webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Hilang [Ludah Bersih]

Langkah pemuda dengan jubah silver itu makin mendekat, meniup wajah terkejut orang dihadapannya yang terpaku layaknya patung pinggir kolam. Asak mengerjab mata, menggeleng cepat untuk menghilangkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala.

"Masih ingin lihat-lihat? Tengoklah lebih dekat, cobalah! Aku dengan senang hati meminjamkannya untuk seorang Azmata terbuang seperti dirimu, " ledeknya sembari menepuk-nepuk bahu lebar Asak.

Ah... Asak adalah pemuda yang sabar, buktinya dia masih menyunggingkan senyum tipis saat pernyataan Reka menerkam tiba-tiba. Bahkan Thom yang berada di samping Asak sudah bergemeletuk marah, tangannya hampir terjulur menarik kerah jubah silver itu jika saja Asak tidak menyambar lengannya lebih dulu.

"Tenang, Thom. Mengapa pula kamu menerjang, kita tidak berniat bertarung." Asak menghempas jubah Thom kasar kala tangan anak itu masih saja menjulur ke arah kerah jubah Reka.

Reka yang merasa tersanjung akan menerima sikap baik Asak mendengkus dan tertawa renyah, kepalanya bergerak kanan-kiri. Dia benar-benar suka dengan drama petemanan seperti ini, yang satu bodoh bukan main dan yang satu pintar menahan pikiran gila si bodoh. Sungguh perpaduan sempurna untuk membuat drama komedi.

"Apa kalian sedang berlagak, dimana penonton yang lain? Apa hanya aku?" Reka menunjuk dirinya sendiri, tertawa terbahak-bahak. "Aku rasa bukan hanya aku, karena sayang sekali jika drama ini hanya dinikmati satu pasang mata saja."

Tepuk tangan riuh bersahutan muncul dari arah belakang. Asak dan Thom lantas menoleh cepat, membolakan mata kala melihat teman sepermainan Reka menyerbu, mengepung mereka dengan membuat lingkaran besar yang dibuat oleh enam orang.

Kedua pemuda di dalam lingkaran bertatapan, saling menggunakan teknik membaca mata untuk menyusun rencana. Tapi teknik membaca mata harus dilakukan dengan hati yang tenang, dan saat ini sangat tidak tepat. Jantung berlomba-lomba, detakannya seakan melompat keluar.

Asak mendecih berkali-kali, selalu saja gagal membaca mata Thom yang gemetar karena amarah. "Tenang, Thom!" teriaknya frustasi karena teman satu timnya terlalu menggebu-gebu.

Reka yang bosan menunggu mengangkat tangan kanannya tinggi, memberi isyarat kepada enam orang bawahannya untuk langsung saja melahap mangsa. Tanpa perlu hitungan detik, mereka semua melepas pukulan kosong.

Bum!Bum!Bum!

Bertubi-tubi, Asak dan Thom berusaha menghindar. Namun selihai apapun mereka, dua lawan enam tidaklah mungkin. Apalagi Asak mengira enam orang ini adalah tingkat tiga. Oh ayolah... anak tingkat mana yang bisa menggunakan pukulan kosong level tinggi seperti mereka, sudah pasti tingkat tiga.

Langkah Asal dan Thom mundur, bahkan sepatu mereka merosot ke dalam tanah karena terus-menerus bertahan dengan mengirim pukulan kosong yang tidak sebanding itu. Sepuluh menit hanya ada pukulan kosong, dan sudah membuat dua pemuda di dalam lingkaran kewalahan.

Napas memburu, darah berdesir dan keluar dari luka-luka yang muncul di lengan, bahu, pipi, dan sudut bibir Thom. Sedangkan Asak, dia lebih parah. Tulang jari tengah pemuda itu patah, kepalannya beradu dengan pukulan kosong dua orang sekaligus.

"THOM! BERDIRI DI BELAKANGKU!"

Sret! Thom menyeret langkah, berdiri di belakang Asak dan menyatukan punggung mereka. Pemuda berjubah coklat itu benar-benar lelah, pukulan kosongnya hanya menghabiskan tenaga tapi tiada guna sama sekali.

