webnovel

Legenda Mawar Biru

Buku ini mengisahkan perjalanan hidup seorang anak manusia, Azura, yang tinggal di Pulau Niaka bersama Ellaine, ibunya, dan Andalene, monster hutan sahabat mereka. Pada suatu malam yang dingin, Azura harus kehilangan ibunya di usia 4 tahun akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh Andalene. Azura, yang diselamatkan Kakek Wald dan mendapatkan keluarga baru di Desa Tuka, menempa dirinya untuk membalaskan dendam ibunya dan membunuh Andalene. Namun seiring waktu berjalan, Azura mulai menyadari bahwa pengkhianatan Andalene menyimpan rahasia gelap yang tak pernah mampu ia bayangkan. Resolusinya pun mulai runtuh ketika satu per satu dia kehilangan orang-orang yang dia sayangi.

CirraRei · Fantasy
Not enough ratings
13 Chs

3. Pertemuan Pertama

Sore itu juga Krav berangkat ke Desa Dain untuk mengumpulkan informasi. Lala yang tidak mungkin tinggal sendirian di rumah, menginap sementara di rumah Kakek Wald. Ini bukan kali pertama Lala menginap disana, jadi dia tidak keberatan. Terlebih Kakek Wald mempunyai beberapa mainan kayu seperti boneka hewan, prajurit, hingga kereta kuda, yang bisa dia mainkan.

Malam menjelang.

Tidak sekalipun anak itu bangun sejak kepergjan Wald ke rumah Krav. Hampir seharian dia tertidur, yang sempat membuat Wald panik setengah mati. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik ke kamar tamu untuk mengecek nafas dan detak jantung si anak. Lala hanya bisa berdecak.

"Heleh heleh, kakek nggak perlu panik. Dia kan cuman tidur."

"Tapi sudah hampir seharian dia tidur La," sanggah Wald.

"Baru seharian. Lala sudah pernah tidur tiga hari tiga malam," celoteh Lala sembari membuka kotak mainan kayu yang Wald buat. Wald melongo.

Tapi Wald pun mulai sadar bahwa dia khawatir berlebihan. Dia pun duduk di ruang tamu, di seberang Lala yang mulai asyik memainkan boneka kayunya. Sesekali matanya melirik kearah kamar tamu, masih khawatir.

"Hiya! Hiya! Makan ini, Tendangan Kuda Meringkik! Hiiieeek!

"Aiya! Tolong aku, Pendekar Kelinci!

"Tidak bisa begitu kisanak! Aku, Pendekar Kelinci, takut dengan Pendekar Kuda jadi aku tidak bisa menolong kisanak. Mohon maaf!"

Lala dengan hebohnya memainkan skenario aneh dengan bonekanya. Kekhawatiran Wald mulai terusik dan dia justru malah memperhatikan permainan Lala.

"Dengan kekuatan bulan, aku akan membasmi kejahatan dari daratan Gaia!

"Aaah! Pendekar Bulan! Idolaku!

"Jangan panggil aku Pendekar Bulan wahai fansku. Panggil aku Pelayar Bulan! Dan kau Pendekar Kuda! Kau telah lama meneror para penduduk Gaia! Dengan kekuatan bulan, aku akan menghukummu! Serangan Bulan Hati Spiral!"

Ujung bibir Wald kedutan. Dia tidak tahu apa yang diajarkan Krav pada Lala hingga anak ini menguasai begitu banyak kosakata aneh.

Kelakar Lala segera berhenti ketika suara derit pintu terdengar. Wald juga langsung menoleh kearah sumber suara. Pintu kamar tamu sedikit terbuka, dan satu mata mengintip dari dalam kamar.

"Ah, kau sudah bangun…"

"Halo! Namaku Lala, siapa namamu?" Ocehan Lala memotong ucapan Wald.

"A-Az…" Jawab Azura lirih, namun masih terdengar oleh Lala dan Wald.

Wald membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun dia kalah cepat.

