webnovel

Kotak Hitam

Kehancuran membuatnya terpaksa keluar, menghirup udara segar, dan memenuhi takdirnya. Membantu orang yang patah arang, mengisi ambisi yang kehilangan, memenuhi hasrat para bedebah, dan mewujudkan mimpi bagi yang terlelap. Bagi yang beruntung, dia akan datang menghampiri, membantumu berdiri, dan memberi koleksi yang tak ternilai. Hanya istimewa yang terlihat, hanya letupan ambisi dan gemuruh amarah yang terdengar, dan hanya dengki yang lalu-lalang dalam penciuman. Tunggu dia, di lorong-lorong panjang, di bayang-bayang malam, bahkan di cermin-cermin tak bersisa.

Sejuan_Lee · Fantasy
Not enough ratings
156 Chs

Ceroboh [Lupa Diri]

Seleksi Sekolah Menengah Kosong adalah ujian level sulit, ini yang membuat tidak semua orang dapat menimba ilmu disini. Tes dilakukan dua hari, di hari pertama ada ujian tulis. Itu dilaksanakan hari ini. Lima ribu lebih peserta datang memenuhi lapangan sekolah, beberapa penguji menghela napas karena sangat sulit mengatur anak-anak.

"Harap tenang!" Suara keras itu berasal dari layar hologram dengan luas dua ratus meter persegi yang muncul tiba-tiba. Asak hampir saja kehilangan keseimbang karena terkejut, bahunya menabrak seseorang dan dihadiahi dengkusan kesal.

"Nomor peserta bisa kalian lihat di lengan kanan kalian! Pergilah ke ruangan yang sudah tertulis di layar hologram tali penunjuk!"

Asak melirik lengan kanannya, meneliti dan tidak menemukan apapun. "Dimana?" tanyanya sembari menggosok-gosok lengan polosnya.

"Kamu hanya perlu menekannya, " ucap seseorang sembari menekan bulatan kecil yang ada di tali yang melingkari pergelangan tangan Asak. "Begitu saja tidak tau, kamu ini dari daerah terpencil ya?" tanya pemuda yang sedikit lebih pendek dari Asak.

"Aku asli Jerahak asal kamu tau." Jawaban Asak membuat pemuda di sampingnya terkekeh kecil, terdengar meledek dan mampu membuat Asak mendengkus. "Dasar aneh." Asak pergi meninggalkan pemuda itu dan berjalan ke ruangan yang sudah ditentukan.

"Ujian tulis akan dimulai sekarang." Pembimbing menepuk tangan dua kali, otomatis semua layar hologram di depan calon murid menyala dan menampilkan soal-soal dasar. Ujian tulis bukan masalah besar, Asak sudah terlalu sering membaca materi ini selama menghabiskan waktu di perpustakaan utama Kota Jerahak.

Loteng rumah juga menjadi tempat favorit pemuda itu, dia akan membaca buku-buku tebal koleksi lama sang Ibu sembari menonton latihan ayah dan anak dari atas sana. Iri hati, tidak. Asak selalu senang jika adiknya mendapat perhatian lebih, karena adiknya adalah segalanya.

Tanpa dirasa berat, pemuda dengan rambut pirang mencolok itu sudah sampai di soal terakhir. Keningnya sedikit mengernyit, mengapa soal terakhir berbentuk essai, harusnya semua soal ujian adalah pilihan ganda. Mata kuning itu melirik kanan-kiri, dia memperhatikan peserta lain yang tidak memberika tanda-tanda keheranan.

"Kamu berada di dalam ruangan kayu lapuk yang berisi ribuan gentong anggur. Kamu mencari sebuah kunci dengan mutiara kecil, kunci itu dapat membantumu keluar dari ruangan itu. Namun kunci itu tenggelam di salah satu gentong, apa yang kamu lakukan?" Asak membaca tulisan itu dengan kedua alis menyatu, pertanyaan macam apa ini.

