webnovel

4 - Rumah Keluarga Besar "Murphy"

Ren mengerang pelan saat rasa nyeri di pinggangnya menyeruak, membuatnya sulit untuk bergerak. Suara hujan deras di luar jendela menambah kesan dingin dan suram di dalam kamarnya.

Ia mencoba menyesuaikan matanya dengan kegelapan, menyadari bahwa ia sudah kembali ke panti asuhan Murphy.

Kamar kecil itu terasa begitu akrab namun sekaligus terasa asing dengan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.

Dengan hati-hati, Ren berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Ia melihat Louise dan Violet tertidur lelap di kasur dekat tempat tidurnya.

Wajah mereka tampak letih, mungkin karena mereka mengkhawatirkan dirinya. Ren tersenyum lemah, merasa bersyukur memiliki teman-teman yang begitu peduli. "Jadi, mereka yang membawaku, ya?"

Ren perlahan bangun dengan perasaan bingung dan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia meringis saat berusaha bangkit, menyadari betapa lemah dirinya saat ini. "Aku terbangun...?"

Perutnya keroncongan, dan rasa lapar mulai menguasainya. Ia memutuskan untuk turun ke lantai satu, mencari makanan sisa di dapur.

Langkahnya pelan dan hati-hati, berusaha menghindari suara derit lantai kayu yang bisa membangunkan penghuni lainnya.

Saat tiba di dapur, Ren membuka lemari dan laci, berharap menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Akan tetapi, tak ada apa pun di sana.

Kekecewaan mulai menyelimutinya hingga pandangannya tertuju pada sebuah keranjang yang berisi kentang segar baru dipanen.

Tanpa pikir panjang, Ren mengambil beberapa kentang dan berusaha mengupasnya dengan tangannya yang gemetar.

Perutnya begitu lapar hingga ia merasa tak tahan lagi. Ia hampir saja menggigit kentang itu mentah-mentah, ketika matanya menangkap sosok samar di luar jendela, membawa obor.

Rasa penasaran mengalahkan rasa laparnya. Ren meletakkan kentang itu kembali ke keranjang dan mendekati jendela dengan hati-hati.

Di bawah cahaya obor, ia melihat bayangan seseorang yang berdiri di dekat pagar.

"Siapa itu?" gumam Ren pada dirinya sendiri. Pikirannya berputar-putar dengan berbagai kemungkinan.

"Apa yang dilakukan seseorang di sini ditengah malam hujan deras seperti ini?" Rasa penasaran sudah menguasai dirinya sepenuhnya.

Ia melangkah pelan, berusaha agar lantai kayu di bawahnya tidak mengeluarkan suara. Gemericik hujan di luar sedikit membantu menutupi bunyi langkahnya.

Sosok di luar jendela masih berdiri dengan obor di tangan, cahaya obor itu terlihat mulai meredup.

Ren merapatkan tubuhnya pada dinding di samping jendela, perlahan mengintip keluar dengan hati-hati.

Ren mengernyitkan mata, berusaha menangkap detail lebih banyak. Sosok itu berdiri diam, seolah sedang menunggu sesuatu.

Hatinya berdebar lebih kencang ketika cahaya obor mulai berkedip-kedip sebelum akhirnya padam sepenuhnya.

Samar-samar terlihat sesaat sebelum obor itu padam, Sosok yang memegang obor terus menunduk, memakai gaun terusan berwarna putih dan terdapat pita hitam yang diikat pada pinggang.

"Oh!" Ren tersentak. Ia memegang tepi jendela, tidak yakin apakah harus membuka jendela dan memanggil sosok itu, atau tetap diam di tempat.

"Hei! Siapa di sana?" Ren memanggil dengan suara setengah berbisik, setengah berteriak. Ia merasa tenggorokannya kering dan suaranya terdengar serak.

Tidak ada jawaban. Hanya suara hujan yang deras memenuhi udara. Ren menunggu sejenak, berharap ada tanda-tanda dari sosok tersebut, membuat Ren semakin gelisah.

