webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Pertemuan [Paling Utama]

Asak dan Thom menepuk-nepuk jubah mereka, mengusahakan agar terlihat rapih dan bersih walau sebenarnya apa yang mereka lakukan tidak membantu banyak. Jubah mereka masih saja lusuh, beberapa bagian robek dan ada banyak noda.

Pembimbing yang mengantarkan kuda pemuda itu menggeleng kepala, bagaimana bisa Asak dan Thom memaksa bertemu kepala bawahan pemilik dengan kondisi mengenaskan seperti ini. Dia sudah berusaha menghalau kedua muridnya itu, tapi semakin dihalau mereka semakin menjadi.

Bayangkan saja, Asak mengancam akan mengadukan kepada ayahnya jikalau pembimbing tidak mau mengantarkannya ke ruang kepala bawahan pemilik. Sebenarnya pembimbing tau bahwa ancaman Asak tidak berguna, karena semua orang di Kota Jerahak paham bahwasannya ada satu Azmata yang di anggap dari anak keluarga Azmata.

Tapi entahlah, pembimbing bisa membaca raut wajah tegas Asak dan Thom. Dia yakin jikalau kedua pemuda itu tidak main-main, ya setidaknya mereka akan membawa berita hebat kepada kepala bawahan pemilik.

"Kamu masuk lebih dulu, Asak, " tawar Thom sembari membungkukkan badannya empat puluh lima derajat.

Asak menggeleng kepala, dia mempersilakan Thom untuk lebih dulu membuka pintu baja dengan ukiran pohon beringin itu. "Kamu lebih berhak, Thom."

Pembimbing menatap kedua pemuda di hadapannya gemas, kemudian memukul tengkuk mereka pelan hingga si empu mengaduh. "Minggir!" Pria dengan jubah putih itu berjalan menubruk badan Thom dan Asak, membuka pintu perlahan dan memberi hormat.

"Ada apa Jip? Apa ada masalah lagi?" tanya kepala bawahan pemilik, orang yang duduk di tabung tanpa tutup. Asak dan Thom ingin melihat sosok yang tidak pernah mereka temui itu, tetapi badan pembimbing menutupi.

Asak dan Thom mulai bergerak ricuh, saling mendorong untuk mengintip dari balik tubuh pembimbing. Sebenarnya hanya Thom yang ribut, dia terus mendorong Asak dengan bahunya hingga akhirnya Asak membalas.

"Aku lebih dulu!" bisik Thom amat pelan.

Pemuda bersurai pirang itu menoleh, melempar tatapan tajam ke arah temannya. "Aku tidak peduli! Kamu diam dulu, Thom!"

Uhuk, suara itu lantas membuat kedua pemuda itu menoleh kembali ke depan. Mereka langsung melepas diri, berdiri tegap dan tersenyum lebar karena kepala bawahan pemilik menatap mereka bingung dari balik tesmak.

"Pergilah, ini urusanku dengan mereka, " perintah kepala bawahan pemilik kepada pembimbing, dia mempersilakan Asak dan Thom untuk duduk di tabung dengan tutup di depan kubus kerjanya. "Jadi berita macam apa yang kalian bawa untukku?"

Dengan cepat Asak merogoh saku jubah, menaruh benda persegi milik Thom ke atas kubus kerja kepala bawahan pemilik. Pria di hadapan mereka mengernyitkan dahi, bagaimana bisa seorang murid membawa teknologi dari luar sekolah.

"Aku tau aku salah dengan membawa benda ini, tapi tolong biarkan aku memberikan sesuatu." Asak menekan benda persegi itu, menekan tombol kecil disana untuk menampilkan layar hologram.

Video terputar, rekaman itu menampilkan kejadian malam kemarin dari awal sampai akhir. Karena ternyata Thom masih merekam saat Weq dilahap habis oleh makhluk aneh bernama Liam.

Kepala bawahan pemilik melepaskan kacamatanya, memijat dahinya pelan. Dia kembali menatap datar kedua pemuda di depannya, tampan sekali Asak dan Thom sangat menggebu-gebu, pria itu paham betul jika yang mereka inginkan adalah sebuah keadilan.

"Aku mengerti, Thom, Asak, " ucap pria yang bernama Calama dengan suara berat khas pria berumur. "Tapi aku harus memilih masalah mana yang harus dibahas dan diselesaikan lebih dulu. Dan tentu saja aku memilih masalah kematian pemuda di hutan kematian kemarin malam."

