webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Liang [Satu Mangsa]

Asak pasrah, menyerahkan diri pada siapapun yang menciptakannya. Mulutnya bergumam banyak doa, mulai dari membicarakan kesehatan sang Ibu, kebahagiaan adik kecil, Ayah yang selalu berjaya dalam pekerjaan, dan banyak lagi.

"Aku juga berdoa untuk Mey, tolong biarkan dia terus tersenyum. Jika boleh jujur aku men, -" Ucapan Asak terpotong kala sebuah tangan menarik bagian belakang jubah, menyeretnya ke balik batu besar.

Pemuda bersurai pirang itu termenung, masih dengan mata tertutup. Dia takut jika makhluk aneh lain yang menariknya kesini. Bagaimana jika itu hantu Hutan Kematian, atau apalah namanya. Asak jadi enggan membuka mata, lebih baik dia terpejam sampai ajal menjemput.

"Asak!" bisik Thom tepat di samping telinga pemuda itu, membuat Asak menggelinjang kaget dan lantas menyikut perut Thom.

Pemuda berjubah coklat itu mengaduh, memegang sisi perutnya yang nyeri. Tulang Asak itu tajam sekali, seperti belati kalau kaya Thom. Hanya perumpamaan, tapi sungguh saat kamu bertarung dengan Asak lebih baik menghindari pukulan kosong jarak dekat.

"Aku hidup?" Tangan Asak meraba-raba wajahnya, tak percaya jika dia selamat dari makhluk aneh tadi. "Aku selamat dari Liam?"

Thom yang jengah dengan tingkah norak dan dramatis Asak memukul tengkuk pemuda itu, menghadiahkan ringis dan pukulan balasan.

"Sialan kamu, Thom!" geramnya tertahan karena Thom mengisyaratkan diam dengan telunjuk di atas bilah bibir.

"Tadi kamu bilang nama makhluk itu apa, Asak. Niam? Biam? Tiram?"

"Liam, Thom, " ucapnya sembari memutarkan bola mata malas. "Liam adalah hewan dengan bentuk menyerupai manusia, kaki tangannya lebih panjang dari kita dan tentu saja dia lebih besar tiga puluh kali lipat dari tubuh manusia."

Asak menjatuhkan dirinya, merapatkan punggung dengan permukaan batu besar.

"Liam memiliki gigi tajam sebesar gading gajah masa lampau, matanya kuning terang dan seperti yang kubaca mata itu dapat mengeluarkan cahaya yang menghipnotis mangsanya."

Thom hanya dapat menganggukkan kepala, mau menimpali dengan pernyataan jahil tapi Asak lebih dulu melempar tatapan tajam.

"Dimana bawahan Reka? Apa mereka berhasil melompati pagar?" Kepala Asak menoleh kesana-kemari, mencari keberadaan enam orang yang tiba-tiba saja hilang dan berhentu bersuara.

"Mereka juga bersembunyi, Asak. Tidak ada yang berhasil keluar karena Liam itu berdiri di depan gerbang."

Pemuda dengan jubah merah darah itu mendengkus, ulah Reka merugikan semua. Dia tidak mau terjebak di hutan kematian berhari-hari, tidak makan dan tidak minum.

Hitam Kematian memang menyimpan banyak hal unik di dalamnya, tapi hal unik yang dimaksud sudah pasti berbahaya. Tidak ada yang bisa dimakan dan diminum, lebih tepatnya kita lah yang akan menjadi santapan makhluk disini.

"Kita harus keluar, " ucap seseorang yang tiba-tiba muncul di samping Asak. Pemuda dengan jubah abu gelap menatap kedua orang di sampingnya datar, jemari panjangnya menjentikkan jari. "Tidak ada waktu untuk termenung, kita harus keluar sebelum para suri mengadakan patroli lima belas menit lagi."

Pemuda tinggi berwajah datar itu adalah bawahan Reka, pemuda yang bosan dengan pelajaran anak tingkat tiga hingga bergabung dengan rencana Reka karena ditarik oleh teman sekamarnya.

"Kamu mengajak bekerja sama? Siapa namamu?" tanya Asak sembari menjulurkan tangan, berniat menjabat namun malah dihadiahi tak acuh.

