webnovel

? - Diriku yang Lain (BETA)

Renka duduk tegak di dalam selnya, tatapan cemas melintas di matanya saat ia mendengar keributan di luar.

Suara-suara keras dan berisik merayap masuk melalui jendela besi yang kecil, menciptakan gelombang kecemasan di dalam hatinya.

Tangannya terbungkus oleh besi dingin, terikat dengan kukitan yang kokoh, sedangkan kedua kakinya terikat bola pemberat yang membuatnya sulit bergerak.

Renka tahu ia harus bergerak. Ia memperhatikan bola pemberat yang mengikat kakinya.

"Tidak ada waktu lagi," bisiknya pada dirinya sendiri.

Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, Renka mulai mengayunkan bola pemberatnya ke arah dinding.

Bola pemberat itu menabrak dinding dengan kekuatan penuh.

Renka bisa merasakan getaran itu berpindah dari tangannya ke lengan, lalu ke seluruh tubuhnya.

Tapi ia tidak peduli. Ia terus mengayunkan bola itu, lagi dan lagi, hingga akhirnya, dinding itu mulai retak.

Perlahan dinding itu runtuh, membuka jalan keluar bagi Renka. Meskipun tubuhnya terasa lelah dan terluka.

Pertama-tama yang lewat dipikirannya adalah untuk mencari Ralph, ia teringat bahwa Ralph juga menjadi tahanan di sini.

Dengan langkah cepat, Renka berlari melalui lorong-lorong yang sunyi.

Saat dia melintasi setiap sel yang kosong, pandangannya terus memeriksa setiap sudut ruangan.

"(Apa yang bisa terjadi pada Ralph? Apakah dia baik-baik saja?)" Sementara ia berlari, Renka berbisik pada dirinya sendiri, memanggil nama Ralph dalam doa-doa kecilnya. 

Terdengar, suara gemuruh keras memecah keheningan di koridor. Renka merasa detak jantungnya melonjak. Tanpa ragu, ia mengarahkan langkahnya menuju sumber suara itu.

Saat mendekat, ia melihat sekelompok bangsawan yang sedang berhadapan dengan seseorang di ujung lorong. Renka melihatnya dengan jelas. Itu Ralph!

Dengan hati yang berdebar, Renka menyerbu ke arah mereka. Ia tidak peduli dengan risiko apa pun dan ia tidak akan membiarkan apapun terjadi padanya.

"Ralph!" Renka berteriak.

Ralph menoleh, matanya terbuka lebar melihat Ren. Ekspresi lega terpancar di wajahnya.

"Ren! Jangan! Menjauhlah!" seru Ralph dengan suara gemetar.

Renka berusaha menolong Ralph yang tengah disiksa oleh bangsawan tapi justru dirinya malah dijambak oleh bangsawan lainnya hingga badannya terangkat lalu bangsawan tersebut mengambil sebilah pisau dan mengiris dahinya Renka saat dijambak.

Renka terdiam, bertekuk lutut di tanah yang dingin. Dalam diamnya yang menyayat hati, ia mendongakkan kepalanya ke atas, melihat ke langit yang gelap.

Mungkin ia mencari jawaban atas pertanyaan yang tak terucap. Atau mungkin ia hanya berdoa, memohon kekuatan untuk melawan kegelapan yang menghantamnya.

"(Kepada siapa aku harus meminta pertolongan? Siapakah yang akan menolongku? Tertuju pada siapa doaku?)"

Renka terus bertekuk lutut dan darah terus mengalir melewati kedua matanya.

"Ren! Kumohon sadarlah! Buka mata kamu! Kumohon sadarlah dan lari dari sini!" Ralph tak kuasa melilhat situasi yang dialami oeh Ren saat ini

Sampai-sampai bangsawan yang tengah menyiksa Ralph teralihkan untuk meneriakinya, "Hei pribumi! Apa kau begitu ketakutan karena inilah kali pertamamu melihat kami menyiksa seseorang?"

"Rasakan kekuatanku, Renka. Jadilah alatku untuk menghancurkan segala yang menghalangiku," bisikan iblis terdengar dalam benak Renka. Renka meresapi kekuatan itu, memberikan intensitas baru pada serangannya terhadap bangsawan tersebut.

"Kami adalah iblis yang akan menghantui mimpi burukmu," lanjut bangsawan dengan suaranya yang mengancam.

Renka kemudian menatap bangsawan itu dengan mata yang masih dipenuhi rasa sakit.

Meskipun tubuhnya terluka, semangatnya masih berkobar, seperti bara kecil yang tak kunjung padam.