Ren memutuskan untuk membuka jendela sedikit, cukup untuk mengintip lebih jelas dan mungkin mendengar lebih baik.

Angin malam yang dingin menyapu wajahnya ketika ia berhasil membuka jendela.

Mata Ren terbiasa dengan kegelapan malam, tapi sosok itu sudah tidak terlihat lagi.

"Ke mana dia pergi?" gumam Ren pada dirinya sendiri, merasa sedikit bingung. Ren menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang berdebar.

Ia mundur beberapa langkah dari jendela, berpikir dengan cepat. Tidak mungkin ia hanya duduk diam setelah apa yang baru saja dilihatnya. Ia harus keluar dan mencari tahu siapa sosok itu.

Tapi pertama-tama, Ren memerlukan sesuatu untuk membela diri. Ia melirik sekeliling, mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata.

Pandangannya tertuju pada tongkat kayu yang biasa digunakan untuk menahan jendela agar tetap terbuka.

Ia mengambil tongkat itu, menggenggamnya dengan erat. Setidaknya, ini lebih baik daripada tidak membawa apa-apa.

Ren membuka pintu depan dengan pelan, berusaha untuk tidak membuat suara. Angin malam yang dingin menyambutnya, membuat bulu kuduknya meremang.

Ia melangkah keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya. "Di mana kamu?" Ren bergumam, setengah berharap akan mendengar jawaban.

Tanpa ada sahutan, yang ada hanya suara hujan yang jatuh di atas tanah dan gemerisik daun yang tertiup angin.

Sosok itu tidak bergerak, seolah tidak mendengar panggilan Ren. Merasa lebih berani, Ren melangkah mendekat, dengan tetap menjaga jarak aman.

"Aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin tahu siapa kamu," kata Ren, suaranya terdengar sedikit gemetar.

Sosok itu perlahan mengangkat kepala, dan Ren bisa melihat wajahnya samar-samar. Kemudian, sosok itu mulai bergerak, perlahan mendekati Ren.

"Apa… apa yang kamu lakukan?" tanya Ren, berusaha tetap tenang meski detak jantungnya semakin cepat.

Tanpa menjawab, sosok itu terus maju, sampai akhirnya ia cukup dekat untuk Ren melihat matanya yang kelam namun penuh dengan rasa rindu.

Tiba-tiba, sosok itu meletakkan kepalanya di dada Ren, membuatnya terkejut dan kaku.

"Ren? Aku tahu itu suaramu," kata sosok itu dengan suara lembut yang akrab di telinga Ren.

Ren tertegun, mengenali suara itu. "Ralph? Itu kamu?"

Ralph mengangguk perlahan, kepalanya masih bersandar di dada Ren. "Ya, Ren. Ini aku. Maaf kalau aku membuatmu takut."

Ren menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. "Kenapa kamu di sini? Terlebih lagi ditengah malam dan hujan deras begini, kamu bisa sakit... Ralph"

Ralph tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya di dada Ren. Setelah beberapa saat, Ren melepaskan diri perlahan dan memegang bahu Ralph dengan lembut. "Ayo masuk ke dalam, kita bicara di dalam," kata Ren, suaranya masih gemetar tapi penuh perhatian.

Mereka berjalan menuju pintu. Setibanya di dalam, Ren segera menutup pintu dan mengajak Ralph duduk di sofa ruang tamu. Ren meraih handuk dari kamar mandi dan memberikannya kepada Ralph yang basah kuyup.

"Lap dulu tubuhmu. Aku akan menyalakan perapiannya," ujar Ren, mencoba menenangkan suasana.

Ralph mengangguk pelan dan mulai mengeringkan dirinya. Sementara itu, Ren pergi ke dapur mencari pemantik perapiannya.

Ralph merasa, Ren tampkanya kesulitan mencari pemantiknya, Ralph segera bangkit dari sofa setelah mengeringkan dirinya.

Ren mengambil beberapa benda dari lemari, termasuk cangkir untuk teh hangat. Ia mendengar langkah pelan Ralph mendekatinya.

"Apa yang sedang kamu cari?" tanya Ralph dengan suara parau.