"Deniop, dan lima orang lainnya ada di balik batu besar itu." Dia menunjuk batu besar yang berjarak sepuluh meter dari mereka. "Aku punya rencana. Aku yang akan menjadi umpan, kalian melompatlah keluar gerbang selagi aku melawan Liam."

Deniop menyambar tangan Asak yang masih menjulur, menangkupnya erat. "Dan aku mohon untuk bawa keluar sepupuku. Aku mohon padamu, Azmata, " lirihnya.

Pemuda dengan jubah abu gelap itu berdiri, bersiul, memberi pertanda untuk para rekannya keluar dari tempat persembunyian. Dia lantas berlari menerjang Liam yang berdiri di depan gerbang, melancarkan pukulan kosong keras yang tiada seujung kuku bagi makhluk aneh itu.

"Lompati pagar cepat!" teriak Deniop lantang.

Bum, pukulan kosong sia-sia kembali dilayangkan pemuda itu. Dia melirik ke arah orang-orang yang melompat gerbang, namun matanya membola saat menyadari sepupunya masih diam berdiri. Deniop kembali berteriak, tetapi kali ini karena tubuhnya dicengkeram kuat oleh Liam.

"Deniop!" teriak heboh pemuda yang lebih pendek dari Deniop, dia hendak berlari menghampiri sepupunya yang sudah melemas karena cengkeraman yang terlalu kuat.

Asak melompat masuk, menahan lengan pemuda itu. "Kita harus keluar! Para suri akan melakukan patroli!" tekan Asak sembari menarik tubuh pemuda itu.

"Tapi Deniop juga harus keluar!" Pemuda dengan nama Weq itu menepis tangan Asak. "Deniop! Bertahanlah, aku akan menyelamatkanmu."

"Aku mohon selamatkan sepupunya, Azmata, " lirihnya amat pelan, mata berair itu menatap Asal lekat.

Pemuda bersurai pirang itu menghela napas pelan, dia mengerti bahwa Deniop dan Weq sama-sama tidak ingin kehilangan. Tetapi bukannya lebih baik gugur satu daripada tumbang semua.

"Asak." Bisikan itu membuat Asak menoleh ke kanan dan ke kiri, dan matanya bertemu dengan netra gelap si jubah satin.

Pria itu berdiri tepat lima meter dari Liam, menyeringai lebar hingga Asak mengira mata pria berjubah satin itu kini menyipit walau tertutup oleh tudung.

"Butuh bantuanku, Azmata?" tanyanya pelan.

Entah kenapa Asak bisa mendengar jelas suara pria itu, padahal gerak bibir pria disana tidak amat jelas. Dia menoleh ke arah Weq. "Kamu mendengarnya, Weq?" tanyanya dan dijawab oleh gelengan.

"Asak! Weq!" Teriakan lemah Deniop mengudara, wajahnya mulai membiru karena genggaman Liam terlalu erat.

Asak menggigit bibir, lengannya digoyang-goyangkan oleh Weq yang terus memaksa. Dia menoleh kembali melihat sosok pria tadi, pria itu masih menyeringai, menunggu jawaban Asak.

Ini pilihan yang sulit, dia tidak suka dengan si jubah satin karena perasaan selalu bilang untuk tidak pernah percaya padanya. Pria itu selalu misterius, dan hal seperti itu biasanya akan membawa petaka.

"Asak, aku mohon!" paksa Weq.

"Aku butuh bantuanmu!" teriak Asak frustasi, membuat Weq yang disampingnya terkejut, sampai-sampai Thom yang sudah diluar gerbang ikut memegang dada.

Si jubah satin mengangkat tangannya tinggi, menjentikkan jari. Kesiur dingin menerpa, Asak menutup mata. Dia mengeratkan jubah, menarik tudung. Saat matanya terbuka, dia membola. Liam dan Deniop berhenti bergerak, membeku layaknya batu-batu besar yang menjadi tempat persembunyian mereka sebelumnya.

Dia menoleh ke kanan, menatap Weq yang keadaanya sama dengan Deniop dan Liam. "Jadi kau butuh bantuanku yang seperti apa, Asak?" tanya orang yang tiba-tiba muncul di depan Asak.

Pria berjubah satin itu tertawa renyah kala melihat wajah kaget Asak, sepertinya pemuda dihadapannya benar-benar sebuah serial televisi hiburan.

"Jadi, apa yang kau butuhkan?"