"Yuk Az, sini main! Ada banyak boneka!" Lala mengacungkan boneka kuda di tangannya. Azura yang sejak awal hanya mengintip dengan satu mata dari balik pintu, mulai menyembulkan kepalanya penasaran.

"Ada kereta kuda, ada kelinci, ada pohon, ada kelinci, ada…"

Mulut Lala tak pernah berhenti menyebutkan boneka kayu yang berserakan di kakinya. Wald memperhatikan sepanjang penjelasan Lala tentang boneka kayunya, Az perlahan mulai mendekat.

"…ada ikan, ada kereta kuda, ada burung! Az mau yang mana?" Lala dengan ramah menawarkan. Az, yang kini sudah berdiri beberapa langkah dari Lala, hanya menatap boneka-boneka kayu itu dengan raut tertarik.

"Oke, jadi tadi ceritanya Pendekar Kuda ini sedang menganiaya kereta kudanya, tapi Pelayar Bulan datang dan menyerangnya! Nantinya kereta kuda akan merasa berhutang budi pada Pelayar Bulan dan mengabdi padanya!" Lala melanjutkan kisahnya. Tanpa Wald duga Azur duduk di lantai dan menyimak cerita Lala dengan khidmat. Lelaki tua ini jadi tak bisa berkata-kata.

"Aku akan menyiapkan makan malam," Wald memutuskan untuk menyerahkan Az pada Lala untuk saat ini.

"Makan! Yey makan!" Lala bersorak gembira. Azura mengangguk sopan pada Wald, mengungkapkan rasa terima kasihnya. Wald pun tersenyum dan bergegas ke dapur.

Lala hanya membutuhkan satu malam untuk menaklukkan Az. Keesokan harinya, meski masih terlihat murung dan tidak banyak bicara, Az mengikuti kemanapun Lala pergi. Wald sampai curiga Lala menggunakan mantra tertentu untuk menghipnotis Az.

Wald pun tak perlu lagi mengkhawatirkan kondisi Az. Dia hanya berharap Krav segera pulang membawa kabar baik.

"Jadi ada Gardil. Dia ketua desa Tuka. Dia baik, suka ngasih Lala roti. Terus ada Nenek Matde, dia suka sama Kakek Wald tapi kakek terlalu lugu. Kakek sih jomblo terus dari lahir. Terus terus ada Tante Dora, janda muda yang suka godain ayah. Tau deh, kegatelan banget dia…"

Wald menyemburkan air yang sedang diminumnya. Kosakata Lala selalu membuatnya mempertanyakan kapasitas Krav dalam mendidik anak.

Lala tidak mempedulikan Kakek Wald yang memandangnya dengan gregetan. Dia terus saja menyebutkan satu per satu warga desa Tuka sembari duduk santai di kursi bambu. Az duduk di sebelahnya, mendengarkan.

"Nanti kalau ayah sudah pulang Lala akan mengajak Az berkeliling desa! Kita minta permen yang banyak nanti kita pesta!" Lala mengayunkan kakinya bersemangat.

Wald tersenyum. Meski selalu terlihat riang, dia tahu bahwa sebenarnya Lala kesepian. Tidak banyak warga yang tinggal di desa Tuka, hanya sekitar 70 orang, namun Lala satu-satunya anak kecil disini. Gadis ini tidak mempunyai teman bermain yang sebaya. Wald mulai berpikir bahwa mungkin saja bukan hanya Az yang membutuhkan Lala, tapi Lala juga membutuhkan Az.

Di malam hari keempat, Krav muncul di pintu rumah Wald dengan nafas tak beraturan.

"Krav! Ada apa?" Wald panik dan mengambilkan air untuk Krav, yang langsung diteguknya habis sebelum duduk di kursi dihadapan Azura.

Azura yang baru pertama kali melihat Krav, langsung mundur kebelakang dan bersembungi dibelakang Lala.

"Ayah! Jangan menakuti Az!" Lala berkacak pinggang. Namun Krav sedang dalam mood yang sangat serius.

