webnovel

Chapter 19 - Segala Hal yang Masih Tersembunyi

Rayn tidak ingin mendengarkan apapun saat ini. Yang paling dibutuhkannya adalah ketenangan. Mengapa ia masih terbayang-bayang dengan suara yang tidak jelas dari mana?

"… Hunter …"

Suara itu terdengar lagi. Namun, ia hanya mendengar nama keluarganya, Hunter. 

"Hah, aku nggak salah dengar? ada orang yang manggil Hunter?" Rayn tidak ingin pikirannya benar. Sesuatu di dalam kepalanya mungkin sedang tidak baik sehingga mendengar sesuatu yang dirasa tidak mungkin ada. 

"Tadi aku melihat ada hantu, sekarang aku mendengar suara, besok apa lagi?" katanya kesal. Di tangannya masih terdapat cangkir yang berisi teh panas. Ia segera meminumnya karena harus merasa tenang. 

"Aw!" suhu tinggi teh yang ada di dalam sana belum menurun. Alangkah lebih baik jika menunggu beberapa waktu kemudian. Rayn berdecak. "Sampai aku lupa kalau teh ini masih panas."

"David … Hunter …"

Rayn yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa seseorang memanggil nama ayahnya. "Siapa yang memanggil nama Ayahku? hantu itu?"

"Rayn, kamu gila! tidak ada siapa-siapa di sini! itu hanya suara khayalanmu!" kata menghardik diri sendiri. Pertemuan dengan hantu beberapa jam yang lalu memang membuatnya bertanya-tanya. Mengapa hantu wanita itu berdiri di depan apartemen ayahnya? apakah hantu itu memiliki hubungan yang tidak bisa diabaikan dengan David?

".. Hunter.."

Rayn tidak bisa mengelak lagi. Suara itu lirih tetapi benar-benar ada. Suara yang tidak bisa diabaikan lagi. Rayn bangkit dari sofa untuk membuka pintu. Ia yakin, suara itu berasal dari sana. 

"David .. Hunter …" Suara wanita yang merintih dari balik pintu terdengar semakin jelas. Rayn menghela napas, keberanian harus dibulatkan kali ini. 

Mungkin, wanita ini berhubungan dengan ayah. Siapa tahu dia akan mengatakan sesuatu?

"Aku harus berani," katanya sambil memegang gagang pintu. "Satu, dua, tiga." 

Pintu unit apartemen yang paling pojok itu akhirnya terbuka. Rayn masih menutup matanya meskipun pintunya tidak lagi tertutup. Bagaimanapun, ia tetap tidak sanggup melihat hantu di depannya saat ini. 

"David … Hunter …" Suaranya semakin kencang dan jelas. Rayn membuka mata dan melihat dengan jelas siapa yang ada di depannya. 

"David … Hunter … "

Hantu itu masih diam walaupun Rayn telah membukakan pintu. "Hai?" walaupun sedikit takut, ia melambaikan tangan untuk membentuk interaksi di antara mereka. "Hai? kamu yang baru saja meninggal, ya?"

Rayn berusaha ramah. Namun, hantu itu tidak mengatakan apa-apa selain nama ayahnya.

"David … Hunter …"

**

"Honey!" panggil Wildy dari kejauhan, "Ngapain kamu di bukit? kita 'kan nggak boleh sering-sering di sini."

Honey berbalik dan melihat Wildy sedang mendaki beberapa batuan yang ada di sana. Ia melambaikan tangan sambil menunggu sahabatnya itu sampai di tempat yang sama dengannya."

"Ada apa?" tanya Honey tanpa merasa bersalah. Sebenarnya dia sudah mendengar perkataan Wildy tentang larangan untuk berada di puncak bukit ini. 

"Aku yakin kamu sudah dengar tentang apa yang aku bilang tadi, 'kan?" jawab Wildy.

"Yang mana?"

"Halah, nggak usah pura-pura. King sering ke sini, tetapi kita nggak boleh terlalu sering main ke puncak bukit." Wildy pun menjelaskan. "Kamu, sok-sokan nggak dengar aku tadi ngomong apa."

Honey tersenyum. "Toh, kamu juga bakalan ngomong lagi. Ya 'kan?"

Mereka berdua tertawa. "Aku baru saja mengunjungi dunia manusia."

Wildy mendesah. "Apa? ke sana lagi?"

Honey menatap sahabatnya yang mungkin mengkhawatirkannya saat ini. "Aku nggak apa-apa. Beneran."

"Kamu tahu, 'kan, kalau dunia manusia itu berbahaya. Kita jiwa, kita suci."

"Apa? suci?"

Wildy mengangguk. "Kamu nggak ingat bahwa kita lebih baik daripada manusia?"

