webnovel

Legenda Mawar Biru

Buku ini mengisahkan perjalanan hidup seorang anak manusia, Azura, yang tinggal di Pulau Niaka bersama Ellaine, ibunya, dan Andalene, monster hutan sahabat mereka. Pada suatu malam yang dingin, Azura harus kehilangan ibunya di usia 4 tahun akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh Andalene. Azura, yang diselamatkan Kakek Wald dan mendapatkan keluarga baru di Desa Tuka, menempa dirinya untuk membalaskan dendam ibunya dan membunuh Andalene. Namun seiring waktu berjalan, Azura mulai menyadari bahwa pengkhianatan Andalene menyimpan rahasia gelap yang tak pernah mampu ia bayangkan. Resolusinya pun mulai runtuh ketika satu per satu dia kehilangan orang-orang yang dia sayangi.

CirraRei · Fantasy
Not enough ratings
13 Chs

2. Trio Desa Tuka

"Aaahhh, pagi yang segar~"

Wald meregangkan tubuhnya. Sendi-sendi tuanya mengeluarkan bunyi 'krek, krek' yang akan membuat anak muda manapun merinding. Tapi Wald tidak khawatir. Orang tua mana yang tulangnya tidak rapuh ketika sudah menginjak kepala enam?

Setelah berolahraga sedikit di teras rumah kayunya, Wald mengambil keranjang anyaman bambu miliknya dan mulai melangkah menyusuri jalan setapak. Jalan ini hanya berupa tanah yang sudah bersih dari rerumputan, akibat sering dilalui kaki manusia. Dalam cuaca normal seperti saat ini, jalan setapak ini cukup nyaman untuk dilalui, namun apabila hujan turun, tanah di sepanjang jalan akan basah dan berlumpur.

Wald berdendang pelan sembari menikmati angin pagi yang segar menyapa wajahnya. Matahari baru saja mengintip dari peraduannya, namun hewan-hewan kecil di hutan yang terletak di kanan dan kiri jalan sudah memulai aktivitas mereka.

Setelah cukup lama berjalan, Wald mendengar deru pelan ombak laut. Ketika birunya hamparan air terlihat, Wald tersenyum. Dia berlari kecil seperti anak kecil yang baru pertama kali bermain ke pantai.

Pagi ini aktivitas Wald adalah mengumpulkan kerang dan permata di pantai untuk dijadikan hiasan furniturnya. Wald adalah seorang tukang kayu, jadi setidaknya seminggu sekali dia pergi ke pantai untuk mengumpulkan kerang hias. Apabila ada pesanan besar, dia bahkan bisa setiap pagi selama seminggu melakukan aktivitas ini.

Tapi minggu ini tidak ada pesanan berat yang datang. Hanya ada permintaan dari Dora si janda muda desa itu untuk membuat meja yang akan diletakkan di ruang tamu rumahnya. Jadi Wald mengumpulkan kerang dengan santai, sembari bermain-main dengan air laut.

Namun belum lama dia menyusur pantai, matanya teronggok pada sebuah potongan kayu yang sangat familiar baginya. Berdasarkan pengalamannya, potongan kayu itu berasal dari perahu, atau mungkin kapal berukuran kecil. Wald merasa aneh karena laut di pantai ini bukan merupakan jalur pelayaran.

"Ada kapal karam," insting lamanya terbangun.

Perlu diketahui bahwa Wald dulunya berprofesi sebagai pembuat kapal. Karena satu dan lain hal, dia akhirnya memutuskan untuk pensiun dan menetap di desa kecil di pinggir pulau dan beralih profesi menjadi tukang kayu furnitur rumah.

Menyadari ada kapal yang karam, Wald berhenti mengumpulkan kerang dan memfokuskan pencariannya pada korban kecelakaan ini. Potongan-potongan kayu yang terserak di pantai tidak banyak, jadi Wald menyimpulkan bahwa ini adalah sebuah perahu, bukan kapal. Segera dia menemukan sesuatu, atau seseorang, yang setengah terkubur di dalam pasir pantai. Wald melempar keranjangnya dan berlari menuju orang itu.

Seorang anak kecil.

Hati Wald mencelos. Seorang anak korban kapal karam. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang menandakan anak itu masih hidup. Namun Wald masih khawatir, jadi dia menggendong anak itu dan meletakkannya di dalam keranjangnya, menggunakan bajunya sendiri sebagai bantalan agar anak itu nyaman.

Wald kemudian kembali menyusur pantai untuk mencari korban lain, namun tanpa hasil. Dengan hati gundah, Wald membawa anak itu kembali ke rumah, mengurungkan niatnya untuk mengumpulkan kerang pagi ini.

Sesampainya di rumah, anak itu masih pingsan. Wald bergerak cepat menyiapkan kamar tamu dan membaringkan anak itu disana. Dia juga menyiapkan bubur dan minuman jahe hangat untuk diminum anak itu saat bangun nanti. Setelah itu, dia mondari mandir di luar kamar, sambil sesekali menengok kedalam. Dia khawatir.

