webnovel

3. Sembuh

Asya bernafas lega melihat tindakan operasi lancar telah dilewati ayahnya. Perasaannya sekarang campur aduk. Senang, lega namun sedih bercampur jadi satu.

"Operasinya berjalan lancar. Kini tinggal menunggu pasien sadar."

"Syukurlah. Tapi kapan ayah saya akan sadar, Dok?" dengan mata berbinar dan haru Asya nampak antusias menunggu kesembuhan ayahnya. Cukup ibunya yang sudah meninggalkannya dan jangan ayahnya juga. Sekarang yang ia punya hanya ayahnya saja. Jadi dia rela melakukan apapun demi keselamatan ayahnya.

"Kalau begitu saya permisi."

"Ya, Dok."

Asya merosot di depan pintu sambil menahan rasa sesak di dadanya. Tangannya meremas selembar kertas yang tidak lain adalah cek berisi nominal uang 100 juta.

Flashback

"Terimalah." Riko memberikan cek dengan nominal 100 juta di tangan mungil Asya setelah mereka sampai di depan rumah sakit.

"Apa ini?" Asya bingung sambil menatap selembar kertas itu.

"Imbalanmu."

"Maaf, tidak usah." Asya mengembalikan lagi.

"Aneh. Diberi uang malah menolak." Batin Riko.

"Permisi." Asya hendak keluar namun tertahan karena pintunya tidak bisa dibuka.

"Mau keluar, harus terima ini." Riko memaksa sambil mengancam.

"Kumohon, ayah saya tengah di operasi. Saya ingin melihatnya."

"Maka dari itu, terimalah." Riko menatap manik Asya yang terlihat menanggung kesedihan mendalam.

"Makasih." Asya terpaksa menerimanya demi bisa keluar dari mobil mewah warna hitam itu.

Asya termenung. Menggenggam erat sembari meremas cek itu dengan perasaan hancur. Ingin marah meluapkan isi hatinya yang tidak terima kehormatannya harus digantikan uang. Namun apalah dayanya, keadaanlah yang menuntutnya seperti itu.

"Ayah, ibu, maafin Asya. Maaf." Asya menangis kembali dengan sesekali memukuli dadanya yang terasa sesak.

Berhari-hari Asya menunggu di depan kamar rawat ayahnya. Tidak ada rasa lelah sedikitpun dalam dirinya menunggu ayahnya sadar. Namun disela-sela dirinya menunggu itu, Asya juga menyempatkan untuk berkunjung di makam sang ibu.

Sedih, hancur dan bingung itulah yang ia rasakan saat ini. Keluarganya hidup sendiri di Kota Bandung membuatnya tidak punya kerabat dekat yang bisa dimintai tolong walau sekedar menguatkan dirinya yang tengah jatuh.

Menghadapi ironis hidupnya yang harus dihadapkan kecelakaan yang telah merenggut nyawa ibunya dan membuat ayahnya kritis, membuatnya kehilangan arah. Hingga kondisi itu diperparah lagi akan keputusannya melakukan hal hina hingga membuat harta berharga dalam hidupnya hilang.

Yang kini bisa ia lakukan hanyalah diam meratapi nasibnya sendirian. Nasi sudah menjadi bubur, jadi percuma saja kalau disesali.

"Lupakan semuanya, Asya. Fokus pada kesembuhan ayahmu saja." batin Asya sembari menguatkan dirinya sendiri.

Tidak terasa sudah satu minggu, setelah operasi ayahnya dilaksanakan kini kondisi Budi sudah berangsur membaik. Dan kini Budi sudah bisa dibawa pulang karena keadaannya yang sudah kembali normal meskipun masih ada luka lecet di beberapa tubuhnya.

Asya merasa lega dan bahagia akhirnya ayahnya sudah kembali seperti sedia kala. Keduanya terlihat senang meskipun terdapat kesedihan karena ditinggal pergi Rina Sekarwati untuk selama-lamanya. Baik Asya dan Budi sudah mengikhlaskan kepergian Rina.

"Lupakan Asya." Asya memejamkan mata kala perbuatan kotornya bersama GIlang terlintas didepan mata dan berusaha ia tepis begitu saja. Dia tidak mau ayahnya sampai tahu perbuatannya itu. Setiap hari dia selalu dihantui perasaan bersalah atas apa yang sudah diperbuatanya dulu bersama Gilang.

"Asya darimana uang buat bayar operasi ayah?"

"I … itu tabungan Asya sama tabungan ayah dan mamah," jawab Asya terbata-bata karena berbohong.

"Cukup ya?"

"Cukup kok yah. Udah jangan dipikirin. Yang penting ayah sembuh." Asya memeluk Budi.

"Kita harus kuat dan mengikhlaskan kepergian mamahmu ya nak," Asya mengangguk sambil meneteskan air mata. Masalah hidupnya yang begitu rumit membuatnya tidak kuasa menahan air matanya yang jatuh bebas. Budi sudah tahu kalau istrinya telah meninggal setelah kecelakaan tragis menimpanya dan istrinya dulu.