webnovel

NAMA DI KAIN KAFAN

Saat ini adalah malam Jum'at Kliwon. Suara tetes air hujan terdengar jelas dari atap rumah Seroja, yang terbuat dari genteng tanah liat. Sebuah sobekan kecil, kain kafan putih tergeletak di atas meja riasnya. Seroja mengambil sebuah silet, yang tergeletak di samping kain kafan tersebut. Sambil menyeringai sinis dan membaca mantra, yang pernah diajarkan oleh Ibunya, Nyai Ayu Rembulan. Kemudian dia mulai menyayat sedikit ujung jari telunjuknya, agar dapat mengeluarkan darah segar. Pada saat darah menetes, Seroja mulai menuliskan tujuh nama laki-laki di atas sobekan kain kafan tersebut. "Besok, aku akan menyelipkan kain kafan ini di jenazah Rembulan. Agar rohnya kelak dapat membantu aku, membalaskan semua dendam!" gumam Seroja sambil menyeringai penuh kebencian.

Ifan_Tiyani · Horror
Not enough ratings
284 Chs

PERISTIWA MENGERIKAN DI KERETA API

   Seroja menunggu kedatangan kereta menuju ke Jakarta, sambil duduk diantara kursi yang ada di peron dekat stasiun kereta. Di sampingnya nampak Mbok Kantil menemani Seroja, sambil memegang gagang tas koper milik Seroja yang diletakkan di hadapannya. 

   Tidak berapa lama kemudian, kereta api yang mereka tunggu pun tiba. Seroja segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian berpamitan dengan Mbok Kantil. Sambil mengambil gagang tas kopernya, dari tangan Mbok Kantil. 

   "Aku pamit Mbok, jaga kuburan dan rumah Ibu baik-baik!" pesan Seroja sambil tersenyum tipis. 

   Wajah Seroja yang saat ini, sungguh berbeda dari Seroja yang dahulu dalam pandangan Mbok Kantil. Seroja yang sekarang persis seperti Ibunya Nyai Ayu Rembulan, yang terlihat cantik mempesona tapi memancarkan aura kekejaman di dalam sinar bola matanya. 

   "Iya Mbak, hati-hati di jalan!" pesan Mbok Kantil sambil mencium tangan Seroja lalu memeluknya dengan erat. 

   Barangkali bagi orang yang melihat hal tersebut akan merasa aneh sekali, karena ada orang tua yang mencium tangan seorang perempuan muda, yang sangat cantik untuk berpamitan bukan sebaliknya. 

   Tetapi itulah yang terjadi karena bagi Mbok Kantil, saat ini Seroja bukanlah seorang perempuan muda biasa. Dia merupakan sosok "Tuan" yang dipujanya saat ini, sesuai dengan ajaran ilmu kebatinan yang dianutnya selama ini. 

   Pada saat kereta berhenti tepat dihadapannya, Seroja segera masuk ke dalam kereta api tersebut, sambil melambaikan tangan dan tersenyum ke arah Mbok Kantil. 

   "Ingat pesan aku Mbok!" teriak Seroja dari atas kereta mengingatkan. 

   "Pasti Mbak!" jawab Mbok Kantil sambil tersenyum dan membalas lambaian tangan Seroja. 

   Lalu Seroja segera masuk ke dalam kereta api tersebut lalu segera mencari nomor kursi, yang tercantum sesuai di dalam karcis kereta yang dipegangnya saat ini. Setelah menemukannya Seroja segera duduk di kursi tersebut, yang ternyata berada di dekat jendela. 

   Beberapa saat kemudian datang lah seorang lelaki separuh baya bersama dengan kedua orang temannya, yang ternyata satu orang diantara mereka duduk di samping Seroja sedangkan yang dua orang lagi duduk di hadapannya. 

   Maka jadilah posisi duduk mereka saat ini mengapit Seroja, yang duduk berada di dekat jendela kereta. Ketiga orang lelaki yang duduk di hadapan Seroja itu, nampak memandang genit kearah dirinya. Terlihat sekali ketiga lelaki tersebut, terpesona akan kecantikan Seroja saat ini. 

   Seroja nampak tidak terlalu memperdulikan hal tersebut, dia hanya terus melemparkan pandangan matanya keluar jendela kereta api. Ada perasaan hampa di dalam hatinya saat ini, karena akan meninggalkan kota kelahirannya tercinta. 

   Padahal sebelumnya Seroja belum pernah pergi jauh kemana pun, dan ini adalah pertama kalinya Seroja akan pergi jauh dari rumahnya. Kereta api mulai bergerak berjalan menelusuri relnya, meninggalkan suara peluit yang sangat keras untuk memberikan kesan keberadaannya tadi. 

   Seroja memejamkan kedua matanya perlahan, sambil memeluk jaket berwarna hijau dalam dekapannya. Saat ini hari menjelang senja, yang akan segera menyongsong kedatangan sang malam. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib, yang membuat Seroja membuka kedua matanya dengan segera. 

