webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Kedua [Terulang Kembali]

Pengumuman ujian semester satu minggu lalu akan diumumkan siang ini, setelah kelas kedua. Sistem pengumuman dibagi menjadi dua, yaitu lewat layar hologram besar seperti mading dan lewat tali penunjuk.

Para murid biasanya lebih suka berbondong-bondong mendatangi layar hologram dengan luas empat kali dua meter persegi, menanti foto, nama, nilai rata-rata, dan tentu saja peringkat di layar besar itu.

Sedangkan Asak lebih suka bergumul dengan lembaran kertas kuno di perpustakaan bergerak, dia akan mengecek peringkat dari data yang masuk ke tali penunjuk. Berdesak-desakan bukanlah gaya Asak, itu hanya membuat jubah merah darahnya semakin kusut.

"Halo, Asak!"

Buk, Asak menjatuhkan buku yang ada di genggamannya. Mengusap dada sebelum mendelik ke arah Thom yang muncul tiba-tiba dengan senyum cerah, apalagi yang pemuda ini mau dari Asak.

"Tidak perlu terkejut, Asak. Aku bukan hantu, kamu tau itu?" Thom terkekeh, membuat penjaga perpustakaan yang sedang melewati mereka mendesis marah. "Aku manusia, " bisiknya amat pelan sembari melanjutkan tawanya, namun kali ini tanpa suara.

Kedua bola mata Asak bergulir malas, wajahnya semakin datar dan membuat Thom sedikit canggung. Pemuda dengan jubah coklat itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Asak memang suka membuat suasana menjadi tidak enak.

Setelah banyak kejadian yang mereka berdua lalui, Thom berpikir dia dan Asak menjadi teman. Tetapi Asak tidak berpikir begitu, bahkan tak pernah terlintas sedikitpun. Pemuda dengan rambut pirang kurang tertarik dengan berteman, dia ingin fokus belajar dan memuaskan hasrat ayahnya.

Walau begitu Thom tetap gencar mendekati Asak, selain karena tak ada kerjaan, dia juga berpikir bahwa menjahili Asak sangat menyenangkan. Thom punya banyak teman, penggemar, dia adalah definisi sebuah kupu-kupu. Hinggap dimana saja yang penting tempat itu penuh madu.

"Tidak berniat melihat layar besar itu, Asak. Ayo lihat sama-sama, aku penasaran dengan peringkatnya, " ajak Thom sembari meraih lengan Asak dan menariknya.

Tarikan Thom tidak membuat pemuda itu bergeming, dia masih berdiri di tempatnya dan mendelik tajam ke arah orang disampingnya. Thom menoleh, mengernyitkan dahinya.

"Ada apa, Asak? Kamu tidak penasaran memangnya?" tanyanya sembari melepas tangannya dari lengan Asak, Thom sedikit takut dengan tatapan dingin itu.

Asak membungkukkan badan, mengambil buku tebal yang terjatuh ke lantai. Jemarinya mengusap sampul buku, kemudian menaruhnya di kubus khusus buku selesai dibaca yang tepat berada satu meter di depannya.

"Aku tidak pernah tertarik berdesakan, Thom. Lagipula satu jam lagi kita mendapatkan data dari tali penunjuk." Asak mengarahkan tangannya ke depan wajah Thom, sengaja agar pemuda itu tidak lagi mengganggunya.

Thom berdecak, menggeleng kepala. "Kamu ini, Asak. Rasanya berbeda jika kamu menunggu di depan layar hologram itu. Seperti ada rasa sengatan kala melihat wajah dan peringkatmu terpampang, " ucap Thom sembari menguncupkan jemari dan menggoyangkan.

Wajah Asak semakin masam, sepertinya buah jeruk belum masak pun kalah asamnya. "Kali ini saja. Cepat, Thom!" Pemuda itu berjalan lebih dulu, sedangkan Thom tersenyum penuh kemenangan di belakang sana.

Mereka berjalan melewati lorong-lorong, sebelum akhirnya melompat ke cangkir merah untuk bergerak menuju layar besar yang berada di gedung kelas, area gedung selatan. Selama perjalanan Thom tidak ada hentinya berbicara, mulai dari topik kegiatannya menjadi seorang idola, sampai membicarakan gosip terkini.