Ren menoleh dengan canggung, sedikit bingung. "Aku mencari pemantik untuk menyalakan perapian. Sepertinya aku lupa di mana meletakkannya."

Ralph tersenyum tipis, mencoba menghangatkan suasana yang canggung. "Biar aku bantu mencarinya. Mungkin ada di laci lemari dapur."

Mereka berdua mulai mencari di berbagai sudut dapur. Ren membuka laci-laci satu per satu, sementara Ralph mengecek di atas lemari dan rak.

Setelah beberapa saat, Ralph menemukan sebuah kotak kecil berisi pemantik di sudut rak atas yang tersembunyi di balik beberapa bumbu dapur.

"Aku menemukannya," kata Ralph sambil menunjukkan kotak tersebut kepada Ren.

Ren tersenyum lega. "Terima kasih, Ralph. Ayo, kita nyalakan perapian dulu."

Mereka kembali ke ruang tamu, dan Ren menyalakan perapian dengan bantuan pemantik yang ditemukan Ralph. Api mulai menyala, memberikan kehangatan dan cahaya yang menyenangkan di dalam ruangan.

"Sudah lebih baik sekarang," kata Ren sambil duduk di sofa, mengamati api yang berkobar pelan. "Kamu mau teh atau kopi?"

Ralph duduk di sebelah Ren, sedikit kaku. "Teh saja, terima kasih."

Ren bangkit lagi dan menuju dapur untuk menyiapkan teh. Selagi menunggu air mendidih, ia berpikir tentang Ralph yang datang di tengah malam dengan keadaan basah kuyup. Hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan dan kekhawatiran.

Setelah membuat tehnya selesai, Ren kembali dari dapur dengan dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Ralph, menyerahkan secangkir kepadanya. "Minumlah ini, kamu pasti kedinginan," ujar Ren dengan nada yang hangat.

Ralph menerima cangkir itu dengan senyum tipis. "Terima kasih, Ren."

Mereka duduk bersebelahan, dan suasana hening sejenak. Ren tahu bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi, sesuatu yang membuat Ralph datang di tengah malam seperti ini.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ralph?" tanya Ren akhirnya, suaranya lembut namun tegas. "Kenapa kamu di sini, di tengah malam dan hujan deras?"

Ralph menatap cangkir teh di tangannya, seakan mencari jawaban di dalamnya. Setelah beberapa saat, ia mengangkat kepalanya dan menatap mata Ren dengan serius. "Aku... aku merasa tidak ada tempat lain yang bisa kutuju, Ren. Aku butuh seseorang untuk bicara, seseorang yang mengerti."

Ren terdiam, merasakan beban di balik kata-kata Ralph. "Apa pun itu, kamu bisa menceritakannya padaku. Aku ada di sini untukmu."

Ralph menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. "Aku merasa kehilangan arah. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku belakangan ini, dan aku merasa semakin terpuruk. Malam ini, aku tidak tahu harus ke mana lagi, jadi aku datang ke sini."

Ren merasakan empati yang mendalam. Ia tahu perasaan kehilangan arah dan kesepian itu. "Aku mengerti, Ralph. Kau tidak sendiri"

Keduanya terdiam sejenak, menikmati kehangatan perapian dan teh hangat. Malam itu, mereka berbicara panjang lebar, berbagi cerita dan perasaan yang selama ini terpendam. Ren menyadari betapa pentingnya hadir bagi orang yang membutuhkan, dan Ralph merasa menemukan secercah harapan di tengah kegelapan.

Dengan secangkir teh yang menghangatkan tangannya, Ralph menatap kosong ke depan sejenak, seolah tenggelam dalam kenangan yang baru saja muncul.

Sementara Ralph menikmati kehangatan tehnya, dia tiba-tiba mengingat sesuatu. "Oh ya, bagaimana dengan adikmu? Siapa yang merawatnya selama kamu di sini?"

Ren menanggapinya, "Oh dia bersama kakek."