   Suara adzan maghrib tersebut sangat membuatnya merasa sangat tidak nyaman sekali, jantung Seroja terasa berdegup lebih cepat dan gendang telinganya terasa panas seketika.

   Pada saat yang bersamaan lelaki yang berada di samping Seroja nampak tersenyum kearahnya, lalu mengajak Seroja berbicara dengan sikap sok akrab terhadap dirinya. 

   "Mau ke Jakarta Mbak?" tanya lelaki tersebut sambil merapikan jaket yang dikenakannya. 

   "I-iya Mas," jawab Seroja singkat sambil tersenyum tipis. 

   "Kenalkan nama saya Pramono, dan itu teman saya Sugeng, sedangkan yang satunya lagi saat ini sedang ke toilet bernama Bagas. Mbak sendiri namanya siapa?" tanya lelaki tersebut sambil terus menebar senyumannya, lalu mengulurkan tangan mengajak Seroja bersalaman. 

   "Nama saya Seroja Mas," jawab Seroja dengan sikapnya yang terlihat tidak nyaman dengan situasi saat ini, lalu menyambut uluran tangan Pramono.

   Sebenarnya Seroja lebih suka diam menyendiri, atau pun tidur dari pada berbicara dengan lelaki ini. 

   "Nama yang sangat cantik, seperti orangnya hehehe," puji lelaki tersebut yang memperkenalkan dirinya bernama Pramono sambil tertawa lepas.

   Kemudian menggenggam erat tangan Seroja, sampai lupa melepaskannya kembali, hingga Seroja menarik dengan keras tangannya sendiri. 

   "Wah ada yang mulai merayu nih! Hehehee," komentar temannya Pramono bernama Sugeng yang duduk di hadapannya sambil tertawa menggoda. 

   "Seorang lelaki dengan pikiran yang sama joroknya!" gumam Seroja di dalam hatinya. 

   "Mbak Seroja ingin sudah berapa kali ke Jakarta? Apakah sudah sering?" tanya Pramono lagi. 

   Tampak sekali lelaki itu mencoba melakukan pendekatan kepada Seroja, yang terlihat sangat cantik sekali dalam pandangan matanya. 

   "Saya baru kali ini ke Jakarta, memangnya kenapa, Mas?" jawab Seroja balik bertanya dengan ketus. 

   Saat ini Seroja dapat merasakan nafsu lelaki Pramono yang menggelora di dalam batinnya, dan Seroja juga dapat merasakan pula bahwa Pramono memiliki niat jahat terhadap dirinya. 

   "Wah, kalau begitu saya bisa membantu Mbak, untuk mencari alamat yang barangkali akan Mbak cari di Jakarta nanti, bagaimana?" tanya Pramono menawarkan. 

   "Oh tidak perlu Mas, karena saya sudah tahu alamat rumah saudara saya tersebut," jawab Seroja dengan sikap dingin, kemudian dia kembali memejamkan kedua matanya. 

   Melihat sikap Seroja seperti ini terhadap dirinya, Pramono tampak kesal dan tersinggung sekali. Dia melirik ke arah temannya, sambil menyeringai nakal penuh dengan kelicikan. 

   Tiba-tiba saja tangan Pramono mulai meraba masuk ke dalam jaket milik Seroja, pada saat Pramono berniat hendak melakukan pelecehan terhadap perempuan cantik tersebut. 

   Pramono merasakan tangannya yang meraba ke dalam jaket Seroja, terasa sangat perih sekali. Serta merta dia menarik kembali tangannya tersebut, kemudian Pramono melihat pada tangannya itu, terdapat lima buah bekas cakaran kuku tajam yang mengeluarkan darah segar dan terus mengucur. 

   Melihat hal tersebut Pramono merasa sangat terkejut dan ketakutan sekali, seketika dia berteriak keras sambil memegang tangannya yang mengucurkan banyak darah. 

   "Aaaght! Astaga!" teriak Pramono dengan suara yang keras dan nampak ketakutan sekali. 

   "Ada apa Pramono?" tanya Sugeng temannya nampak sangat terkejut, melihat temannya tersebut berteriak tiba-tiba. 

   Demikian pula dengan seluruh penumpang yang berada di dalam gerbong kereta api tersebut, mereka semua langsung menoleh ke arah Pramono yang wajahnya terlihat pucat pasi dan menggigil ketakutan. 

   "Ta-tanganku Sugeng! Tanganku ada yang mencakar dengan kukunya yang tajam, hingga terkena ke dalam tulang! Dan lihatlah ... sampai mengeluarkan banyak darah! Pa-pada saat aku sedang merogoh masuk, ke dalam jaket perempuan itu! Hiiih! Sangat mengerikan, dan sangat sakit sekali!" tutur Pramono menceritakan apa yang dialaminya, dengan bibir bergetar ketakutan. 

   Sambil memegang tangannya yang mengeluarkan banyak darah dengan erat, kemudian dia pun langsung secara reflek berpindah tempat duduk di samping temannya tersebut. Mendengar penjelasan Pramono temannya yang bernama Sugeng, segera melihat tangan Pramono yang dipegangnya erat dengan penuh keheranan.