webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Kepala [Cinta Berlebihan]

Gura Jionama. Entahlah pria itu berasal darimana, identitasnya sangat mahal jika hanya untuk dikonsumsi oleh kalangan bawah. Pria dengan rambut brokoli itu selalu tampak mengenakan jubah silver, biasanya hanya berkeliaran di acara pemerintahan atau video-video amatir pameran robot.

Ayah Reka ini tidak hanya seorang pembuat robot, dia juga bagian dari pemerintah. Walau masih dalam kalangan bawahan, tapi itu sudah cukup membuat keluarga Jionama termasyur ke penjuru negara Dikara. Buktinya saja Reka sudah bisa berlaku semau, menebar kebencian tanpa takut mendapat hukuman.

Robot-robot yang dibuat oleh Gura sebenarnya sangat mutakhir, bermanfaat, dan tentu saja itu ide yang cemerlang. Sebagian besar dari perkembangan Dikara menuju era tak terbatas dibantu oleh ribuan robot yang Gura buat dalam kurun waktu lima puluh tahun. Sampai-sampai dia terlambat menikah dan mempunyai anak di umur 55 tahun.

Namun beberapa ide cemerlang yang Gura hadirkan malah berhujung bencana, kasus kelam empat puluh tahun silam tidak bisa rakyat Dikara lupakan. Kala itu Gura berniat membangun sebuah bendungan yang waduknya bisa menjadi pasar apung untuk rakyat bagian atas Kota Jerahak.

Pembangunan yang menghabiskan banyak batangan emas berlangsung sangat baik, banyak sekali penduduk Kota Jerahak yang tak sabar menikmati wisata air ala kerjaan kuno. Perahu sudah tidak pernah digunakan lagi setelah era mundurnya kerajaan, orang-orang zaman ini hanya mengenal mangkuk terbang yang cepat melesat hingga tak bisa menikmati pemandangan luar jendela.

Setelah memakan waktu satu bulan, Waduk Perahu akhirnya dibuka. Ribuan orang berbondong-bondong datang, sudah membeli tiket jauh-jauh hari di situs khusus. Perahu yang hanya bisa menampung sepuluh orang berjejer di tepi waduk, sedangkan perahu-perahu besar yang membawa makanan dan cendera mata berkeliaran disekitar waduk yang luasnya hampir lima hectare.

Kalian tahu dimana bendungan dan waduk itu berdiri? Mungkin jika kalian tahu rasanya akan seperti mimpi aneh, pembangunan gila, bisa dipastikan kalian akan memaki pihak-pihak yang menyutujui benda itu dibangun.

Bendungan itu setinggi anak gunung, menjalar ke bawah seperti jurang. Sedangkan dipuncaknya ada waduk dengan kedalaman 300 meter, dan luasnya tidak main-main. Gura tahu ini berbahaya, tapi lahan di dalam kubah tidak seluas itu, dia harus memutar otak untuk melancarkan niatnya dan dia berhasil memanfaatkan langit-langit kubah yang kosong melompong.

Sehari-dua hari, sebulan-dua bulan, semua aman. Hingga ada keretakan pada dinding bendungan. Retakannya kecil, sangat kecil, tidak sampai satu jengkal tangan Gura. Dan karena itulah Gura mengabaikannya, memandang remeh retakan yang dikira tidak akan mampu membinasakan bangunan buatannya.

"Entahlah, saya tidak enak hati. Bisakah kita tutup lebih awal, Gura?" tanya Juo, asisten kebanggaan Gura.

Pria dengan jubah silver itu menggeleng kepala, jemarinya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Kau seharusnya bersenang hati, Juo. Coba bayangkan betapa rimbunnya kepingan emas yang akan memenuhi brankas rumah, makanan enak dan fasilitas dalam sekali tunjuk. Bayangkan itu saja, tak perlu macam-macam."

BUM!

Seketika kepala dua pria itu menoleh ke bawah, menatap kaget perahu besar yang menabrak dinding bendungan keras. Arus air yang tadinya tenang tiba-tiba bergerak rusuh, menarik kapal-kapal ke arah dinding bendungan. Semua berteriak histeris, dengan cepat melompat turun dengan pelampung.