"Begitu ya..." Ralph kembali menyeduh tehnya selagi hangat. "Aku juga punya adik," ucapnya pelan, seolah-olah menyelinapkan pengakuan itu ke dalam percakapan mereka.

Ren mengangkat alisnya, menunggu Ralph menceritakan lebih lanjut. "Oh iyakah?"

Ralph mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai. "Nama dia Reiyu. Dia... dia sangat berbakat, jauh lebih dari aku." Ada keraguan yang jelas terdengar dalam suaranya. "Dia memiliki bakat alami dalam aliran bela diri yang menggunakan tombak, mahir menggunakan kreasi sihir yang berguna terlebih lagi penyembuhan... dan terlihat lebih dewasa."

Ren mengangguk mengerti, tetapi melihat ekspresi Ralph yang terguncang, dia tahu ada lebih dari sekadar kecemburuan di balik kata-kata tersebut. "Tapi, apa yang membuatmu begitu terganggu?" tanyanya lembut.

Ralph menatap ke dalam tehnya, mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa... merasa tidak pantas," ucapnya akhirnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Semua sorotan selalu jatuh padaku, padahal Reiyu yang seharusnya mendapatkannya. Dia begitu berharga, dan aku..." Ralph menggertakkan giginya dengan frustrasi. "Aku hanya merasa seperti bayangan yang tidak memiliki makna."

Ren merasa simpati terhadap temannya. Dia tahu bahwa Ralph memiliki hati yang lembut, dan melihatnya berjuang dengan perasaannya sendiri, membuatnya terasa sedih. Sebelum dia bisa mengucapkan apapun, Ralph melanjutkan.

"Reiyu, dia begitu berbakat. Jauh lebih dari aku." Ralph menggigit bibirnya, kecilnya rasa iri yang tidak pernah jauh dari hatinya. "Dia memiliki bakat yang mengagumkan, terutama matanya."

"Matanya?" Ren mengulang, mencoba membayangkan.

Ralph mengangguk. "Ya, matanya. Mereka... ungu, seperti malam yang diterangi oleh cahaya ungu terang. Begitu indahnya," ucapnya, matanya menyipit saat dia teringat akan kecantikan mata adiknya.

Ren menatap Ralph dengan penuh perhatian, mencoba memahami lebih dalam tentang perasaannya. "Tapi, bukankah kamu juga istimewa?"

Ralph menatap ke bawah, menggeleng pelan. "Tidak seperti dia. Aku... Aku hanya Ralph, yang tak seberapa. Tapi, selalu terasa seperti semua sorotan tertuju padaku, padahal dia yang pantas mendapatkannya."

Ren mengangguk paham. "Ah, aku mengerti. Tapi percayalah, Ralph, kamu juga hebat, kok. Kamu memiliki nilai yang unik dan penting bagi banyak orang, tak perlu dibandingkan dengan siapa pun. Dan terlebih lagi kemampuan berpedangmu menakjubkan"

Ralph tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap muram, hatinya masih penuh dengan keraguan. "Terima kasih, Ren. Tapi... terkadang sulit untuk percaya itu, terutama ketika semua yang aku lihat adalah sorotan yang lebih terang untuk orang lain."

....

"Lalu sekarang para bangsawan itu tidak hanya menjalin kerjasama, tapi perlahan mencoba untuk menguasai kita semua... dan sekarang kamu lihat sendiri bukan? Kamu dengan Amour dibuat bertarung untuk mempertaruhkan sesuatu hanya dengan permainan busuk bangsawan tersebut."

"Dan sekarang, Amour..." Ralph menggelengkan kepalanya, ekspresinya penuh dengan ketidakpercayaan dan kekecewaan. "Dia semakin leluasa, hanya karena bekingan bangsawan. Tidak adil, Ren. Tidak adil."

Ren mendekati Ralph dengan langkah mantap, matanya penuh dengan ketegasan. "Ralph, dengarlah aku. Apa yang kamu katakan tentang duel bersumpah itu, tentang Amour, tentang semua ini... Aku mengerti perasaanmu. Aku benar-benar mengerti. Tapi kamu harus tahu, dunia ini tidak adil. Terutama dunia bangsawan yang kita hadapi sekarang."