Dasar, Thom. Dia seperti anak perempuan saja, mengkonsumsi gosip untuk dibicarakan kembali pada teman-teman saat kumpul. Dan kalimat pertama yang Thom katakan pun sama persis dengan anak-anak perempuan kala memulai gosip di kelas.

"Eh, kamu tau tidak, Sak?"

Dari satu kalimat di atas, akan banyak penjabaran dan spekulasi. Asal tidak berniat menimpali, dia hanya mendengar celotehan Thom sembari menatap pemandangan luar cangkir.

Tidak butuh waktu lama, hanya enam menit. Dan Asak bersyukur, telinga sudah lelah mendengar perkataan Thom yang tiada habisnya. Dia melompat turun, begitu juga Thom yang kini sudah selesai dengan acara menyampaikan berita terbaru.

Asak kembali menghela napas berat, kerumunan di depan sana sudah membuat pusing. Berbeda dengan Thom yang malah berjalan mendahului Asak, bergabung dengan kerumunan itu dan merengsek maju Ika ada celah terbuka.

Asak tidak terlalu berharap banyak dengan nilainya, setidaknya nilai itu tidak membawa kemarahan sang ayah. Dia mulai berjalan mendekati layar saat kerumunan mulai surut, mungkin murid-murid sudah melihat peringkatnya sendiri-sendiri.

"Namamu sudah terlewat tadi, Asak, " ucap Thom yang masih setia berdiri di depan layar besar dengan mata yang mulai mengering.

Ayolah... murid Sekolah Menengah Kosong ada ratusan dan satu siswa berdurasi tiga menit. Dan nama Thom tidak muncul-muncul, dia mungkin akan membawa tabung tanpa tutup jikalau namanya tidak kunjung ditampilkan oleh layar.

"Itu namaku!" pekik Thom kala wajah tampannya terpampang jelas.

Peringkat delapan dari seratus, dengan rata-rata nilai empat koma delapan. Tidak buruk, ya lagipula nilai tidak berlaku banyak dalam pekerjaannya sebagai idola. Yang penting bisa bersuara emas, berbadan bagus, dan lincah berdansa.

"Asak, itu dirimu!"

Pemuda bersurai pirang lantas mendongak, mengalihkan pandangannya dari lantai ke layar. Peringkat kedua, nilai rata-rata empat koma sembilan puluh delapan. Nyaris sempurna, nyaris menjadi peringkat pertama.

Asak menatap datar saat peringkat adik kecil tampil dihadapannya, dia memilih berjalan meninggalkan Thom yang meneriaki namanya. Mengapa selalu adik kecil yang pertama? Apa usahanya belajar mati-matian hanya sia-sia?

Sungguh Asak tak iri hati, namun dia hanya lelah dengan usaha yang tak ada hasil. Thom berjalan di samping Asak, menepuk-nepuk pundak pemuda itu pelan.

"Kamu tak senang, Asak? Padahal itu peringkat yang diinginkan semua orang, " ucapnya sembari menggerakkan tangan kanannya membentuk lengkungan pelangi.

Asak menggeleng kepala, tersenyum singkat sebelum kembali memasang wajah datar. "Aku bahkan tidak berharap mendapat peringkat itu, Thom."

Pemuda dengan jubah coklat mengernyitkan dahi, bola mata bergerak ke kanan dan ke kiri.

"Lantas, kamu ingin mendapatkan peringkat berapa?"

"Aku hanya ingin diakui, Thom."

Asak menjatuhkan dirinya ke atas ranjang keras asrama, mengangkat tangan kanannya untuk melihat jam di tali penunjuk. Dia mengerang, sudah hampir sore. Waktu berjalan cepat, dan dia tak siap untuk pulang ke rumah.

Setelah pembagian peringkat, murid Sekolah Menengah Kosong diijinkan pulang ke rumah, merayakan hari libur dua hari. Dan Asak juga akan pulang ke rumah. Rumah yang terasa hanya karena sosok Ibu, karena wanita itulah rumah Asak.

"Asak! Kau sudah pulang? Bagaimana keadaanmu? Ibu sangat merindukanmu. Kau tau, setiap Ibu memanggang kue lemon Ibu akan menangis karena mengingatmu. Selamat datang ke rumah pirang kesayangan Ibu."