webnovel

Chapter 20 – Jiwa yang Lain

Wildy menggandeng tangan Honey untuk turun dari bukit. Ia sudah meminta beberapa kali, tetapi Honey enggan untuk turun.

"Ayolah, tidak akan ada King di sini." Honey berusaha merayu Wildy dengan rengekan khasnya. "Kamu lihat di sana, tidak akan ada King di sini." Perkataan Honey terdengar meyakinkan, tetapi Wildy lebih tidak ingin mengambil risiko apapun.

"Ayolah, kita turun saja." Wildy berusaha menyeret Honey yang memberontak. "Kamu nggak bisa di sini terus, 'kan?"

Sayang, Honey tidak bisa menolak ajakan Wildy yang sedang terlihat marah. Beberapa kali ia memang terlihat seperti itu akhir-akhir ini, tetapi tidak ada yang bisa Honey lakukan selain menurut. "Wild, kenapa?"

"Kenapa, gimana? Aku kesel, kenapa kamu di sini dan nggak mau turun? Aku takut akan terjadi apa-apa sama kita!" ungkapnya sambil melipat tangan. "Aku malas harus dipermalukan di depan jiwa yang lain. Itu saja."

Honey pun benar-benar menurut. "Oke, aku akan turun." Walaupun ia merasa tidak mau turun dari bukit, tetapi ia harus membuat perasaan Wildy lebih baik. Ia tidak memiliki teman selain jiwa yang memiliki rambut keriting ini.

Jiwa, kata King, mereka tidak sama dengan hantu. Jika hantu adalah nyawa dari manusia yang mati, maka jiwa sendiri adalah sesuatu yang suci. Jiwa tidak merasakan kematian, hanya menghilang jika tugasnya telah selesai dan memiliki 'tubuh' mereka sendiri. Tugas utama para jiwa adalah penjagaan bumi secara komprehensif. Hantu adalah nyawa yang memiliki sesuatu yang belum selesai. Ia tidak akan dapat berdiri sendiri jika tidak memiliki raga yang utuh. Hantu juga tidak bisa berlama-lama menunjukkan wujudnya, sebagaimana para jiwa lakukan.

Kata King pula, Jiwa adalah malaikat yang tidak diciptakan dari cahaya. Entah benar atau tidak, semua jiwa yang ada di hutan ini memercayai hal itu. Sedangkan Honey, merasa belum mampu memahami apa yang dikatakan oleh King.

Jadi, Jiwa juga tidak berbeda dengan hantu, bukan?

"Sekarang kamu melamun karena apa?" Wildy ternyata menghentikan langkahnya. "Kamu melamun? Atau marah karena nggak terima aku suruh turun?"

"Aku nggak melamun," bantah Honey.

"Terus?"

"Aku sedang memikirkan sesuatu."

Wildy merasa heran, pandangan yang dilempar olehnya kini tak lagi ramah. "Kamu kesel, 'kan?"

"Astaga, Wild. Kamu kenapa, sih? Sejak beberapa bulan yang lalu—" Honey terdiam. "Ya, sejak Lion tiba-tiba menghilang!"

Wildy membelalakkan matanya dan tidak berkedip beberapa saat. Nama itu kembali terdengar setelah sekian lama terdiam di dalam bayangannya sendiri. Ia yakin, nama itu disebut oleh jiwa yang ada di depannya sekaligus sahabat baiknya. "Kamu ingat Lion?"

"Iya, aku ingat dong!" Honey melepas tangannya yang masih digenggam oleh Wildy. "Sejak itu, kamu jadi pemarah dan aneh."

"Aku? Pemarah?" Wildy menunduk sambil memeriksa pernyataan dari Honey. "Aku tidak merasa seperti itu."

"Ya, kamu jadi seperti ini setelah Lion menghilang!" Honey menatap Wildy dengan penuh keyakinan. "Aku yakin. Kenapa sekarang kamu berbohong kepadaku?"

Wildy tidak berniat berbohong. Namun, rasanya seperti mimpi bertemu dengan jiwa bernama Lion. Ia merasa nyata sekaligus tidak. "Kamu merasa ada yang bernama Lion, 'kan?"

Honey mengangguk. "Ya, dia jiwa yang baik. Dia yang menyambutku ketika aku datang. Bahkan, bukankah kalian berdua sudah dekat dalam waktu yang lama?"

"Aduh, kepalaku." Wildy merasa pusing. Walaupun mereka tidak bisa menyentuh benda-benda buatan manusia, tetapi masih dapat menyentuh tubuh mereka sendiri yang lembut.

