webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Deniop [Lunas Tanpa Utang]

"Bawa kami semua melompati gerbang, " ucap Asak tegas, tangannya mengepal karena sosok dihadapannya masih saja menyeringai meledek.

Eh... Siapa yang kemarin berteriak bilang tidak butuh bantuan, dan sekarang malah seperti memohon. Si jubah satin benar-benar menyukai hal seperti ini, menjadi pahlawan bagi mereka yang lemah memang jati dirinya.

"Bisa, tapi ingat. Tidak ada yang percuma, Asak. Semua harus ada bayarannya." Pria itu mengusap bahu Asak, mengahalau butiran tanah yang mengotori jubah merah darah itu. "Jadi, kau mau membayar lunas atau mengutang?"

Asak mengernyitkan dahi, dia sama sekali tidak mengerti dengan perkataan pria di hadapannya. Jikalau dia ingin bayar lunas, pakai apa, dia tidak membawa koin emas atau benda berharga lain. Namun apabila dia mengutang, dia akan kembali bertemu dengan sosok misterius ini, dan itu bukanlah hal yang dia inginkan.

"Aku bayar lunas!" jawabnya penuh percaya diri, membuat sudut bibir si jubah satin makin tertarik ke atas.

Pria itu mengangguk paham, memundurkan langkah dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Tik, suara nyaring jentikan kembali menghantarkan kesiur dingin, mengembalikan keadaan seperti semula.

"Asak!" teriak Weq resah karena Deniop yang ada dalam rengkuhannya sudah sangat lemah.

Asak yang tadi tertegun kembali sadar, dia mengedipkan mata berkali-kali. Sosok tadi hilang dari hadapannya, berganti dengan pemandangan Weq memeluk Deniop yang tertidur pulas. Sedangkan Liam, makhluk itu berjalan pelan ke arah mereka dan menatap datar dengan mata kuning terangnya.

Dengan cepat Asak menyambar tubuh Deniop yang lebih besar darinya, berlari ke arah gerbang dan melompat, Weq menyusul di belakang. Hop! Asak berhasil keluar, dia menjatuhkan tubuh Deniop karena tak kuat lagi menggendong badan berat itu.

"Kita selamat?" tanya Deniop yang ternyata sudah sadar kala dirinya membentur tanah keras.

Deniop tersenyum saat melihat Weq melompati gerbang, namun ulasannya menghilang kala tubuh kecil Weq disambar oleh tangan panjang Liam. Di depan mata Deniop, sepupunya ditarik cepat oleh sang monster.

Weq tersenyum manis, kedua lubang cacat di pipinya tercetak jelas. Dia berteriak, "Terimakasih sudah menjagaku selama disini!" Sebelum akhirnya masuk ke dalam mulut Liam, terkoyak, dan jasadnya berada di dalam perut makhluk itu.

Pemuda dengan jubah abu gelap menitihkan air mata, wajahnya tetap datar karena sungguh hatinya perih melihat sepupu yang dititipkan oleh kedua orang tuanya raib untuk selamanya.

Asak menggeram marah, tangannya mengepal kuat seakan-akan sosok misterius itu berada dalam genggamannya. "Bedebah!" teriaknya frustasi, sedangkan tawa dari si jubah satin mengalun indah, menyayat kesabaran Asak yang dirinya pikir lebih tebal dari lapisan kubah Kota Jerahak.

Tik! Kesiur dingin menerpa wajah Asak, dan kali ini dia tidak menutup mata, melainkan mendelik tajam ke arah sosok yang sudah muncul di hadapannya dengan seringai memuakkan.

"Aku memintamu untuk membawa kami semua melompati gerbang!" Asak meraih kerah jubah satin itu, merematnya kuat. "Tuan bajingan!" teriaknya sembari melepaskan jubah itu dengan sedikit mendorong.

Asak melihat seseorang mati di depan mata dan rasa bersalah menyelimuti hatinya. Dia menarik rambut, berteriak frustasi lagi kala kembali melihat gigi Liam yang penuh darah segar Weq. Pemuda itu memang baru sekali bertemu dengan Weq, tapi Asak dapat melihat ketulusan di netra Weq.