Meski sudah setua ini, Wald tidak pernah menikah. Masa mudanya dia dedikasikan untuk pengembangan pembuatan kapal, dan ketika dia sadar, dia sudah pantas mempunyai cucu. Tidak ingin memaksakan menikah, Wald memutuskan untuk hidup sendiri di rumah ini, di pinggiran desa Tuka yang berbatasan dengan hutan. Karena terlalu sering hidup sendiri itulah, dia tidak punya pengalaman merawat anak kecil.

Dan kemampuan babysitternya segera diuji ketika anak yang diselamatkannya itu mulai membuka mata.

"Mama…" Kata pertama yang dia ucapkan adalah ibunya.

Wald panik. Dia sudah menyusur pantai dan tidak menemukan satu orangpun selain anak itu, jadi dia tidak bisa memberi kabar apa-apa pada sang anak.

"Eh, nak…" Wald memutar otaknya, "kamu masih belum pulih, istirahat dulu saja." Wald mengulurkan gelas berisi minuman jahe hangat pada anak itu.

Si anak menatap gelas dengan tatapan lemas. Dia tidak terlihat bersemangat, dan tidak terlihat memiliki niat sedikitpun untuk mengambil gelas itu dari tangan Wald serta meminum isinya.

"Mama… Dimana mama…," Anak itu masih memanggil mamanya.

"Eh… Em… Kakek menemukanmu di pantai, tapi kakek tidak melihat mamamu. Nanti kakek akan kembali ke pantai dan mencari mamamu, jadi sekarang kau istirahatlah dulu ya…" Wald berusaha membujuk anak itu untuk beristirahat. Tangannya masih mengulurkan gelas jahe hangat.

"Hik… Mama…" Si anak terisak lemas dan kembali menutup matanya. Tak lama dia pun kembali pulas, kali ini tertidur kelelahan.

Wald menghela nafas panjang. Dia meletakkan gelas jahe di meja sebelah tempat tidur dan keluar kamar. Dia menutup pintu kamar dengan sangat perlahan, takut mengganggu tidur sang anak. Setelah memastikan semua aman, Wald pun keluar dari rumah dan melangkah menuju tempat yang sudah dia pikirkan sejak menemukan anak itu tadi.

DUK!

"AYAH!!!" Pekik Lala. Dia cemberut dan melihat sebal kearah ayahnya.

"Hehe, Lala, maaf maaf, ayah sudah berusaha mengurangi suaranya," ayah Lala, Krav, hanya bisa nyengir dan menatap putrinya geli.

"Jangan ada suara dong! Kupu-kupunya terbang lagi!" Komplain Lala, yang sudah mulai mengejar kupu-kupu untuk menangkapnya.

Krav hanya menggelengkan kepala.

'Bagaimana bisa menghilangkan suara kapak saat memotong kayu. Kekonyolan siapa yang diwarisi anak ini,' batin Krav. Dia mulai bersiap memotong kayu lagi.

Masa bodoh dengan suaranya. Kalau Lala masih komplain lagi, dia akan mengikatnya di pagar depan rumah agar capek sendiri berteriak.

Baru saja Krav akan mengayunkan kapaknya, seseorang memanggilnya.

"Krav!"

"Kakek Wald!" Lala melonjak girang dan langsung menerjang sosok tua yang baru saja datang itu. Tubuh tua Wald sedikit oleng saat menerima Lala yang melompat dengan penuh semangat.

Wald meringis. Kalau saja Lala dua tiga tahun lebih tua, dia sudah akan jatuh terjerembab di tanah menerima pelukan sekuat ini.

"Lala, turunlah, Kakek Wald tidak kuat lama-lama menggendong badanmu yang gendut," Krav meletakkan kapaknya dan berjalan kearah Wald. Lala cemberut lagi.

"LALA TIDAK GENDUT!" Teriak gadis kecil itu. Tapi dia tetap menuruti kata-kata Krav, turun dari pelukan Wald.

"Haha, tidak apa-apa, bagaimanapun kakek akan sanggup menggendong Lala," Wald sedikit lega Lala sudah turun. Sendinya sudah hampir berbunyi lagi.

"Benarkah? Kakek mau gendong Lala setiap pagi main ke pantai?" Lala mulai mengajukan permintaan absurd.

"Eh… Kalau itu… Em…" Wald kehilangan kata-kata. Krav tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha~ Kalau kau memberi sedikit celah pada anak ini, dia akan mengeksploitasimu sampai kau menyesal sudah meladeninya!"

"Ayah kok ngomong gitu! Aku ini anakmu!" Lala berkacak pinggang. Krav tertawa lebih keras.

"Hahaha- uhuk uhuk!" Krav terbatuk hingga air mata keluar mengalir ke pipinya.

"Hahaha, aku tidak pernah bosan melihat interaksi kalian," Wald tersenyum geli melihat tingkah duo ayah-anak ini. Dia pun masuk ke halaman rumah Krav dan duduk di kursi bambu.

