webnovel

Hal Pertama

"Dari situlah awalnya aku berpisah dengan ibuku," ungkap Carissa setelah menceritakan semuanya pada Stefan, saat malam hari sebelum tidur.

"Lalu Dean menyuruh Ibumu untuk menempatkanmu di sekolah luar biasa?" tanya Stefan.

Carissa mengangguk sedih. Stefan pun turut sedih mendengar kisahnya, lalu memeluknya.

"Seharusnya kau menjelaskan ini dari awal pada Ibumu,"

Carissa menggeleng, "Tidak, Ayah, niatku memang ingin pergi dari rumah itu. Aku takut dengan Dean, aku tidak ingin memiliki Ayah seperti dirinya,"

Esok harinya, lagi-lagi Stefan mengunjungi kedai Stella saat jam istirahat kerja. Sepasang raut wajah angkuh menyertai Stella pada saat menghampiri Stefan yang sudah duduk manis di mejanya.

"Ada apa lagi?!" tanya Stella acuh.

"Oh ya, ini cekmu, ambil saja. Aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi," memberikan cek senilai 500 juta yang pernah Stefan berikan padanya.

Stefan hanya diam menatapnya. Padahal niatnya murni untuk membantu, namun apa balasannya? Dan apa maksud Stella mengembalikan cek itu?

"Maaf, siang ini aku sibuk, banyak sekali pesanan yang harus aku tangani," lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Semalam Carissa buka mulut soal perlakuan Dean padanya," langkah Stella terhenti sejenak setelah mendengar ujaran Stefan.

"Selama Nyonya Stella menikah dengannya, dan selalu sibuk dengan usaha Nyonya, Carissa mendapatkan perlakuan kasar dari Dean." lanjut Stefan.

Stella semakin penasaran dengan penjelasan Stefan yang selama ini ia tidak tahu.

"Kedatangan saya kemari hanya ingin tahu, apa alasan Dean menyuruh Nyonya untuk memindahkan Carissa ke sekolah luar biasa?"

Kemudian Stella menghampirinya kembali dan mengajaknya untuk membicarakan masalah itu di luar kedainya. Menoleh kesana kemari, seolah memeriksa apakah tidak ada orang selain mereka berdua disana?

"Tolong jangan bicarakan hal ini sembarangan, Stefan," bisik Stella.

"Ada apa sebenarnya? Mengapa Nyonya tega dengan anak Nyonya sendiri?!" tegas Stefan.

"Aku mohon, jangan keras-keras," ucap Stella seperti orang yang bingung dan ketakutan.

"Justru, aku menyelamatkan Carissa. Ibu mana yang tega membuang anaknya begitu saja?" lanjutnya.

"Menyelamatkan Carissa? Dari apa?" tanya Stefan.

"Dean mengancamku akan membunuhnya jika aku tidak menurutinya untuk membawa ke sekolah itu," jawab Stella menangis.

Amarah Stefan mulai meluap, ia mendengus kasar.

"Mengapa Nyonya tidak melapor ke polisi saja?! Segala bentuk ancaman bisa di pindanakan, Nyonya Stella,"

Stella hanya menangis tersedu-sedu, tak menjawabnya.

"Dasar wanita bodoh," amarah pun ia curahkan dalam batinnya, lalu pergi meninggalkannya dalam kondisi seperti itu.

"Stefan, aku mohon jangan laporkan Dean ke polisi," serunya seiring Stefan melangkah ke mobilnya.

"Maaf, Nyonya. Aku rasa Carissa bukan urusan Nyonya lagi, dia urusan saya sekarang, anak saya! Jadi, jangan harap Nyonya bertemu dengannya lagi, untuk selamanya." lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi.

***

Malam itu, Stefan tersenyum melihat Carissa yang sedang duduk sendirian di tepi kolam renang dengan kedua kakinya yang direndamkan ke air kolam.

Beberapa langkah saat Stefan menghampiri, handphone-nya berdering. Ternyata seseorang yang menghubunginya itu adalah Maya, istrinya. Deringan suara khas handphone-nya itu juga terdengar oleh Carissa disana. Lalu ia tersenyum pada Stefan.

"Halo?" sahut Stefan saat menerima teleponnya.

"Stefan?" wajah cerah Stefan menjadi kelabu saat mendengar suara Istrinya.

"Ya, ada apa, Maya?" balasnya datar.

"Sejak aku pergi, kau tidak pernah menghubungiku. Apa kau benar-benar serius akan melepasku?" suaranya terdengar lirih. Stefan semakin dilema dibuatnya.

Jujur sebelum Maya pergi sejenak darinya, Stefan sudah mati rasa karena sikap keras kepala dan arogan yang tertanam sejak lama di dalam diri istrinya itu. Seringkali membuat Stefan merasa tidak nyaman dan pada akhirnya ia berpura-pura mencintai Maya di depan semua orang termasuk keluarganya. Bahkan hasrat pun turut hilang padanya.

Ia beranggap bahwa pernikahan itu hanyalah sebuah pangkat dari sebuah hubungan. Sesuatu formalitas yang tak terelakkan. Mengingat Stefan sendiri adalah sosok pria yang mapan serta memiliki aset perusahaan terbesar. Memang pernikahannya dengan Maya adalah hasil dari perjodohan orang tuanya. Mungkin faktor itu lah yang juga membuat Stefan tidak mencintai penuh pada Maya, terlebih lagi karena sikapnya.

"Maaf, Maya. Akhir-akhir ini aku sedang sibuk,"

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Stefan."

"Bisakah kita tidak membahas hal itu lagi?" tegas Stefan.

"Lagipula siapa yang menginginkan situasi seperti ini, Maya? Coba, siapa yang memulainya?"

