webnovel

Pelangi Berselimut Kabut

Setelah Stefan dan Carissa mentas dari kolam renang, mereka berdua berendam air hangat sekaligus mandi di kamar mandi mereka masing-masing.

Di saat cucuran air shower hangat membasahi tubuh Stefan, ia masih terbayang dengan kecupan bibir Carissa. Ia mengulum senyum saat mengingat momen itu. Sekaligus pertanyaan besar baginya, apa maksud dari kecupan itu? Tapi, itu hanya kecupan anak kecil, bukan? Stefan pun menggeleng dan terkekeh mengingatnya.

Begitu pula saat Stefan sedang mengeringkan rambut Carissa di kamarnya dengan pengering rambut. Ia senyum-senyum sendiri seperti orang yang tidak waras. Sementara Carissa sambil mengerjakan tugas sekolahnya.

"Sudah. Selesai." sahut Stefan sembari meletakkan pengering rambut itu di tempat semula dan mengambil sisir.

"Aku juga, sudah selesai," ucapnya dengan senyum semringah menunjukkan tugas sekolahnya yang sudah ia tuntaskan.

"Ok, sekarang siapkan bukumu untuk besok, setelah itu aku sisir rambutmu,"

"Ayah, aku bisa menyisir rambutku sendiri, biar aku saja," balas Carissa sambil menyiapkan buku sekolahnya.

"Baiklah, kalau begitu aku siapkan makan malamnya, ya?"

Carissa mengangguk dengan senyum manisnya.

Beberapa menit saat Stefan sedang menyiapkan makan malam, Carissa menghampirinya di meja makan.

"Sudah selesai?" tanya Stefan.

"Sudah," jawab Carissa.

"Padahal aku akan membawa makan malam ini ke kamarmu,"

"Tidak usah, Ayah. Kita makan disini saja,"

Yang lebih aneh lagi, Carissa seringkali mencuri pandang pada Stefan. Saat ia sedang makan, saat mereka berdua sedang santai menonton televisi, bahkan sebelum tidur. Stefan menyadari hal itu, namun ia pura-pura tidak tahu pada saat putri kesayangannya itu memandangnya dengan tersenyum.

Seperti biasa, Stefan akan membacakannya buku dongeng si jubah merah sebelum Carissa tidur. Namun pada saat ia akan mengambil buku dongeng itu di rak kecil, Carissa pun bertanya pada Stefan.

"Sedang apa, Ayah?"

"Seperti biasa, dongeng sebelum tidur,"

"Aku sudah bosan dengan cerita itu, Ayah, lebih baik temani aku tidur disini," sambil menepuk ranjangnya.

"Hah? Sejak kapan kau bosan dengan cerita favoritmu itu?" Stefan pun duduk di sebelahnya.

"Aku ingin membuat ceritaku sendiri," jawab Carissa tersenyum genit.

"Ok, cerita apa itu?"

"Ayah seorang pangeran dan aku putrinya,"

"Ehm, apa cerita itu semacam si cantik dan si buruk rupa?"

Carissa pun tertawa mendengarnya. Akhirnya ia menyuruh Stefan untuk menceritakan kisah dongeng karangannya sendiri. Awalnya ia bingung, karena sebelumnya tidak pernah membuat cerita dongeng semacam itu.

Akhirnya, Stefan menceritakan kisah dimana saat ia bertemu dengan Carissa untuk pertama kalinya, akan tetapi dengan tema dan latar tempat yang berbeda. Layaknya kerajaan seperti yang ada di dalam buku dongengnya.

Bahkan Stefan tak sengaja membahas tentang kecupan yang Carissa berikan padanya di dalam cerita itu. Tetapi, bertepatan dengan adegan itu, Carissa sudah tertidur pulas.

Stefan membelai lembut poni rambut Carissa yang terurai di keningnya. Kemudian tersenyum memandangnya. Meski ia sebenarnya berharap akan penjelasan dari maksud kecupan itu.

"Selamat malam, Carissa," mengecup keningnya.

***

Seperti janji yang telah Stefan tetapkan dengan Maya, bahwa ia akan menjemputnya di pagi hari setelah mengantar Carissa ke sekolah.

Sambutan yang ia terima dari Ibunda Maya masih saja kurang bersahabat. Dari tatap matanya yang tajam, sepertinya ia masih belum bisa melupakan perlakuan kasar Stefan pada putri tunggalnya. Lain halnya dengan Ayahanda Maya yang selalu ramah tamah di segala suasana.

"Ayah sehat?" ucap Stefan ramah saat memeluk sang mertua laki-laki.

"Syukurlah, nak Maroni, mari, masuklah," balasnya.

Kemudian ia memanggil Maya agar segera keluar dari kamarnya. Sementara pandangan pahit yang terpapar di wajah sang Ibu mertua masih terlihat jelas. Stefan pun memberanikan diri untuk mengucapkan sesuatu padanya.

