webnovel

Kita dan Waktu

Dimas, seorang cowok sederhana dengan kedai kopi miliknya yang dibuat jatuh hati oleh seorang gadis. Ada banyak kejutan yang Dimas temui. Bukan soal kopi, pelanggan dan pembeli tapi soal hati. Sebuah hubungan percintaan tak melulu soal kemesraan, sayang-sayangan tapi juga resiko patah hati. Entah disakiti atau menyakiti, namun Dimas tidak berada pada keduanya. Ia adalah seorang yang terlalu dalam namun diam. Membisu dalam teriakkan dan mamaksa berdamai dengan kenyataan. Gadis itu ialah Riri, sosok yang penyendiri dengan seribu cerita di kepala. Riri enggan berbagi perihal dendam yang dipendam. Dimas dan Riri, dua orang asing dengan tragedi usang masing-masing. Dirangkul oleh ego, luka batin, kesabaran dan menyembuhkan.

_cidayuu98_ · Realistic
Not enough ratings
5 Chs

Mentari

Filternya habis dan gadis itupun meneguk secangkir cappucinno seluruhnya. Aku menperhatikan gadis itu menyeka bibirnya. Segera ia beranjak dan melempar senyum kepadaku. Aku pun membalas.

Manis.

Setelah sepi dan gadis itu pergi. Tinggal aku dan Wisnu. Di meja yang di duduki gadis itu sebuah buku tertinggal. Buku harian dengan sampul warna hitam dan pas foto dengan gambar bunga matahari.

Aku dan Wisnu tidak berani membuka isinya. Besok pasti gadis itu kembali dan mencari bukunya. Biarlah, aku tidak begitu ingin mencari tahu.

Di persimpangan jalan pulang yang mulai lengang. Sekilas aku melihat sepeti gadis itu dengan cowok, mungkin pacarnya di trotoar.

Benar saja, aku mengenali kaos hitam dan celana hotpants yang ia pakai tadi.

Aku memelankan laju motorku. Terdengar teriakkan dan gadis itu menyetop motorku. Aku terkejut dan berhenti, gadis itu tepat di depanku.

"Tolongin aku! Tolong!" sekilas aku mendengar ia meminta sambil terisak.

Aku sontak refleks dan menyuruhnya naik. Cowok tadi mengejar kami dengan berlari. Aku langsung melajukan motorku tanpa peduli.

Di atas motor, gadis itu memelukku dan menyandarkan kepalanya dibahuku. Terasa air matanya mengalir. Aku pun bingung.

Aku memilih jalan pintasan karena pasti cowok tadi mengejar kami dengan kendaraannya.

"Ada apa?" kataku

"gak kenapa-kenapa. Makasih udah nolongin" gadis itu melepaskan pelukkannya

"Kamu mau kemana?" pertanyaan yang sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa terucap, padahal dalam hatiku aku ingin diam saja.

"Aku ikut kamu, please!"

"Hah? Ikut aku pulang?" aku mengerem motorku dan berhenti mendadak

"kamu mau ikut aku pulang? Ke rumah ku? Rumahmu di mana? Aku anterin kok" sambil turun dari motor dan berdiri disampingnya yang masih duduk di atas motor.

"Aku gak mau pulang. Aku takut" ia menangis dan menutup mukanya

"Aduhh, kamu tenang dulu" aku memegang bahunya

"Aku ikut kamu pulang. Sehari aja, please! Aku takut" ia menatap ku dengan tatapan memohon

Gila, mana mungkin aku membawa gadis ini pulang. Di rumahku memang cuma aku sendiri. Tapi aku merasa tidak enak dengan tetangga. Lagi pula aku bukan cowok yang senang membawa perempuan ke rumah.

"Ke rumah temen kamu?" kataku sekali lagi

"Gak mau. Reza pasti nyariin aku" ia menunduk dan air matanya jatuh di tanganku

Sedikit menghela nafaa dan rasa kasihan. Aku mengajaknya pulang saja. Toh, aku juga tidak bermaksud apa-apa. Hanya menolong. Di rumah ku ada dua kamar. Tenang, aku tidak akan tidur dengannya.

"Ya udah. Kita pulang" kataku.

Sampai di rumah. Aku membuka gerbang dan memarkirkan motorku di teras. Rumahku kecil, tidak ada garasi. Ruang tamu lah yang ku jadikan garasi.

Aku mempersilahkannya masuk sembari membuka pintu. Ku hidupkan lampu ruangan. Ia ku suruh duduk di sofa ruang tengah.

"Kamu tidur di itu, kamar tamu" sambil menunjuk arah kamar berukuran 3mx3m di dekat kamar utama.

"Iya" sepatah kata yang diucapkannya

"Aku mau mandi dulu. Kamu masuk kamar aja gih"

"Kamu ada baju ganti?" katanya sambil menatapku yang hendak masuk kamar

"Baju kaos cowok gak apa-apa ya?"

