webnovel

4. Positif

Tepat satu bulan sudah setelah kejadiam malam kelam tak diingikan itu terjadi. Kini Asya menjalani kehidupannya seperti biasa. Namun ada perbedaan yang kentara yaitu hanya tinggal berdua dengan sang ayah. Semenjak ibunya meninggal Asya dan Budi, ayahnya tetap menjalankan usaha toko materialnya.

Hoek hoekkk

Tiba-tiba Asya mendadak merasa aneh pada perutnya yang ingin memuntahkan sesuatu. Asya buru-buru menuju kamar mandi dan memuntahkan isi didalam perutnya. Namun yang keluar hanya cairan bening saja.

Asya merasa aneh pada tubuhnya akhir-akhir ini. Entah kenapa dirinya sering merasa mual sehabis makan.

"Aku harus cek sendiri." Asya mengeluarkan sebuah alat yang sudah disimpannya rapat semenjak kejadian satu bulan lalu. Dia tahu tanda-tanda orang hamil dari menonton sinetron. Apalagi dia sadar dirinya sudah pernah berhubungan badan dengan Gilang. Kemungkinan hamil bisa dialaminya.

Di dalam kamar mandi Asya menggunakan alat kecil itu tanpa sepengetahuan ayahnya. Pintunya ia tutup rapat agar tidak ada yang tahu.

Deg

Bagai tersambar petir, seketika tubuhnya terasa seperti berhenti berdetak. Matanya membelalak sempurna melihat hasil di alat kecil itu.

Dengan tangan gemetar dan dada sesak tidak kuasa melihat hasilnya membuat alat itu jatuh ke lantai. Tubuh Asya seketika merosot menempel di dinding.

"Hiksss … hiksss …"

"Kenapa begini." Asya menangis meringkuk di lantai sambil menatap kearah alat kecil yang tergeletak di lantai setelah ia gunakan tadi.

Asya terus meraung-raung meluapkan kemarahannya karena tidak siap dengan apa yang terjadi padanya.

"Asya kamu kenapa nak?" Budi menggedor pintu kamar mandi.

Brakk

Merasa tidak ada sahutan dan dibuka pintunya, membuat Budi khawatir mengingat tangisan Asya yang semakin menjadi-jadi didalam kamar mandi. Hingga membuat kakinya mendobrak pintu kokoh itu menjadi terbuka dengan kasar.

Budi segera menghampiri anaknya yang sudah duduk di lantai sambil menangis. Arah pandang Budi mengarah pada sebuah alat kecil yang terus dipandang Asya.

"Apa ini nak?" Budi memeluk Asya sambil mengambil alat kecil itu.

"Maafin Asya, yah. Asya udah ngecewain ayah. Hiksss." Asya memeluk Budi sambil menangis.

"Kamu hamil, nak?" Asya diam saja dan memejamkan mata.

"Nak jawab?" Asya mengangguk pelan.

Budi langsung marah campur kecewa dengan apa yang terjadi pada puteri semata wayangnya itu. Baru saja dia sembuh dan bangkit dari kesedihan setelah ditinggal istrinya, kini harus dihadapkan sebuah kenyataan pahit dimana anaknya hamil di luar nikah.

"Siapa yang melakukannya?"

"Gi … Gilang. Hiksss."

"Siapa itu Gilang? Dimana orangnya?" Asya menggeleng tidak tahu.

"Kenapa bisa nggak tahu. Gimana ceritanya nak?"

Budi nampak terkejut dengan apa yang terjadi pada puterinya. Selama ini yang ia tahu, puterinya jarang berhubungan dengan laki-laki karena Asya pendiam. Namun kenyataan yang terjadi menamparnya hingga seperti tidak percaya.

Akhirnya Asya menjelaskan kejadian sebenarnya antara dirinya dan Gilang dulu. Dan termasuk kenapa dia berani melakukan itu semua tanpa memikirkan dampaknya akan begitu. Dia bercerita dengan linangan air mata yang tidak bisa berhenti.

Budi mendengarnya tidak kuasa dan ikut terduduk lemas di dekat Asya. Dia tidak menyangka anaknya sudah berjuang demi nyawanya dulu. Hingga rela mempertaruhkan masa depannya sendiri.

"Maafin Asya yah. Maaf."

"A … aku benci. Aku nggak mau anak ini." Asya meraung raung sambil memukuli perutnya sendiri.

Budi yang juga tidak menerima kenyataan yang menimpa pada Asya, namun juga tidak bisa menyalahkan bayi yang dikandung Asya. Karena anak itu tidak salah.

"Tenanglah nak. Ayah nggak marah sama kamu. Justru ayah minta maaf sama kamu karena ayah hidup kamu jadi begini." Asya menarik tangan Asya agar berhenti menyakiti diri sendiri.

"Nggak yah. Ayah nggak salah. Aku nggak mau kehilangan ayah, jadi aku akan melakukan apapun demi ayah bisa kembali sehat. Cukup ibu yang pergi. Hiksss."

"Aku benci dia." Asya memukul lagi perutnya yang sekarng sudah ada anak Gilang itu.

"Berhenti nak. Jangan sakiti dia. Dia nggak salah."

Selama tiga hari setelah tahu dirinya hamil, Asya sering menyendiri dan mengurung diri sendirian. Budi prihatin melihat kondisi ayahnya. Bahkan Asya sampai tidak makan berhari-hari.

Budi tahu keadaan Asya saat ini. Tapi dia juga tidak mau Asya menyakiti diri sendiri serta anak yang tidak bersalah itu. Yang sedang berjuang untuk hidup di dalam rahim Asya. Kalau Asya stres begitu pasti anak yang berada di kandungan Asya juga ikut merasakan apa yang tengah dirasakan Asya juga

Hingga satu minggu kemudian keadaan Asya semakin terpuruk. Budi sampai kewalahan karena Asya susah dinasehati. Budi sudah ikhlas menerima kehamilan Asya. Tapi ternyata anaknya itu belum menerimanya. Setiap hari Budi tidak henti-hentinya untuk menasehati Asya agar damai dengan keadaan tapi nihil hasilnya.

"Asya apa yang kamu lakukan nak." Budi melihat Asya sedang memegang gunting dan diarahkan ke perutnya.

Prangg

Budi langsung membuang gunting itu hingga terjatuh mengenaskan di lantai.

"Kamu gila nak. Apa kamu mau jadi pembunuh anak kamu sendiri."

"Tapi dia yang udah buat malu."

"Ingat dia nggak salah nak. Apa kamu mau jadi pembunuh anakmu sendiri yang tidak berdosa apa-apa."

Deg

Asya terkejut dengan pernyataan ayahnya barusan.

"Asya nggak mau jadi pembunuh yah." Asya menggelengkan kepala.

"Ayah tahu. kamu anak yang baik. Jadi tolong terima kehadiran anakmu itu. Dan rawat anak itu dengan baik. Biarkan dia merasakan indahnya dunia. Dia nggak berdosa dan masih suci nak. Betapa dosanya kamu bila seorang ibu melenyapkan anaknya sendiri." jelas panjang lebar Budi didengar Asya dengan seksama.