webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Rumah [Bukan Untuk Semua]

Makan malam bersama memang selalu menjadi acara utama kala selesai pembagian peringkat. Asak menyukainya, namun untuk sesi banding-membandingkan dia berharap tidak hadir disana.

"Peringkat berapa, Azmata?" tanya Irru, sang ayah kepada pemuda yang duduk di tabung dengan tutup di sampingnya.

Adik kecil menaruh alat makannya, mengusap sudut bibirnya yang tertinggal bekas saus jagung. Irru menunggu jawaban dengan kembali memotong daging panggang dengan pisau kecil, dia menekan tombol kecil yang ada di pucuk pisau, membuat benda itu berubah menjadi garpu.

"Peringkat pertama, Ayah, " jawab adik dengan senyum lebar, membuat Irru ikut mengulas lengkungan puas di wajahnya.

"Memang benar-benar Azmata." Irru menusuk potongan daging, mencelupkan ke saus jagung.

Di, wanita yang sedari tadi fokus memotong daging panggang hanya tersenyum manis, perlahan menggeser piringnya ke depan Asak dan menukarnya dengan milik putranya yang belum tersentuh sedikit pun.

"Makanlah yang banyak, Asak. Ibu akan memberimu hadiah karena sudah menjadi peringkat kedua nanti." Dia mengusap surai yang sewarna dengan miliknya.

Adik kecil mendengkus sebal kala mendengar pernyataan Di, dengan cepat wanita itu menaruh potongan kentang panggang ke piring si bungsu. "Untuk biru kesayangan Ibu, kau juga akan mendapatkan hadiah sayang. Hadiah spesial, " ucap Di sembari mencolek pucuk hidung anaknya.

Adik kecil senantiasa iri hati, dia menginginkan apa yang Asak dapat. Sedangkan Asak sendiri tidak pernah mengusik hak adiknya, dia juga tidak pernah protes tentang perilaku ayahnya yang memberi sedikit perhatian kepadanya.

"Dia adikku, Ibu. Tak pernah terbesit sekalipun untuk merenggut kebahagiaannya, " ujar Asak saat sang ibu menanyakan keadaanya setelah makan malam ditutup oleh sarkasme Irru.

Di mengeratkan pelukannya, mengusap punggung lebar anaknya lembut. "Bagaimana bisa kau sesabar ini, Asak. Ibu takut kau mati karena mengalah kepada adikmu itu."

Wanita cantik yang tak lagi kuat itu amat mencintai kedua putranya, mengasihi sama rata dengan seluruh tenaganya. Namun seadil-adilnya manusia, tidak pernah akan seimbang. Di akui dia lebih menyayangi Asak, putra sulungnya yang selalu menemaninya bagaimanapun cerita yang Di alami.

"Ah... kau terlalu menanam hal yang tak penting, Asak."

Pemuda bersurai pirang yang sudah mulai terlelap membuka matanya lebar-lebar, dengan cepat bangkit dari tidurnya dan menoleh ke segala arah. Suara siapa itu? Asak sendirian di kamarnya, pelapis di pintu masuk juga sudah diaktifkan sebelum dia tertidur.

"Tenanglah, Asak, " kekeh suara itu remeh, Asak amat mengenal nada bicara pria tak berwujud ini, dia adalah orang yang sama dengan si jubah satin. "Mengapa kau selalu terkejut, bukankah aku sudah sering mengunjungimu seperti ini? Apa perlu lebih sering?"

Tawa pria itu makin keras, menggema di telinga Asak. Pemuda itu lantas menutup lubang pendengaran dengan jari telunjuk, menutup mata dan berbaring.

"Ini semua mimpi, ini semua mimpi, ini semua mimpi, " gumam Asak berkali-kali, hingga suara itu menghilang.

Asak membuka matanya, melirik kesana-kemari dan mengembuskan napas lega. Akhirnya suara itu raib, Asak yakin ini hanya halusinasinya saja. Dia kembali menutup mata, menggerakkan tubuhnya untuk menghadap kanan.

"Mengapa aku was-was?" tanyanya sembari berdecak sebal.

Dia merasa seperti ada yang memperhatikannya, membuat dirinya terpaksa kembali membuka mata. Pemandangan pertamanya adalah cermin bulat yang menempel di dinding, itu pemberian Di tahun lalu karena adik kecil dengan sengaja mengirim pukulan kosong ke arah Asak dan meleset meninju cermin.