Thom hendak menimpali tapi ternyata Asak lebih dulu membuka mulutnya, dia benar-benar tidak terima jikalau masalah Reka tidak diselesaikan. Bagaimana dengan nama baik Laten, dia tidak mau teman sekamarnya semakin buruk di mata orang-orang.

"Kita tidak perlu memilih, Kepala Calama. Aku yakin semua bisa diselesaikan di waktu yang bersamaan, " desak Asak sembari meremat ujung kubus kerja kepala bawahan pemilik.

Calama menggeleng cepat, matanya terpejam sebentar. "Aku memang bisa melakukan itu, Asak. Tapi dengan menyelesaikan masalah Reka, kematian Weq tidak akan pernah selesai. Aku yakin kamu tau siapa ayah Reka, Asak. Dan aku bukan tandingannya."

"Kita pergi, Thom!" Asak berdiri rusuh, berjalan cepat keluar ruangan dan melompat ke cangkir, Thom menyusul di belakang dengan wajah asam.

Thom mengusap wajahnya kasar, memukul pinggir cangkir dengan kepalan. "Benar-benar bedebah anak itu, hanya karena ayahnya berjubah silver dia bisa berlaku semau!"

"Kematian Weq lebih penting, tetapi Laten juga harus mendapatkan keadilan, " lanjut Thom.

Asak tertawa renyah, pemuda dihadapannya sampai-sampai mendelik heran.

"Keadilan kamu kata, Thom? Lihatlah, sekarang kita tau bahwa keadilan hanya untuk kalangan atas. Sedangkan kita, kalangan menengah dan kebawah hanya dituntut melakukan kewajiban tanpa mendapatkan hak keadilan."

Asak menyandarkan bahunya, menghela napas pelan. "Ah... dunia ini memang adil, Thom. Saking adilnya mereka membagikan sebuah ketidakadilan kepada kita semua, ya tentu saja orang kalangan atas dikecualikan."

Setelah beberapa hari dipulangkan, Laten kembali ke sekolah. Dia sedang merapihkan bajunya di lemari, sesekali menaikkan kacamata yang turun ke pangkal hidung. Laten sudah tau tentang rekaman video itu, dan dia hanya tersenyum singkat sembari berterimakasih kepada Thom dan Asak.

"Aku juga sudah lupa dengan masalah kemarin, Asak, Thom. Kalian tidak perlu merasa bersalah seperti itu."

Seperti inilah Sekolah Menengah Kosong berjalan. Kau tidak akan pernah memenangkan keadilan walau dirimu bersabda suci sekalipun, tidak peduli kau mahir dalam debat atau berargumen. Jikalau kau hanya seorang rendahan, maka kau akan tetap di bawah sana, di tempat tanpa hak.

Asak sangat membenci hal ini, walau dia adalah seorang dengan kasta tertinggi kedua. Tetapi Asak juga mengalaminya, dia ditindas dan dipandang rendah oleh orang-orang berjubah silver. Bahkan orang-orang yang memiliki kasta dibawahnya juga melempar tatapan yang sama.

Ini semua karena ayahnya tidak pernah mengakuinya di depan khalayak umum, pria yang sialnya menjadi orang tua Asak hanya mencintai anak bungsunya. Adik kecil selalu dibawa ke pertemuan-pertemuan penting, disebut-sebut amat sempurna.

Terkadang Asak iri, tapi mau bagaimana lagi dia hanyalah Azmata yang tidak dialiri darah Azmata. Dia tidak sempurna, dia tidak beruntung, dia hanya sial dan terkurung dalam belenggu kesabaran.

"Asak!" pekik Laten, membuat Asak yang termenung di atas ranjangnya tersentak. "Apa yang kamu pikirkan hingga tak menghiraukan panggilanku? Sudah kubilang, Asak. Lupakan angan-anganmu itu, kita tidak akan mendapat keadilan jika hanya dengan warna jubah yang kita miliki."

Asak mengusap wajahnya kasar, menghela napas berat. Benar adanya kata Laten, untuk apa dia lelah berpikir tentang hal yang tak akan mungkin terjadi. Kepalanya sedikit terangkat, menatap ke arah Laten yang sudah selesai merapihkan lemari dan kembali duduk di ranjang yang bersebrangan dengannya.

"Laten, mengapa kamu bisa selamat dari arena putih?"