Namun, terlambat. Dinding yang tebalnya hampir sama dengan dinding kubah meletus, perahu-perahu meluncur kebawah bersamaan dengan orang-orang yang tak sempat berenang. Gura menyandarkan badannya di kursi dalam mangkuk terbang, sedangkan Juo menutup wajahnya dengan kedua tangan tak mampu melhat ratusan manusia meluncur bebas dan sudah pasti lenyap.

Setelah kejadian itu kepercayaan yang telah diberikan para petinggi pemerintah berkurang, ragu akan ide-ide baru Gura Jionama. Lantas pria bertubuh tinggi besar itu tersisihkan, posisinya terancam, dia hampir saja mencium kaki atasannya agar bisa kembali duduk di kursinya.

Sudah ribuan ludah yang Gura hibahkan untuk menjilat, tebar lisan sana-sini. Dan ya, dia berhasil duduk di kursinya. Namun rasanya berbeda, pandangan orang lain terhadapnya berubah, banyak sekali rancangan robotnya yang tertolak mentah tanpa alasan.

Hal ini membuat Gura marah bukan kepalang, dia mengambil langkah besar dengan niat memperbaiki namanya. Pria itu kini menjadi dirinya yang sekarang, Gura yang terkenal dengan robot pemusnahnya, Gura yang tenggelam dalam situs bawah laut dalam rangka menjual robot-robot aneh.

Beberapa kali pemerintah menahan kakinya, mencoba melenyapkan napsu Gura. Tetapi pemerintah kala itu sampai sekarang tidak bisa berbuat lebih, mereka butuh robot-robot Gura, jika mereka menolak atau sesekali melarang penjualan mahakarya pria itu, habis semua.

Siapa yang mau tiba-tiba ada berita bahwa mesin pembangkit listrik bawah tanah mereka tidak lagi berfungsi? Atau siapa juga yang ingin mendapat banyak kesulitan karena baterai khusus yang di produksi Gura untuk menghidupkan mangkuk terbang tiba-tiba berhenti diproduksi? Jawabannya, tidak ada.

Gura cukup tahu diri untuk tidak menjual robot kelewat aneh dan berbahaya, dia juga hanya menjual robot ke kerabat dekat. Karena ya, tujuan awal Gura hanya ingin membuktikan diri, bukan membahayakan keselamatan khalayak banyak seperti kejadian masa lampau.

Jikalau Gura adalah seseorang bertangan emas, berbanding terbalik dengan anaknya Reka "Si Tangan Licin" Julukan yang tidak akan pernah ditemukan di manapun dan tentu saja Gura sangat bangga, amat mencintai putra semata wayangnya.

Tidak ada bait penolakan dalam pernyataan Gura jika itu perihal permintaan anaknya, dia rela memberi apapun agar anak itu mau dekat dengan dirinya.

Anak dan ayah itu tidak akrab, kematian sang Ibunda lah yang membuat hawa dingin datang di antara mereka. Reka selalu saja menghindari Gura, kecuali saat meminta sesuatu tentunya.

Pria itu rindu Reka kecil, merindu sekali kepada suasana makan malam yang ramai dengan ocehan dan tawa. Gura rela membayar sebanyak apapun untuk menebus kembali jiwa Reka yang digadai bersamaan dengan napas terakhir istrinya.

"Ayah, bisakah aku meminta bantuan?" Reka menaruh alat makannya kembali, membiarkan meja makan menelan piring untuk dicuci di dalam sana.

Gura menoleh, menatap anaknya dengan binar girang. "Ada apa anakku? Apa permintaanmu kali ini?"

Anak berumur empat belas tahun itu tersenyum simpul, dia hampir saja kelepan melakukan sayembara jika saja tidak ingiat dengan kehadiran Ayah.

"Bisakan Ayah meminjamkan robot serupa padamu?"

"Ha?" Gura mengernyitkan dahi, heran kepada anaknya yang sebelumnya tak pernah tertarik dengan dunia robot.

Tanpa berpikir panjang Gura langsung melempar bola besi sebesar tomat masak, itu adalah hologram terbarunya, memuat semua data robot-robot yang dia buat.

"Pilih sesukamu anakku."