"Kau kira aku menghilang?"

Sosok berjubah satin itu muncul dari dalam cermin, membuat Asak melotot dan tubuhnya tersentak. Pria itu tertawa terbahak-bahak, wajah pucat pasi Asak hiburan yang menarik baginya.

"Hahaha, kau tau, Asak? Kau memang pantas untuk ditunggu, " ucapnya sembari menyeringai. "Kau akan membutuhkan aku lagi, Asak. Dan suatu saat nanti kau akan rela menawarkan jasadmu untuk mendapat pertolonganku."

Sosok itu menghilang bersamaan dengan cermin yang sedikit retak. Asak mengusap wajahnya kasar, kepala tangannya memukul dinding keras hingga menimbulkan memar.

"Siapa bedebah itu?"

Asak tidak pernah mengira bahwa sosok itu akan mengikuti keluar dari wilayah Sekolah Menengah Kosong. Pemuda itu juga tidak tau apa tujuan dan masalah pria berjubah satin hingga mau-maunya mengganggu hidup Asak yang tidak menguntungkan seperti ini.

Pemuda berambut pirang itu hanyalah murid Sekolah Menengah Kosong, tidak terlalu kaya, tidak memiliki pengaruh, dan tidak juga menyenangkan. Jadi apa yang diincar oleh si jubah satin? Tidak mungkin dia hanya iseng menganggu Asak.

Dan yang Asak tau, tidak pernah ada orang jaman sekarang yang bisa melakukan teknik yang mampu membuat manusia berada di dalam cermin. Atau masuk ke dalam lukisan dinding, menghilang dan muncul tiba-tiba. Teknik itu hanya ada di dalam dongeng jaman dulu yang pernah Asak baca, dan pemuda itu yakin bahwa teknik-teknik itu hanyalah mitos.

"Apakah setelah dimaki-maki Ayah, kamu menjadi orang gila, Asak?"

Tubuh pemuda dengan jubah merah darah itu tersentak, dia menutup buku dongeng yang ada di atas pahanya tanpa sadar. Asak mendongakkan kepala, menatap adik kecil yang kini menyeringai sembari mendengkus.

"Aku tidak gila, " jawab Asak sembari mengusap sampul buku yang sudah dimakan rayap, compang-camping yang kekuningan.

"Lantas mengapa berbicara sendiri seraya menatap buku anak-anak itu, Asak?"

Asak berdiri dari duduknya, berjalan mendekati adik kecil. Dia memajukan kepala hingga pipinya menyentuh pipi sang adik. "Aku hanya berkhayal, kamu tidak perlu khawatir, " bisik Asak, membuat adik kecil mendoring tubuh itu keras sampai-sampai terjatuh dan menyentuh rumput halaman rumah mereka.

Adik kecil mengibas jubahnya sebelum angkat kaki. Sedangkan Asak tertawa kecil, berdiri dan mengusap-usap jubahnya yang penuh dengan butiran tanah. Dia merindukan adik kecilnya, anak laki-laki yang dulu selalu mengikutinya di Sekolah Sebelum Dasar.

Semua hanya tinggal kenangan, sudah berakhir karena keegoisan masing-masing insan. Rumah yang dulu Asak kira menjadi tempatnya pulang ternyata hanyalah seonggok bangunan, menyisakan sang Ibu yang masih mau menyambutnya masuk ke dalam.

Rumahnya kini telah menjadi tempat singgah sementara, kadang dia berpikir untuk kembali ke kampung halaman sang ibu dan memboyong wanita itu untuk tinggal disana. Walau disana tidak secanggih disini, walau tempat itu tidak seriuh Kota Jerahak.

Tapi kampung halaman sang ibu adalah rumah, rumah yang sangat Asak idamkan. Dimana semua menyambut ramah, merangkul akrab tanpa mendelik marah, dan disana tidak ada yang mempermasalahkan bagaimana nilai dan prestasinya.

Rumah yang Asak tinggali kini bukanlah rumah untuk semua, bukan lagi tempat istirahat yang nyaman, bukan lagi menjadi tempat melepas penat akan rumitnya alur kehidupan.