Renka terdiam sejenak kemudian dengan nada yang tidak dikenali, Renka berkata. "Kata-kata yang sangat lucu untuk dilontarkan oleh seorang bangsawan suci."

Bangsawan itu merengut, kekesalannya mulai terlihat jelas di wajahnya yang sombong. "Kau berani bicara dengan penuh kepercayaan, pribumi?" ejeknya dengan sinis. "Kau hanyalah seorang anjing kampung yang terluka. Kau tidak punya apa-apa untuk ditakuti."

Meskipun Renka terus bertekuk lutut di tanah yang dingin, ia tidak memalingkan tatapan dari bangsawan yang menghadapinya dengan keangkuhan yang memuakkan.

Darah yang mengalir dari luka di dahinya telah menutupi kedua matanya, membuktikkan bahwa tak ada lagi cahaya yang menerangi kegelapan yang menyelimutinya.

"Apa-apaan tatapanmu itu!" seru bangsawan itu, suaranya penuh dengan nada merendahkan. "Apa kau begitu ketakutan karena inilah kali pertamamu melihat kami menyiksa seseorang?"

"Tuhan menyertai mereka yang tiada rasa takut." Ren tersenyum.

"Tunggu! Dari mana kau tahu frasa itu!?" seru bangsawan dengan kebingungan.

Renka tersenyum, senyum yang menakutkan bagi bangsawan itu, karena sangat tidak wajar bagi seseorang yang telah menyaksikan sesuatu yang begitu keji di hadapannya justru tersenyum.

Bangsawan itu merasa terganggu oleh perubahan suasana hati Renka. "Apa yang kau lakukan, pribumi?" tanyanya dengan ketidakpercayaan.

Renka hanya tersenyum, ia mulai mendekati bangsawan itu. Langkahnya seakan menggambarkan keputusan yang tak terelakkan, sebuah takdir yang baru saja berbalik.

Sesaat, Renka menghentikan langkahnya, dan dengan tangan kirinya yang terulur ke belakang, sebuah bilah berwarna hitam pekat perlahan muncul dari telapak tangannya beriringan dengannya menggenggam gagang pedangnya dan lalu menggeretnya.

Perlahan, bilah itu berubah menjadi pedang dengan bilah yang panjang dan berwarna hitam pekat.

Renka merasakan kekuatan gelap yang bersembunyi di dalam dirinya mulai meluap-luap. Cahaya biru misterius dari pedang terkutuknya menjadi semakin intens, menciptakan aura yang menggetarkan udara di sekitarnya. Ralph, yang menyaksikan pertempuran ini, merasa kehadiran kekuatan gelap yang mengancam.

Kekuatan gelap itu, ternyata berasal dari pedang kuno yang telah lama tertidur di dalam ruang dimensi lain. Sebuah iblis jahat telah merasuki pedang tersebut, memberikan Renka kekuatan yang tak terduga. Renka, terombang-ambing antara kebaikan dan kegelapan, merasakan dorongan kuat untuk menggunakan kekuatan tersebut demi memenangkan pertempuran.

"Yuvya Reidoclaus." Renka tersenyum tipis saat melihat ekspresi ketakutan yang tersemat di wajah bangsawan itu.

Ia mendekati bangsawan tersebut sambil menggenggam sebilah pedang panjang dengan menggeretnya.

Bangsawan itu menggigit bibirnya, menahan ketakutannya. Ia tidak pernah melihat sesuatu yang seperti ini sebelumnya. Kekuatan yang sekarang terpancar dari tubuhnya Renka membuatnya merasa gelisah.

"Kau pikir kau bisa menakut-nakutiku dengan trik konyol itu?" ucap bangsawan itu dengan nada mencoba menunjukkan keberanian, meskipun matanya tak bisa menyembunyikan rasa ketidakpastian.

Renka hanya tersenyum lebih lebar lagi. "Begitukah menurutmu?"

Bangsawan itu menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk melawan, tetapi keberanian yang dia klaim punah begitu saja di hadapan kekuatan yang mengintimidasinya oleh Renka. Dia tahu, dia tidak akan bisa melarikan diri untuk saat ini.

Dengan gemetar, dia menjawab, "Aku... aku akan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Tolong, jangan lakukan apapun!"

"Benarkah begitu?" Ucap Renka dengan suara asing.

"Jangan! Tolong, aku akan memberimu apa saja yang kau inginkan, hanya jangan lakukan ini," teriak bangsawan itu, suaranya penuh dengan ketakutan dan putus asa.

"Kau pikir kau bisa membeli hidupmu dengan harta duniawi?" tanyanya, suaranya bergetar oleh kegilaan yang tak terkendali. "Kematianmu akan menjadi peringatan bagi mereka yang memilih jalur yang sama seperti dirimu. Dan kini, permainan telah usai."