"Bu, saya sadar bawa saya salah, untuk itu saya menjemput Maya kemari. Karena saya ingin memperbaiki hubungan kami. Saya mohon ijinnya, Bu,"

"Tidak usah berpura-pura sopan di depanku, Stefan. Karena aku sudah tahu bagaimana dirimu yang sebenarnya," balasnya angkuh.

"Ibu, sudahlah." sahut Maya yang sedang menuruni tangga.

"Aku juga sadar bahwa ini semua juga salahku. Apa yang dikatakan Stefan pada kalian itu memang benar. Selama ini aku membuatnya tidak nyaman, dan aku baru menyadari itu. Karena selama ini Stefan tidak pernah terbuka padaku, Ibu," jelas Maya.

"Sudahlah, Grace. Ini bukan urusan kita, ini urusan mereka berdua. Jadi biarkan saja mereka berdua menyelesaikan semua masalahnya. Kita disini hanyalah orang tua yang hanya bisa memberi mereka saran-saran baik. Selebihnya biar mereka yang menjalani," tegas Ayahanda Maya pada istrinya.

"Tapi dia sudah menampar putri kita, Pietro!"

"Itu karena Maya masih terbelenggu dalam sikap egoisnya, dan dia masih belum menyadari itu. Sekarang dia sudah menyadari kesalahannya terhadap nak Maroni, bahkan nak Maroni juga berniat untuk memperbaiki semuanya. Segala peristiwa tidak akan terjadi jika tidak ada sebab dan akibat, Grace,"

"Hah! Cukup! Aku muak dengan semua ini!" bantah Grace, lalu beranjak dari sofanya dan masuk ke kamar.

"Jangan pikirkan soal perkataan ibumu ya, Maya. Ayah percaya pada kalian berdua, ya," sambil menepuk pundak Stefan dan Maya.

Setelah itu, Stefan dan Maya berpamit pulang. Dan tak lupa menyampaikan salam untuk Grace yang sedang berada di kamarnya pada saat mereka pulang.

Sepanjang perjalanan, Stefan dan Maya masih saling diam. Akhirnya Stefan lah yang memulai perbincangan setelah beberapa kilometer jauhnya.

"Sudah sarapan?"

"Sudah, bagaimana denganmu?"

"Belum. Aku sengaja tidak sarapan karena memang ingin mengajakmu makan di restoran,"

Stefan pun mengarahkan mobilnya ke restoran yang pernah mereka kunjungi pada saat bulan madu. Maya mengulum senyum ketika melihat suasana halaman restoran bintang 5 yang tak asing baginya. Secara tidak langsung ia juga mengingat awal-awal manis pernikahan mereka di tempat ini.

Sementara Stefan hanya meliriknya yang tersenyum-senyum sendiri melihat pemandangan dari jendela mobilnya. Sesampai di restoran, mereka memesan makanan favorit mereka masing-masing. Awalnya mereka saling diam menikmati hidangan yang sudah tersaji di meja makan.

Dan Stefan baru menyadari, bahwa makanan yang Maya pesan itu masih sama dengan dahulu pada saat momen bulan madu, yaitu Smoked Beef Mozarella dengan hiasan kentang kukus di sekitarnya.

"Masih suka makanan itu ternyata?"

"Aku sengaja memesannya lagi, agar aku ingat saat-saat manis kita dulu. Lagipula, aku memang menyukainya," jawab Maya dengan wajah cerahnya.

"Lalu mengapa kau tidak pernah memintanya selama ini? Aku bisa membelikanmu di restoran ini,"

"Entahlah, mungkin selama ini kita terlalu sibuk menutup diri masing-masing," sindir Maya yang berhasil menggugah hati Stefan.

Di genggamlah kedua tangan Maya setelah itu. Tatapan sayu dari Stefan juga berhasil membuat Maya tersipu.

"Maafkan aku. Jika selama ini aku seringkali menutup diri. Jujur, aku melakukan semua itu demi mempertahankan hubungan ini," ucap Stefan.

"Aku tahu. Apa kau juga ingin tahu? Apa yang membuatku berat melepasmu?" tanya Maya.

"Apa?" Stefan mulai penasaran.

"Kau tidak pernah berniat untuk selingkuh dariku. Meski selama ini aku membuatmu tidak nyaman," jawab Maya seraya mengusap lembut telapak tangan Stefan.

Stefan menghela nafasnya. Sebab, dikutip dari perkataan Maya yang baru saja ia ucapkan, Stefan sudah memiliki perasaan yang lain terhadap Carissa, sejak mereka tinggal berdua selama satu minggu ini.

Perasaan yang tidak seharusnya. Perasaan yang tidak wajar. Perasaan itu adalah perasaan cinta tulus, yang tak pernah ia dapatkan selama ini dari siapapun. Bahkan istrinya sendiri.