"Gak apa-apa kok"

"Cuci muka aja dulu, ntar aku ambilin. Kamar mandi ada di lorong dekat dapur. Lurus aja"

Ia pun ke kamar mandi. Aku sebenarnya agak kikuk dengan adanya seorang gadis di rumahku. Ini adalah pertama kali aku membawa orang asing. Biasanya tamu di rumah ku hanya keluargaku atau teman dekat. Wisnu juga, itupun kalau-kalau akhir bulan untuk urusan kedai.

Aku duduk di sofa dan menyalakan rokokku. Perutku terasa lapar. Sambil menunggu gadis itu aku mengecek HP. Teringat menghubungi Wisnu. Aku kirimkan pesan untuk menginap di rumahku.

🧒 "Wis, nginap di rumah ya"

🧑"Eh tumben?"

🧒 "Datang aja dulu. Buruan"

🧑 "Belom mandi woi, ni baru abis beresin kedai"

🧒 "30 menit"

🧑 "Bangke Mas!"

🧒 "Cepat Anjing"

🧑 "Oke, otw. Nyebat dullss"

🧒 "Nyebat sini aja udee. Nitip nasbung 2 yaak"

🧑 "Fuck, okelah"

Gadis itu pun keluar dari kamar mandi.

"Ganti baju dulu gih" memberinya handuk dan kaos

"Iya, di kamar itu kan?"

"Iya, masuk aja"

"Aku mandi dulu. Nanti kalo mau tidur, tidur aja. Kalo belum tunggu di sini"

"Oke deh"

Aku ke kamar mandi sekalian boker. Saat boker aku baru teringat, aku belum mengetahui nama gadis itu. Ya nanti pasti tahu juga sih pikirku.

Setelah selesai mandi aku mendengar bunyi Vespa Wisnu. Syukurlah, gorila itu udah datang.

Wisnu adalah teman ku dari SD. Badannya tinggi, gendut dan brewok di wajahnya. Gorila adalah julukannya sedari SMP, dengan bentukan seperti itu ia sering ditakuti adik tingkat sewaktu kuliah. Wisnu adalah sarjana pertanian tapi memilih bekerja dengan ku dari pertama kali kedai buka.

Seperti biasa, Wisnu memang tidak pernah mengetuk pintu. Ia langsung masuk karena sudah pasti aku belum mengunci pintu depan.

"Woi bray" sapa Wisnu dengan melirik ke arah gadis itu. Mereka duduk berdua di sofa

"Eh, mana nasbung?" sahutku

"Tu. Pantesan pesan dua" Wisnu mengejekku

"Eh, kamu makan dulu" aku menyuruh gadis itu

"Kamu?" balasnya

"Aku pake baju dulu" aku berlalu dan masuk kamar

Ku dengar Wisnu ngobrol dengan gadis itu. Aku tidak begitu hirau. Tapi Wisnu pasti mengiraku modus.

Saat keluar kamar, ku lihat gadis itu makan dengan lahap. Dia pasti kelaparan, wajar saja dari sore duduk di kedai kopi sampai larut malam.

"Wis. Rokok ada?"

"Ada dong"

Aku mengambil bungkusan nasi itu dan makan. Mendengarkan Wisnu berceloteh mengenai pacarnya. Nia, anak SMA yang entah dari mana mereka bisa jadian.

"Udah?" kataku kepada gadis itu

"Udah ni" balasnya

"Minum ada di kulkas"

"Iya"

Aku juga selesai makan. Cacing di perutku sudah tenang.

"Dimas" gadis itu memanggil namaku

"Eh, iya. Kok tahu nama ku?"

"Dari Wisnu, dia yang bilang"

Wisnu nyengir

"hahaha dasar. Lalu nama kamu siapa? Tanyaku balik

"Mentari. Panggil aja Riri. Maaf ya ngerepotin kamu"

"Santai aja Ri. Eh tadi kenapa? Tanyaku penasaran sambil menyalakan rokok dan menawarkan Riri

"Tadi itu Reza. Dia pacarku. Biasalah, masalah hubungan" katanya sambil menempelkan rokok di bibirnya

"Kaget loh aku. Kirain kamu di begal" candaku

"Biasa Mas, anak muda. Makanya jangan jomblo" timpal Wisnu

"Bangsat. Aku lajang bukan jomblo" sambil memukul lengan Wisnu

Sepanjang malam kami bertiga ngobrol. Sampai tertidur di ruang tengah itu. Ku lihat Riri terlelap di sofa. Aku tidak tega membangunkannya. Ku ambilkan selimut menutupi badannya. Raut mukanya damai saat tidur. Wisnu sudah ngorok dengan gaya tidur cantik, tangan kanan sebagai bantal. Aku sulit tertidur, ada setumpuk tanya di kepalaku.

Bagaimana dengan Riri besok? Aku harus antar Riri pulang? Riri rampok? Riri hanya sedikit bercerita mengenai masalahnya dengan Reza. Pertengkaran dalam berpacaran itu wajar tapi apa harus sampai ribut seperti itu?