Ralph menatap Ren, mencari pemahaman dalam kata-katanya.

Ren melanjutkan dengan nada yang tegas, "Sumpah berduel itu hanyalah sebuah permainan busuk yang mereka mainkan. Mereka menggunakan nama 'kehormatan' dan 'tradisi' untuk menyembunyikan ambisi dan keinginan mereka. Tidak ada keadilan dalam itu. Tidak ada martabat. Hanya kepentingan pribadi yang disembunyikan di balik tirai kesucian."

Ralph menatapnya dengan tatapan penuh keraguan. "Tapi sumpah berduel, Ren. Itu adalah sesuatu yang kami anggap serius. Dengan adanya keterlibatan bangsawan sebagai "Juri" dalam sumpah berduel, bagi para petinggi di desa menganggapnya sebuah kehormatan..."

"...Lalu tidak adil jika Amour bisa menghindari konsekuensi hanya karena koneksinya dengan bangsawan."

Ren melanjutkan lagi, suaranya kian mendalam, "Dan tentang Amour... Dia mungkin mendapat perlakuan istimewa karena kedudukan bangsawannya, tapi itu tidak membuatnya lebih baik daripada kita."

"Kita memiliki integritas, Ralph. Kita memiliki hati yang bersih. Kita berdiri untuk kebenaran, meskipun dunia ini mencoba menekan kita. Dan itu, Ralph, itu adalah kekuatan yang sejati. Duel bersumpah, reputasi, atau kekayaan—semua itu hanya angin yang lewat. Yang benar-benar berharga adalah siapa kita dan apa yang kita lakukan dengan hidup kita."

Ralph mendengarkan dengan seksama, keraguan perlahan-lahan berubah menjadi keyakinan.

Ren menepuk bahunya Ralph dengan hangat, "Jadi, Ralph, jangan biarkan mereka merendahkanmu."

Ralph tersenyum tipis, sebuah cahaya kecil menyala di matanya. Ren melihat perubahan itu, senang melihat keraguan Ralph mulai tergantikan oleh keyakinan.

"Sial, Ren, kamu tahu, saat ini aku teringat sama adikku, semua yang kamu katakan barusan kepadaku hampir sama saat Reiyu memarahiku" kata Ralph dengan sedikit tawa getir. "Dia selalu marah-marah padaku karena 'mudah' terlibat dengan para bangsawan brengsek itu. Katanya, aku terlalu naif, terlalu percaya pada orang-orang yang seharusnya aku pertahankan jaraknya."

Ren mengangguk mengerti. "Kakak-adik memang seringkali memiliki perspektif yang berbeda, ya?"

Ralph mengangguk setuju. "Ya, dan malam ini setelah aku pulang ke rumah diantar bersama Amour, adikku sama sekali tak menyambut kedatangan Amour dan malah memarahiku karena Reiyu merasa aku terlalu mudah dipengaruhi, terlalu mengabaikan kehati-hatian yang seharusnya aku tunjukkan."

"Oh ya? Adikmu tampaknya sangat posesif terhadapmu" Tanya Ren

Ralph menatap jauh ke depan, mencoba untuk memahami sudut pandang adiknya. "Ya, mungkin dia merasa seperti aku tidak konsisten dalam sikapku. Dia ingin aku lebih bijak dalam memilih siapa yang aku percayai dan siapa yang seharusnya aku jaga jaraknya."

Puncaknya ketika aku bertengkar lagi dengannya. Ini tentang hal yang sama, Ren. Dia bilang aku harusnya tidak percaya pada Amour, bahwa aku seharusnya lebih waspada terhadap manipulasi mereka. Aku terbawa emosi dan kami bertengkar hebat"

"...sekarang aku merasa bersalah."

Ketika Ralph dan Ren terus mengobrol, mereka tanpa sadar semakin dekat, duduk bersebelahan dengan pundak mereka saling menempel, menciptakan suasana hangat di antara mereka. Lebih menghangatkan dari hangatnya perapian didekat mereka