"JADI SEBENARNYA SIAPAKAH YANG IBLIS DI SINI!!?" Teriak bangsawan pada puncak ketakutannya.

Dengan gerakan yang cepat dan presisi, Renka mengayunkan pedang terkutuknya ke arah dada bangsawan itu. Darah segar segera memancar dari luka yang dalam, dan tatapan panik meredup di mata bangsawan itu saat kehidupan meninggalkan tubuhnya.

Pedang terkutuk itu berkilat lebih terang, dan Renka melancarkan serangan brutal ke arah bangsawan. "Ren, hentikan! Sadarlah!" teriak Ralph, yang begitu khawatir kepada Ren.

"Yuvya Reidoclausol." Renka hanya menatap bangsawan itu dengan dingin, senyum kepuasannya menghiasi bibirnya. Permainan telah berakhir, dan Renka, sang penggeraknya, menikmati kesempurnaan dari hasil karyanya yang mengerikan.

Mata yang dulu penuh kebaikan kini memancarkan kecemerlangan kegelapan. "Kau semua tak ada artinya!" Renka berseru dengan nada yang tak terkenali.

Dalam keadaan semakin gila, Ren melirik Ralph dengan tatapan dingin. "Ralph, kau hanya penghalang bagiku. Aku akan menghapus segalanya!" rengekan Ren, suaranya tidak dikenali oleh Ralph.

Ralph, meski terluka oleh perkataan Ren, tetap berusaha mendekatinya. "Ren, ini bukan dirimu! Kita bisa melalui semua ini bersama-sama," ucap Ralph dengan penuh keyakinan.

Ren tertawa kejam. "Kau akan menyesal telah berdiri di jalanku," ucapnya, memandang Ralph dengan kedua mata yang kini terlihat penuh kebencian.

Sementara itu, kekuatan gelap semakin menguasai Ren. "Kau adalah alatku yang sempurna. Hancurkan mereka semua!" bisikan iblis kembali menghantui benak Ren, membuatnya semakin kehilangan kendali.

Ralph mencoba memblokir serangan Ren. "Ren, temukan dirimu kembali! Jangan biarkan kegelapan mengendalikanmu!" desak Ralph, tetap saja Ren hanya tertawa menyeringai.

Dengan mata yang sepenuhnya menghitam, Ren tersenyum sambil berkata, "Kau terlalu banyak mengoceh," Ren berkata dengan dingin, serangan pedangnya semakin ganas. Ralph, tersakiti oleh perkataannya Ren. Meski terluka dan putus asa, Ralph tetap mencoba menghentikan Ren, berharap bahwa temannya yang dulu bisa kembali.

Sementara itu, Ralph, meski terus mencoba mendekati Ren, merasa kebingungan dan putus asa melihat perubahan drastis dari Ren. "Ren, ini bukan dirimu! Jangan biarkan kegelapan merusakmu!" serunya dengan penuh keputusasaan.

Ren hanya tertawa mengejek. "Ralph, kau hanya menghalangi jalanku!" ucapnya dengan nada merendahkan, serangan pedangnya semakin mematikan.

Ren tertawa dengan kegilaan yang mencekam. "Ralph, kau tak mengerti. Kekuatan ini memberiku kepuasan. Aku tak terkendali," ucap Ren dengan suara yang bergetar, seolah terdengar dua suara bersatu dalam satu tubuh.

Ralph melihat dengan ngeri saat Ren, yang kini dipenuhi oleh kekuatan gelap, menatapnya dengan mata yang memancarkan cahaya biru misterius. "Ren, hentikan ini! Kau kehilangan kendali diri!" seru Ralph, berusaha mendekati Ren yang tengah terombang-ambing di antara kebaikan dan kegelapan.

Dalam keadaan kegelapan yang meliputi dirinya, Ren terdengar tertawa dengan gila. "HAHAHA! Kalian semua tak berdaya di hadapan kekuatanku yang sejati!" bisik iblis dalam benaknya, memperkuat tekad untuk menghancurkan segalanya.

Ren, yang kini tampak kehilangan akal sehat, melancarkan serangan brutal ke arah siapa pun yang berani mendekatinya. "Siapa berani menantangku?" desaknya, mata yang dipenuhi kecemerlangan kegelapan memancarkan ancaman.