"Aku sadar, Stefan. Aku akui kesalahanku, aku mohon maaf. Aku yang membuka kunci kamar Carissa saat aku mendengarmu pulang," Stefan menarik nafasnya dalam-dalam setelah mendengar pengakuannya.

"Aku yang terlalu berlebihan dengan Carissa, aku akui. Aku mohon, Stefan, maafkan aku. Mungkin aku hanya cemburu, karena semenjak anak itu tinggal di rumah kita, sikapmu berubah. Seolah seluruh perhatianmu kau curahkan padanya," lanjut Maya.

"Karena dia anakku, Maya. Carissa adalah anak kita, seharusnya kau juga demikian. Lihatlah apa balasannya setelah kau menyekapnya di kamar seminggu yang lalu? Dia tetap membelamu, karena dia sudah menganggapmu sebagai Ibunya,"

"Aku sadar, Stefan. Aku sadar, maka dari itu aku mohon, maafkan aku," ucap Maya sambil menangis.

Stefan mengumpat dalam hatinya, lalu melanjutkan pembicaraannya.

"Baiklah, aku akan menjemputmu besok pagi. Kita bicarakan hal ini." lalu menutup teleponnya.

Kemudian, sepasang mata kembali tertuju pada Carissa yang sedang bermain air kolam dengan kakinya. Stefan menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya.

"Telepon dari siapa, Ayah?"

"Dari, Ibumu, Maya." jawab Stefan yang terdengar berat.

"Apa dia akan pulang?" tanya Carissa yang terlihat antusias.

"Ya, mungkin saja." jawab Stefan terpaksa.

"Kenapa begitu jawabnya? Ayah sudah tidak sayang lagi ya dengan Ibu?"

"Entahlah, selama ini hubungan kami memang rumit. Bahkan sebelum ada dirimu disini,"

"Jangan sampai berpisah dengan Ibu ya, Ayah. Karena aku tidak ingin melihat perpisahan lagi seperti dulu,"

Jawaban polos darinya itu menggugah hati Stefan. Meski sebenarnya ia sudah tidak ada rasa cinta lagi terhadap Maya.

"Lalu, bagaimana jika perasaan cinta itu sudah hilang sejak lama?" tanya Stefan kemudian.

"Aku tidak tahu banyak soal cinta, Ayah. Yang aku tahu adalah kasih sayang. Aku pun tahu, Ayah sudah tidak sayang lagi sama Ibu. Tapi setidaknya jangan sampai berpisah," jawab Carissa sambil mengayun-ayunkan kakinya dalam air kolam.

"Jadi, menurutmu cinta itu adalah kasih sayang? Begitu?"

Carissa mengangguk.

"Ok, begini, Aku menyayangimu, berarti?"

"Ayah mencintaiku," jawab Carissa tersenyum padanya.

Sementara Stefan tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Kau sangat lucu, Carissa,"

"Lucu apanya, Ayah? Aku serius," ujar Carissa sambil mengerucutkan bibirnya seolah marah pada Stefan yang masih menertawainya.

Lalu Carissa mencurahkan air kolam dengan kakinya ke arah Stefan berkali-kali. Kemudian ia menertawainya sambil melarikan diri, sementara Stefan mengejarnya. Mereka saling berkejar-kejaran mengelilingi kolam renang itu hingga Stefan tercebur dalam kolam karena terpeleset.

"Hei, Carissa, tolong aku!" teriak Stefan berpura-pura panik, padahal sebenarnya ia bisa berenang.

Carissa pun menepi di bibir kolam dan mengulurkan tangannya.

"Ayah! Raih tanganku!" pekik Carissa cemas.

Akhirnya Stefan berhasil meraih tangan Carissa, lalu menariknya ke kolam bersamanya. Carissa sempat merasa ketakutan, meski kolam itu sebenarnya cukup dangkal dan tidak terlalu dalam.

"Hei, hei, Carissa, tenanglah," ucap Stefan ketika Carissa menepuk-nepuk tangannya pada permukaan air karena ketakutan.

"Aku memegangmu, aku memegangmu," Carissa kembali tenang saat Stefan memegang pinggang kecilnya. Namun nafasnya masih terengah-engah.

"Tenanglah, kolam ini tidak terlalu dalam," Carissa pun sadar bahwa kolam itu memang tak terlalu dalam, hanya setinggi bawah dagunya.

Lalu, ia mencoba untuk berdiri sendiri di dalam kolam itu.

"Aku kira kolam ini dalam," ujar Carissa terkekeh.

"Tidak lah, mana mungkin aku sesadis itu padamu? Kau bisa tenggelam, apalagi aku baru tahu kalau kau tidak bisa berenang," balas Stefan.

Perkataannya itu membuat Carissa semakin nyaman dengan Stefan. Seolah ia baru kali ini mendapatkan sosok Ayah yang selalu melindunginya dari apapun.

Ia menatapnya terpaku, dan tatapan itu membuat Stefan heran. Apakah dia melamun atau semacamnya?

"Carissa?" menyadarkan Carissa dari lamunan dengan melambaikan tangan di depan wajahnya.

Lalu, Carissa menggenggam tangannya dan perlahan mendekati Stefan. Kini sepasang mata melekat diantara mereka berdua yang saling berdekatan.

"Carissa, jangan buat aku takut," Stefan mengiranya sedang kerasukan setan atau semacamnya, mengingat hari itu sudah malam. Sebab sedaritadi Carissa hanya diam menatapnya.

Tak lama kemudian, satu kecupan manis ia persembahkan di bibir Stefan. Kecupan itu sekilas, namun berhasil membuat Stefan terpaku disana. Setelah itu, Carissa menatapnya dengan senyuman hangat nan tulus.