"Apa ingin menyerah sekarang?" Reka mencondongkan kepala dari sela-sela lingkaran enam pemuda, matanya membola lucu, melirik ke kanan-kiri sembari menunggu jawaban.

Thom ingin menyahut, namun lagi-lagi Asak mendahului. "Aku punya bukti yang siap dikirim kapan saja, Reka!" ancamnya, dan teriakan itu tidak menggetarkan setitik pun sel di hati Reka.

"Sebar, Asak! Maka salah satu dari kita akan mati, " balas Reka penuh semangat, diakhiri dengan senyum lebar menampilkan deretan gigi putih rapih.

BUM! Thom mengirim pukulan kosong keras, merobohkan dua pemuda yang tak siap dengan kuda-kuda. Dengan cepat Asak menyusul, dia melompat tinggi dan mengarahkan kepalan ke arah wajah pemuda dengan mata melotot kaget. BUM! Pemuda itu terpelanting ke belakang, hidungnya patah dan mengeluarkan darah dari kedua lubang.

Geraman marah keluar dari bilah bibir Reka, tangan pemuda itu mengepal kuat saat para bawahannya perlahan-lahan tumbang satu per satu. Tidak kehabisan akal, Reka mengeluarkan bola seukuran kelereng dan meleparnya jauh, melambung tinggi masuk ke area dalam hutan kematian.

"Satu, dua, tiga, " gumam Reka pelan, namun Asak mendengarnya dan dia yakin bahwa itu bukan pertanda baik.

BOOM!

Ledakan hebat terjadi, disusul raungan, desisan, auman. Semua terdengar ricuh, entahlah hewan mana yang bangkit. Semua orang terdiam, berhenti bertarung sejenak sebelum akhirnya Reka berteriak marah dan melompati pagar tinggi untuk pergi.

Bum! Asak meluncurkan pukulan kosong kuat, menggunakan tenaga terakhir yang dia punya. Tubuhnya sedikit oleng, menabrak punggung Thom yang masih gencar mengirim pukulan kosong lemah.

"Pukul titik lemah mereka, Asak, " bisik Thom amat pelan, dia harus irit tenaga, walau itu hanya untuk sekedar berbincang.

Pukulan demi pukulan, elak-mengelak, acara itu berhenti karena tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar. Pohon kerucut yang jauh di dalam sana bergerak heboh, langkah besar seakan-akan mendekat, berlari kencang ke arah mereka.

"Apa ini?" teriak Thom heboh, kepalanya menoleh ke segala arah.

Enam orang bawahan Reka yang kini hanya tersisa empat berkeringat dingin, sedangkan dua lagi yang sudah tersungkur memilih mundur dan menyatukan punggung mereka dengan tembok Hutan Kematian.

Benda bulat seukuran kelereng yang dilempar Reka adalah bom nuklir bertenaga kecil, hanya mampu menghancurkan benda yang ada di diameter sepuluh meter dekatnya. Dan seperti inilah Hutan Kematian bekerja, saat bunyi atau getaran hebat akan banyak hal baru yang muncul ke permukaan.

Entah apa yang akan muncul, tetapi dapat dipastikan itu tidak pernah dilihat oleh mata manusia manapun kecuali orang-orang yang berhasil dalam ujian akhir Sekolah Menengah Kosong.

Langkah Asak mundur perlahan, dia meremat jubah coklat milik Thom dan menariknya juga. Empat orang bawahan Reka pun ikut memundurkan langkah karena sungguh langkah kaki atau apalah itu semakin mendekat.

"Reka sialan!" geram Asak sembari bersiap berlari.

Namun saat dirinya ingin melompati pagar, sesuatu menarik bagian belakang jubah. Membuat tubuh itu terpelanting ke belakang, menyentuh tanah dan menghadiahkan luka di telapak tangan yang bergesekan dengan kerikil.

Asak mengaduh, dahinya mengernyit sakit. "Asak, " panggilan kecil dari Thom membuat kepalanya mendongak, matanya bertemu dengan sepasang netra kuning menyala. Tepat di depannya, sangat dekat hingga Asak mencium bau napas makhluk itu. Helaian rambut pirang Asak berterbangan kala makhluk itu mendekus, gigi-gigi sebesar gading gajah terpampang jelas.

"Aku mencintaimu Ibu, " gumam Asak pasrah.