"Ren, tidak bisakah kamu mendengarku?! Ini aku, Ralph!" Ralph sekarang menangis sambil berusaha untuk tidak menatap Ren secara langsung, takut dia akan melancarkan serangannya padanya

Pandangan Ren yang seketika teralihkan, melintas di antara bayangan-bayangan reruntuhan. Tersirat dalam tatapannya, kegelapan yang memayungi kebenaran. Dalam jarak yang semakin dekat, gelak tawa Ren menyiratkan niat jahat yang tak terbendung.

"Menyerahlah," desis Ren, pedang terkutuknya bersinar di bawah cahaya redup. Di antara reruntuhan, Ren menancapkan pedang terkutuknya saat tepat berhadapan dengan Ralph.

Ralph mencoba menghindar, tetap saja takdirnya telah terjebak dalam belenggu tak terlihat. Tanpa rasa kasihan sedikit pun, Ren langsung menghantam Ralph hingga terpental dan terus mengejarnya saat terpental.

"Ren! TIDAK!" Ralph menangis, setiap tetes air mata adalah seruan keputusasaan. Pukulan demi pukulan dari Ren menyisakan rasa sakit yang merobek hati Ralph. Dia berteriak, memohon agar Ren berhenti, serangan itu tak mengenal belas kasihan.

Ren mengejar Ralph tanpa ampun, kegelapannya melingkupi segalanya. Di tengah keputusasaan, Ralph menemukan kekuatan untuk bicara, suaranya gemetar terbawa angin.

"Kamu bukan dirimu sendiri lagi, Ren. Berhenti menyerangku. Aku tahu kamu bisa mendengarku."

Suara Ralph hanya disambut dengan derap langkah Ren yang semakin mendekat. Ralph menahan setiap pukulan dengan tekadnya, air mata berubah menjadi api kemarahan yang membara.

Pada saat Ralph hampir menyerah pada kelelahan, Ren berhenti sejenak. "Aku ingin kamu mendengar, Ren. Aku masih ada di sini," ucap Ralph dengan napas terengah-engah. Namun, ekspresi Ren tetap keras, seolah tak terpengaruh.

Ren menahan pukulan sementara lalu tiba-tiba, Ren menghampiri Ralph dengan cepat dan tanpa ampun menghantamnya. Hingga terhempas pada reruntuhan di sekitarnya.

"Ren, kumohon, sadarlah..." desis Ralph dengan mata memohon tidak tahu harus berbuat apa sambil air matanya terus jatuh, sementara tubuhnya terhempas ke reruntuhan, menyisakan kehancuran di sekitarnya.

Air mata mengalir di pipinya saat dia mencoba menatap mata Ren yang hanya mengingatkannya pada kebaikan yang dia lihat pada Ren yang kini hilang. Dia berlutut, mata memohon, sementara air mata terus jatuh seperti hujan deras.

Di tengah gemuruh kehancuran, Ralph mencoba bangkit, tetapi kakinya gemetar di bawah beban pukulan-pukulan yang tak manusiawi. Ren, seolah menjadi sosok yang tak mengenal belas kasihan, menatapnya dengan mata dingin yang telah kehilangan segala kehangatan.

Dengan darah mengalir di wajahnya, Ralph perlahan beranjak dan mengangkat wajahnya. "Aku takkan menyerah," serunya, suaranya bergemuruh di tengah kehancuran sekelilingnya. "Sadarlah, kamu harus meminta maaf kepadaku nanti."

"Oh tak kusangka, kau masih ingin melawan?" desis suara yang tak dikenali.

"Apa yang kau harapkan? Kau takkan bisa menghentikanku," ujar suara yang tak dikenali, napasnya terengah-engah.

"Ren, kamu telah melanggar segala prinsip yang kita pegang bersama," ucap Ralph dengan suara yang seakan menusuk ke dalam jiwa Ren. "Tidak ada lagi tempat untukmu di sini."

Ren tersenyum sinis, lalu dengan gerakan cepat, ia kembali melancarkan pukulan ke arah Ralph. Ditengah hantaman yang menghancurkan, Ralph dengan sigap menghindar, menunjukkan kekuatan yang masih tersisa.

"Kau memang pantas dihancurkan," ucap Ren dengan nada merendahkan.

... Ralph tetap berdiri tegar,

... memancarkan semangat perlawanan,

... Di tengah kegelapan,

... api keberanian menyala di matanya yang semakin memudar.

Tetapi serangan demi serangan terus menghantam

Mengubah harapan Ralph menjadi redup saat dirinya ambruk ke tanah.

Air mata yang jatuh dari matanya seolah menjadi saksi bisu akan kehilangan yang tak terhindarkan.

Sementara itu, Ren hanya melanjutkan pertaruhannya pada kegelapan yang semakin dalam, meninggalkan Ralph terjerat dalam keputusasaan yang mendalam.

"...Ren?"