"Jadi namamu Az?" Krav menangkap panggilan Lala pada Azura, "katakan, apakah kau mengenal Ellaine?"

Mata Azura membesar. Tak dia sangka ada seseorang yang mengenal ibunya di tempat ini. Memang ada beberapa pengelana yang sesekali singgah di pulau untuk mengunjungi ibunya, namun dia tidak ingat pernah melihat lelaki berbadan tegap di depannya ini sebelumnya.

"Mama, kau tahu dimana Mama?" Jantung Azura berdetak kencang.

Krav menghela nafas panjang.

"Sudah kuduga. Aku tidak tahu dimana Ellaine, tapi aku mengenal dia." Krav menatap Azura sendu. Kenangan masa lalu kembali membanjiri ingatannya.

"Tunggu, tunggu dulu. Ellaine yang kau maksud adalah Ellaine yang itu, Iblis Abu-abu?" Wald ingin memastikan, yang disusul dengan anggukan kepala Krav.

"Tidak lain dan tidak bukan, Ellaine sang Iblis Abu-abu."

"Jadi, Az adalah putranya?" Wald tidak menyangka perkembangan situasi seperti ini. "Tapi bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena ini," Krav mengambil sesuatu dari sabuk kulit yang melingkar di pinggangnya. Dia meletakkannya di atas meja agar semua bisa melihatnya.

Sebuah pisau yang memancarkan aura abu-abu pekat. Wald hampir bisa mencium bau darah dari pisau itu. Meski itu hanya sebuah ilusi, karena pisau itu terlihat sangat bersih, Wald masih saja bergidik. Dia ingat sebuah rumor yang pernah beredar beberapa tahun silam.

Sepasang pisau yang dapat membunuh hanya dengan auranya. Sepasang pisau yang melahap jiwa para korbannya. Sepasang pisau yang menebar bau kematian kepada siapapun yang memandangnya.

Pisau Legendaris Rambart!

Azura juga terkejut setengah mati melihat Krav mengeluarkan Pisau Rambart, meski dengan alasan yang berbeda dari Wald. Dia terkejut karena pisau itu ada di tangan Krav.

Sedangkan Lala, sebagai anak kecil yang tidak pernah memandang senjata legendaris seperti ini, dia melangkah mundur tanpa sadar dan bertukar tempat dengan Azura, bersembunyi dibelakangnya.

"Pi-pisau apa itu ayah?" Tanyanya gugup.

"Pisau Legendaris Rambart," Krav sedikit merasa aneh melihat Lala bersikap gugup. Biasanya dia hiperaktif. "Pisau milik Ellaine, Iblis Abu-abu, yang adalah ibu dari Az. Pisau yang dulu…"

"Kenapa pisau ini ada di tanganmu?" Tanya Azura. Dia melangkah maju dan membelai Pisau Rambart dengan lembut.

"Aku pergi ke desa Dain dan kota Seran setelahnya, mencari informasi tentang anak hilang, karena aku dan Wald berkesimpulan kau berasal dari Dain atau Seran. Aku tidak menghabiskan waktu lama mencari dan hanya menghubungi Magdalena, Kepala Desa Dain dan Toara, Walikota Seran, untuk mengabariku kalau ada informasi kebih lanjut tentang keluargamu. Saat kembali kesini, aku memutuskan untuk mampir ke pantai Tuka tenpat perahumu karam dan menemukan Pisau Rambart disana," jelas Krav panjang lebar.

"Tapi aku tidak menemukan apapun selain Az di pantai," Wald heran.

"Itu karena pisau ini terkubur di dalam pasir. Aku bisa menemukannya karena aku sudah sangat hafal dengan aura yang dikeluarkan pisau ini," jawab Krav.

Suasana menjadi hening. Krav mengisi gelasnya dengan air dari teko dan menenggaknya habis lagi.

"Jadi… Teman?" Tanya Azura ragu. Dia ingat bahwa ibunya mengajaknya bertemu dengan seorang 'teman'nya, dan sepertinya disini, hanya ayah Krav yang mengenal ibunya secara personal.