"Bagaimana bisa?" Honey merasa sudah lama di sini  tetapi sepertinya Wildy tetap tahu segalanya daripada dirinya. 

"Kamu nggak ingat, setiap kali ada jiwa yang baru datang,  King akan menyanyikan lagu tentang penjagaan bumi oleh para jiwa?"

"Penjagaan bumi? oh, yang itu.." Honey tidak memungkiri bahwa ia tidak menyukai lagu itu. "Kamu hafal lagu itu?"

Wildy mengangguk. "Tugas kita di sini hanya untuk menjaga hutan agar bumi tetap pada poros keseimbangannya. Tidak seperti manusia yang suka merusak. Aku heran, mengapa Pencipta menginginkan manusia untuk berada di puncak tertinggi keberlangsungan bumi? padahal, mereka benar-benar perusak. Perusak yang nyata."

Honey mengangguk untuk semua yang diucapkan oleh Wildy meskipun ia tidak sepakat sepenuhnya. Setidaknya, ia tidak melukai Wildy. Hanya jiwa ini, satu-satunya, yang menjadi sahabatnya di hutan Jiwa Raksana. 

"Kamu nggak coba berjalan-jalan ke hutan jiwa lain?" tanya Wildy kepada  Honey.

"Hutan jiwa? ada selain ini?"

Wildy mengangguk. "Ada dong. Kita harus ke sana kapan-kapan."

Honey tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu? bukannya kamu bilang The King tidak memperbolehkan kita untuk keluar masuk dari hutan jiwa ini?"

"Aku pikir, kita perlu berjalan-jalan. Lagipula, pergi ke hutan jiwa lain lebih baik daripada ke dunia manusia." Wildy berkata sambil melipat tangannya. "Ngomong-ngomong, aku baru lihat matahari terbit dari sini."

"Oh, ya? aku sudah sering melihatnya," tukas Honey dengan bangga.

"Kenapa kamu tidak mengajakku?" 

"Entahlah, aku butuh waktu sendiri."

"Sialan. Jadi, kamu nggak anggap aku sebagai sahabat?" protes Wildy.

"Gimana, ya? aku pikir-pikir dulu." 

Mereka berdua tertawa sambil melihat matahari yang baru saja muncul dari tempat peristirahatannya. Bagi Honey, ada beberapa hal yang tidak bisa dibagikan bersama Wildy. Walaupun mereka saling berteman baik, Honey tak bisa membiarkan Wildy dalam bahaya. The King memang pemimpin di hutan jiwa ini. Namun, ia masih ingin mempertanyakan banyak hal tentang siapa dirinya. Dan, benarkah ia hanya sebuah jiwa tanpa raga? ataukah ia adalah jiwa tanpa tubuh manusia?

"Honey, di hutan ini sedang ada masalah." Wildy mulai bercerita kembali.

"Masalah? aku yang jadi masalah?" jawab Honey dengan wajah penasaran. 

Wildy menggeleng. "Aku juga nggak tahu. Beberapa waktu terakhir, aku tidak melihat The King. Biasanya kalau dia sulit ditemui, ia sedang berhadapan dengan malaikat maut."

"Malaikat maut?" Honey selalu takut membicarakan malaikat maut. "Aku benar-benar tidak tahu apa-apa dibandingkan kamu, Wildy."

Wildy hanya tersenyum. Malaikat maut memang berteman dengan mereka. Namun, ketika The King dan malaikat maut sedang menjalankan pertemuan, sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi. 

**

Trody menyetir mobilnya dalam keadaan gelisah. 

Siapa yang berani melakukan ini kepadaku? 

Ia sangat yakin bahwa tidak ada orang yang tahu tentang urusannya. Apa yang telah dilakukan di masa lalu pun sudah tertutup rapi. Trody sudah menjamin, tidak ada siapa-siapa yang akan mengetahui itu.

Namun mengapa pria itu, seseorang yang baru saja meneleponnya, tahu tentang apa yang terjadi?

"Mengapa ada orang yang mengetahui tentang wanita itu? selain aku? bahkan, Pak Samuel saja tidak tahu."

Ia menghentikan mobilnya di tepi jembatan yang sepi. Dini hari seperti ini seharusnya dinikmati di atas tempat tidur bersama wanita yang membuat hasrat tertingginya terlampiaskan. 

"Dara.." 

Senyumannya mengembang ketika menyebutkan nama itu. "Bukankah lebih baik kita bersama? aku sudah cukup kaya untuk melamarmu? mengapa kamu masih enggan untuk menikah?" 

Trody tahu bahwa membayangkan Dara melakukan apa yang ada di kepalanya sudah membuatnya senang. Namun, ia benar-benar ingin fantasi itu benar-benar terjadi.

"Tapi, aku harus menyelesaikan masalah wanita ini. Mengapa ada orang yang tahu selain aku?"