"Kamu nggak apa-apa?" Honey memegang lengan Wildy yang lemas. "Hei, Wildy!"

Wildy masih bertahan di kakinya yang tak beralas apapun. Namun, semua tubuh para Jiwa tidak akan terluka meski tertusuk oleh benda-benda tajam, seperti bebatuan atau yang lain.

"Wild, kenapa? apa yang terjadi?" Honey menatap diam sahabatnya itu. "Apakah ini adalah karena kamu mendengar nama Lion?"

Wildy memegang kepalanya lebih kencang. "Honey, kepalaku sakit. Sakit sekali." Honey tidak tinggal diam. Ia memegang pundak Wildy untuk duduk di bawah pohon besar di kaki bukit.

"Wild? Kamu nggak apa-apa?"

"Aku—entah apa yang terjadi dengan kepalaku?"

"Apakah kamu masih ingat dengan Lion?"

"Ya, aku masih—" Wildy kembali merasa kesakitan. "Ada apa? Tolong, hentikan! Rasa sakit ini! aah!" Ia berteriak sekali lagi karena sakit yang dirasakannya menjadi lebih tidak terkendali.

"Wild? Kamu nggak apa-apa?"

"Aku—ya, aku tidak apa-apa."

"Lion."

Wildy kembali merasakan sakit pada kepala. Bahkan, sekarang rasa itu mengenai jantungnya. "Hentikan!"

"Sesuatu berhubungan antara kamu dan singa itu." Honey menyimpulan secara pribadi. "Jika tidak ada, kenapa kamu harus merasakan sakit hingga seperti ini?"

Wildy terdiam. "Aku juga tidak tahu. Bagaimana aku tahu tentang ini?"

"Singa itu menghilang." Honey menatap Wildy yang masih kebingungan. "Mulai sekarang kita memanggilnya singa? Bagaimana? Bukankah tugasnya dulu di hutan ini adalah menjaga para singa?"

Wildy mengangguk sepakat. "Baik. Aku rasa, itu cukup masuk akal."

"Apakah Jiwa memang seperti ini?" Honey mulai bertanya-tanya.

"Maksudmu? Seperti ini? kesakitan?"

Honey menggeleng, tatapannya berubah ketika dua matanya itu bertemu dengan sepasang lain yang sedang kebingungan. "Kita harus mencari tahu."

"Mencari tahu?"

"Ya. Kamu tahu? Aku merasa selalu berhubungan dengan lelaki yang tiba-tiba selalu muncul di hadapanku." Honey mulai menceritakan sesuatu. Namun, hatinya masih bimbang. Apakah Wildy dapat dipercaya?

"Lelaki? Manusia?"

Honey mengangguk. "Seharusnya, ketika kita membuka mata setelah memejamkanya terlalu lama, kita akan pergi ke tempat yang seharusnya kita berada bukan? Jika kita adalah Jiwa penjaga hutan ini, maka kita akan tetap di sini. Bukankah begitu?"

Wildy masih tidak memahami apa maksud perkataan dari Honey. "Kamu ngomong apa sih?"

"Sepertinya, kita belum mengenal apa itu Jiwa. Dan sebenarnya, kita ini apa?"

"Ya, kan. Kamu ngomong apa?"

"Ih," Honey mencubit tangan Wildy cukup keras. "Dari tadi kamu bilang ngomong apa dan nggak ngerti!"

"Beneran, aku nggak paham. Kamu ngomong apa?" Wildy mengelus lengannya yang kesakitan. "Kamu nggak perlu nyubit aku kayak gini."

"Habis, aku jengkel sama kamu."

"Kapan kamu nggak jengkel sama aku?"

"Ya, tadi aku sempat nggak jengkel sama kamu." Wildy membuang muka dari Honey. "Aku baru saja menyelamatkanmu dari seseorang."

"Apa?" Honey mengikuti arah pandang dari Wildy yang sedang melihat sebuah Jiwa yang lain. "Itu, King? dan malaikat maut?"

Wildy mengangguk sekaligus melongo. "Benar, 'kan? Kita selamat. Aku berjasa dalam hidupmu."

Hidup?

Honey merasa bahwa kata itu hanya untuk kaum manusia seorang. Tidak untuk para Jiwa yang masih ada di bumu. Mereka mungkin ada, kemudian menghilang. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa hilangnya Jiwa dari tempat penjagaannya adalah kematian.

"Kita harus segera pergi!" Wildy menggandeng tangan Honey untuk pergi menjauh dari tempat itu. Namun di dalam benak Honey, keinginan untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri telah bulat dalam bertekad.

Creation is hard, cheer me up!

geucalyptuscreators' thoughts