"Teman? Maksudmu aku dan Ellaine?," Krav tersenyum kecil, "kurasa lebih cocok kalau kami disebut sebagai musuh. Kami hampir selalu bertarung setiap kali bertemu. Dan tentu saja, aku tidak pernah menang." Krav menggelengkan kepalanya.

"Musuh?" Azura segera bersikap waspada, memasang kuda-kuda. Tangannya menggenggam Pisau Rambart dengan erat, siap menerkam.

"Hoh, kulihat Ellaine mengajarimu dengan bagus," Krav memperhatikan kuda-kuda Azura dan memujinya. "Kami musuh, ya, tapi masalah diantara kami bukan masalah personal. Ini lebih ke masalah ideologi."

"Krav, apa yang mau kau bicarakan dengan anak berumur 5 tahun?" Wald menepuk dahinya. Krav seperti baru sadar dia sedang bercakap-cakap dengan anak kecil.

"Yah, yang jelas hubungan kami tidak seburuk yang kau bayangkan," Krav menimpali ucapannya tadi. Azura pun mulai kembali rileks.

"Jadi, apakah kau mau menceritakan apa yang terjadi?" Krav menjajagi perasaan Azura. Dia akan segera menghentikan pertanyaannya jika Azura belum siap menjawab.

"Hm!" Azura menganggukkan kepalanya dan duduk di kursi kayu. Dia memulai ceritanya.

"Mama dan aku hidup di pulau dengan damai bersama Andalene. Kami hanya bertiga, bahagia, dan sesekali teman Mama berkunjung dan bermain denganku. Kami menanam sayur, berburu kelinci, dan memelihara ayam. Mama sering mengajakku bermain pasir di pantai, berenang di laut, bahkan main petak umpet. Andalene juga sering mendudukkanku di bahunya dan membawaku keliling hutan. Aku senang sekali.

Tapi malam itu, tiba-tiba semua berubah. Mama menggendongku ke pantai sambil berlari. Aku didudukkan di perahu dan Mama hanya bilang bahwa kami akan mengunjungi temannya, dan Mama akan menyusul di belakangku. Aku merasa ada yang aneh dengan situasi itu, tapi aku percaya pada Mama. Aku hanya penasaran kenapa Andalene tidak ikut.

Tapi kemunculan Andalene menjawab pertanyaanku. Andalene menjadi besar, dengan tingginya melebihi pohon di hutan. Mama hanya berpesan padaku untuk menunggunya. Andalene kemudian menyerang Mama dan… dan…" Azura mulai terisak, "Mama menghancurkan kaki kanan Andalene tapi terlempar terkena pukulan Andalene. Kemudian mereka bertarung lagi dan aku terdorong gelombang aura mereka, jatuh di perahu dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Yang kuingat hanya terbangun di tempat ini."

Azura terisak pelan. Krav, Wald, dan bahkan Lala terdiam. Untuk sejenak yang terdengar hanya suara hembusan angin malam dan isak tangis Azura.

"Mama… Mama akan baik-baik saja kan?" Azura bertanya pada Krav, matanya berharap jawaban Krav akan menenangkannya.

Namun Krav tidak mampu berbohong. Dia menggelengkan kepalanya pelan.

"Andalene bukan monster hutan biasa. Satu orang tidak akan cukup untuk menghentikannya…" Jawab Krav lirih.

"Jadi Mama…" Kata-kata Azura menghilang. Semua kembali terdiam.

Azura kembali terisak. Semua yang ada di ruang tamu dapat merasakan kesenduan yang mendalam dari tangisan Azura.

Malam semakin larut.

Menyukai LEGENDA MAWAR BIRU?

Yuk dukung Author Cirra Rei melalui laman Karyakarsa. ^^

Kalian bisa memberi tips disana sebagai dukungan serta memotivasi Author untuk membuat cerita yang lebih menarik!

CirraReicreators' thoughts