"Lala, tolong ambilkan minum untuk Kakek Wald," perintah Krav setelah menenangkan dirinya.

"Okey-doki," Lala melesat masuk kedalam rumah dan tak lama suara gelas berdenting pun terdengar.

"Sepertinya Lala akan dapat membantu meningkatkan moodnya," gumam Wald. Krav yang mendengarnya mengernyitkan dahi.

"Siapa? Mood siapa?"

"Ini soal alasan aku datang kesini pagi-pagi begini," Wald memulai penjelasannya, "pagi ini aku menemukan perahu karam di pantai Tuka. Hanya ada satu korban, seorang anak lelaki seumuran Lala. Dia pingsan saat aku menemukannya. Saat kubawa ke rumah dan menidurkannya, dia sempat bangun dan satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah dimana ibunya. Setelah itu dia jatuh tertidur jadi aku datang kesini untuk minta pendapatmu. Apa yang sebaiknya kita lakukan?" Wald membeberkan penjelasannya. Krav terlihat berpikir.

"Apa ada luka-luka di tubuhnya?" Tanya Krav memastikan.

"Tidak ada, hanya luka gores kecil akibat patahan kayu dan pasir," jawab Wald.

"Kalau begitu besar kemungkinan dia dari pulau ini juga. Pulau terdekat adalah Niaka namun pulau itu terlalu jauh untuk ditempuh seorang anak dengan perahu. Jadi hanya tersisa desa Dain dan kota Seran. Kalau kota Seran, sangat mungkin karena…" Krav melirik kearah Wald. Wald tersenyum tipis.

"Tak perlu kau mempertimbangkan perasaanku. Aku tidak punya masalah apa-apa dengan kota itu. Hanya…" Wald menggelengkan kepalanya. "Ini bukan saatnya membahas itu. Tapi sepertinya memang dari pulau ini juga, salah satu dari dua tempat itu. Anak itu sendirian di perahu, jadi ibunya pasti meninggalkannya. Jadi apa dia… dibuang?"

"Terlalu cepat menyimpulkan seperti itu, walaupun itu kemungkinan terbesar saat ini. Aku akan ke Dain sore ini, dan langsung ke Seran setelahnya, mencari tahu apakah ada yang wanita yang kehilangan anaknya. Aku minta tolong menitipkan Lala padamu beberapa hari ini. Dari gumamannya tadi sepertinya bagus juga mempertemukan anak itu dengan Lala. Dia akan bisa meningkatkan moodnya."

"Mood siapa? Lala akan menginap di rumah Kakek Wald?" Lala yang baru saja datang dan mendengar sedikit kalimat Krav langsung menimpali obrolan mereka.

"Oh iya kakek, ini diminum dulu. Jus jeruk spesial buatan Lala!" Lala mengulurkan segelas jus jeruk pada Wald. Wald menerimanya dengan hati gembira.

"Wah, Lala sudah bisa membuat jus jeruk!" Puji Wald.

"Iya dong! Lala!" Lala menepuk dadanya bangga.

"Jadi siapa yang ada di rumah kakek?" Lala bertanya penasaran sembari merangkak naik ke pangkuan Wald.

"Ada teman baru untukmu La. Dia sedang sedih, jadi kalau bisa tolong hibur dia," Krav yang menjawab. Lala mengangguk-anggukkan kepalanya cepat.

"Siap! Siap! Lala siap!"

"Nanti ayah akan pergi selama beberapa hari jadi Lala menginap dulu di rumah Kakek Wald ya," Krav menambahkan.

"Ya! Pergi, ya! Pergi! Pergi!"

"Anak ini," Krav menoyor dahi Lala. Lala menjulurkan lidahnya.

Wald tersenyum. Dia mulai merasa tenang setelah mendapat bantuan dari Krav dan Lala. Tangannya pun meraih jus jeruk yang dibuatkan Lala dan meminumnya.

"Bleeeh!" Wald memuntahkan minuman di mulutnya. Lala terkejut dan langsung turun dari pangkuan Wald, menatap lelaki tua dihadapannya dengan wajah khawatir.

"Kakek kenapa? Kenapa kakek? Tidak enak?" Tanyanya panik. Wald meringis.

"Lala, apa yang Lala masukkan kedalam minuman ini?" Tanya Wald.

"Emmm, jeruk yang diperas, terus air dingin, terus bubuk putih yang dipakai ayah untuk memasak!" Jawab Lala. Krav melotot.

"Bubuk putih yang dipakai untuk memasak? Garam?"

"Iya itu pokoknya! Masakan ayah jadi enak kalau pakai itu, jadi Lala masukkan ke jus jeruk kakek biar enak juga!" Lala tersenyum bangga.

Wald ikut melotot. Krav menepuk dahinya.

Menyukai LEGENDA MAWAR BIRU?

Yuk dukung Author Cirra Rei melalui laman Karyakarsa. ^^

Kalian bisa memberi tips disana sebagai dukungan serta memotivasi Author untuk membuat cerita yang lebih menarik!

CirraReicreators' thoughts