"Sungguh aku memang tidak sepintar adik kecil, tapi untuk apa aku mencari kunci jika aku bisa menghancurkan ruangan itu dengan tangan kosong."

Tepukan tangan Pembimbing terdengar dua kali, layar hologram seketika mati. Satu-dua peserta mendengkus, berucap sumpah serapah karena belum sempat menyelesaikan soal. Namun satu-dua lainnya menyungging senyum kerena berhasil mengisi semu soal, salah satunya Asak.

"Kau terlihat sangat yakin, Asak. Tapi mengapa aku punya firasat kau akan gagal tahun ini? Tapi, bukankah kamu memang sebuah kegagalan." Ucapan itu ditutup dengan tawa besar, Asak hanya dapat menatap adik kecil yang sekarang berjalan di depannya.

"Entah apa salahku, sampai dia bisa begitu."

Makan malam keluarga hari ini sangat istimewa. Kue lemon daerah perisai ditaruh tepat di tengah-tengah meja makan, kue itu sangat besar, lebih besar daripada saat hari ulang tahunnya. Ibu Asak lahir di daerah perisai yang mempercayai ramalan kue, kue lemon akan memberimu keberuntungan.

"Makan kue yang banyak, Asak. Besok adalah tes kedua, " ucap perempuan dengan surai pirang sembari menaruh sepotong besar kue lemon ke piring Asak.

Terlihat di seberang kedua ibu dan anak itu, ada pemuda yang mendengkus kesal. Mata sewarna darah miliknya terlihat menyeramkan malam ini, dan jangan lupakan surai biru gelap yang biasanya rapih licin sekarang sebelas-dua belas dengan bulu domba.

"Dan satu potongan besar untuk biru kesayangan Ibu. Ibu yakin kau akan lulus, Sayang." Satu kalimat yang diucapkan Di, sosok ibu, membuat mata merah adik kecil mulai terlihat redup, dia tersenyum singkat dan memakan kue itu lahap sembari mendelik ke arah Asak.

Irru, kepala keluarga itu memotong daging panggang di atas piringnya, menusuk potongan dan dimasukkan ke dalam mulut. "Hanya Azmata yang beruntung, " ucapnya pelan seraya mengunyah potongan daging dengan hikmat.

Azmata, julukan bagi mereka yang memiliki darah keturunan daerah Singgah Merah. Azmata terlahir dengan presentase keberuntungan di atas rata-rata. Mata sewarna darah, surai biru gelap, seakan menjadi tambahan untuk memikat hati orang banyak. Mereka selalu sempurna.

Irru dilahirkan di daerah Singgah Merah dan menjadi satu-satunya setelah kejadian hebat bertahun-tahun silam. Pria itu mendambakan anak yang persis seperti dirinya, pintar, rupawan, dan sempurna. Hanya adik kecil yang bisa memenuhi hasratnya, sedangkan Asak hanya pemeran pembantu yang tidak pernah ambil andil dalam adegan.

"Jangan memulai pertengkaran, Irru. Asak juga seorang Azmata walau dengan surai pirang dan mata kuningnya, " protes Di, matanya menajam menatap Irru yang menarik salah satu sudut bibirnya naik.

Asak menahan napasnya, menepuk-nepuk bahu Ibu yang duduk di tabung dengan tutup tepat berada di sampingnya. "Makanlah, Bu. Ibu masih dalam masa pemulihan." Asak memotongkan daging panggang dan ditaruh di piring Ibu.

"Penjilat."

Netra kedua pemuda itu bertabrakan, gigi Asak bergemeletuk. Adiknya benar-benar memancing kesabarannya. "Aku tidak pernah ingin bertengkar, bisakah pembicaraan ini berhenti?" pintanya sembari menatap lekat adik kecil.

"Aku juga tidak ingin bertengkar, aku hanya ingin kau lenyap dan melebur di hadapanku."