ini dengan logat Betawinya yang kental, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal penuh kekesalan.

Mendengar pernyataan dari supir angkot tersebut semua penumpang segera turun dari dalam angkot, beberapa dari mereka nampak menggerutu dengan kesal. Kemudian semua penumpang angkot tersebut pun menyebar, berusaha mencari angkutan umum yang lainnya sambil menghindari rintik hujan yang masih terus saja turun.

Sedangkan supir angkot beserta dengan keneknya, nampak berusaha menepikan angkot tersebut ke pinggir jalan. Seroja sangat bingung dengan situasi seperti sekarang ini, akhirnya dia berjalan ke tepian trotoar kemudian berdiri sejenak di sana menunggu angkot yang sama lewat di hadapannya.

Beberapa menit kemudian angkot yang Seroja tunggu belum juga lewat, sedangkan penumpang angkot yang lain nampak satu persatu mulai berlalu dengan menaiki ojek online yang dipesannya, atau ada sanak keluarga yang datang menjemput menggunakan motor.