"Kau hanya bilang ingin melompati gerbang, Asak. Dan kau juga berkata akan membayarnya lunas, " ucap pria itu dengan nada sedih. "Weq bayarannya, kau lunas tanpa utang."

Asak menggigit bibirnya hingga berdarah, Mey yang sedang mengobati luka Asak karena tragedi malam kemarin memukul bahu pemuda itu keras.

"Sudah cukup aku menjahit banyak lukamu, Asak! Jangan sampai mulutmu ikut aku jahit!" ancamnya.

Bukan terlihat seram, di mata Asak Mey seperti kelinci yang merengek-rengek minta wortel. Sudut bibirnya terangkat, dia mengangguk paham dan mencoba berhenti menggigit bibir.

Hatinya berdebar-debar lantaran amat bersemangat, bukan semangat ingin kembali masuk sekolah karena kebetulan ini hari libur. Namun dia sangat ingin semua orang tau jika pelaku pengambilan data soal-soal ujian bukanlah Laten, melainkan Reka.

Rekaman video bukti robot serupa yang digunakan Reka ada di tangannya, masih tersimpan di saku jubah. Videonya cukup amatir, itu semua karena direkam oleh Thom yang amatiran juga. Entah bagaimana Thom merekam, hasil videonya goyang dan membuat yang menontonnya pusing. Tapi tak apa, Asak memaklumi sifat norak Thom yang terkadang suka keluar.

"Halo, Asak! Kabar baik?" tanya Thom yang datang-datang sudah merangkulnya.

Asak menepis lengan Thom, temannya yang satu ini memang cepat sekali pulih. Kemarin malam dia muntah darah di ranjang Laten, Asak mau tak mau harus membersihkan ranjang dan membiarkan pemuda itu tidur di ranjangnya.

Namun sekarang, dia nampak lebih sehat daripada Asak. Wajahnya cerah bukan main, sepertinya dia sudah siap untuk kembali tampil di atas panggung jika ada panggilan. Thom menatap mata Asak, mencoba menggunakan teknik membaca mata.

"Sabarlah, Asak. Semua akan terungkap dan yang baik akan menang, " ucap Thom sembari menepuk-nepuk bahu temannya.

Mey menggulirkan mata malas, orang-orang dengan teknik memang menyebalkan. Mereka bisa mengirim pesan dan menjawab hanya lewat tatapan.

"Mey, mau ku baca matamu?" tanya Thom lembut dan diberi gesture muntah dari Asak.

"Jangan cemburu, Asak, " ledeknya sembari tertawa lepas.

Asak melompat turun dari ranjang, merangkul bahu Thom kasar dan menaik-turunkan alis. "Kita masih ada beberapa urusan penting, Thom. Aku pergi dulu, Mey!" Dia menarik Thom untuk berlari keluar dari ruang kesehatan, meninggalkan Mey yang masih betah melambaikan tangan.

Setelah merasa cukup jauh dari jangkauan pandang Mey, Asak mendorong tubuh Thom. "Jangan suka tebar pesona, Mey akan risih, " ucapnya seraya membenahi jubah yang kusut.

"Mey menyukaiku, Asak. Mana mungkin dia risih hanya karena idolanya ini tebar pesona." Thom menyisir rambutnya ke belakang.

"Ambilkan aku wadah atau apalah, aku ingin muntah sekarang."

Thom terkekeh pelan, dia baru sadar jikalau Asak adalah orang yang paling dekat dengannya sekarang, untuk saat ini.

"Kita harus memberikan rekaman ini ke pembimbing, Asak."

Kepala pemuda bersurai pirang itu menggeleng cepat. "Jangan ke suri, tapi langsung lapor ke kepala bawah pemilik."

Kepala bawah pemilik adalah orang yang menduduki tahta paling tinggi di sekolah, dia seperti pemilik sekolah. Namun Sekolah Menengah Kosong milik pemerintah, dan karena itulah dia diberi gelar kepala bawah pemilik.

Asak berharap bisa bertemu dengan beliau karena sangat sulit menemuinya, jadwal padat membuat beliau selalu menutup rapat pintu ruangannya yang berada di puncak gedung selatan.

"Bisakah kami bertemu dengan kepala bawah pemilik sekarang?"