webnovel

bab 2

Sepagi ini aku sudah melangkahkan kaki di pematang sawah yang masih basah dengan embun paginya. Rumah Mbak Anggi menjadi tujuanku kali ini. Keputusan besar sudah kuambil pasca melihat pemabuk itu lagi-lagi gagal di meja judi dan mulai mengancam akan menjadikanku taruhan jika tidak menyediakan sejumlah uang yang ia minta.

Masih teringat jelas di benakku dahulu di sawah inilah almarhum bapak bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Jika jam makan siang telah tiba, aku yang baru pulang dari sekolah akan mengantarkan makanan ke sawah. Sungguh kenangan bersama bapak sangatlah manis. Bersamanya kami merasa tercukupi walaupun tidak kaya. Malangnya umur beliau tidak terlalu panjang. Sakit di dada yang beliau pendam menjadi asbab kepergiannya. Dari dulu memang orang baik akan lebih cepat menghadap Yang Maha Kuasa.

Mataku mengerjap cepat ketika sampai di depan rumah Mbak Anggi. Kondisi rumahnya sudah jauh berubah lebih baik. Sudah lama aku tidak kemari. Bangunannya hampir semua permanen bahkan bagian depannya sudah mulai di cat. Deretan tanaman hias juga sudah mulai memenuhi taman buatan. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, Mbak Anggi bagiku sudah sukses membahagiakan keluarga.

Mbak Anggi ke luar rumah dengan menggunakan baju yang menampilkan keindahan sebagian tubuhnya. Betisnya bahkan sampai di atas lutut sangatlah putih bersih. Bahkan sebagian dadanya terlihat karena bajunya tidak menutupi dengan sempurna di bagian atas. Dua tahun merantau ke kota Mbak Anggi sudah berubah menjadi cantik jelita. Jujur saja aku ingin memiliki tubuh seindah itu.

"Ngapain ke sini pagi-pagi, Han?" tanyanya sambil menyiram tanaman hiasnya.

"Anu ... Mbak, tawaran Mbak yang kemaren, Hanum mau, ikut kerja ke kota, biar bisa banyak duit bangun rumah seperti Mbak."

"Kamu yakin, Han? Kota tempat kita kerja jauh loohh dari desa terpencil ini. Lebih deket ke negeri seberang malah. Pikir dulu deh, kasihan ibu sama adikmu yang masih kecil."

"Kan, Mbak sendiri yang bilang, kesempatan gak datang dua kali. Hanum mau deh, Mbak. Ini demi Ibu juga.

"Terus bapak tirimu, gimana?" Mbak Anggi menhentikan kegiatan menyiram tanaman.

"Masih mabuk dan main judi. Makanya Hanum mau ikut Mbak ke kota aja."

"Iya bagus itu, daripada ntar kamu jadi barang taruhan sama dia."

"Kok, Mbak tahu?"

"Tadi malam dia datang ke warung tempat Mbak biasa nongkrong. Biasa, minjem duit. Ya nggak Mbak kasih, dia nggak punya jaminan. Eh, habis itu dia malah coba jaminin kamu sama Mbak. Boleh dijual kalau gak bisa bayar hutang."

"Jangan dikasih, Mbak."

"Nggak. Mbak kasihan sama kamu, kok." Mbak Anggi kemudian menghisap sebatang rokok yang asapnya diarahkan ke wajahku.

"Han, kalau kamu memang serius mau kerja. Kamu perlu siapkan uang biar Mbak suruh orang siapkan semua surat-surat untukmu. Bisa?"

"Bisa, Mbak. Apa aja yang Hanum siapkan?"

"Nggak banyak, uang tunai satu juta rupiah aja. Kalau bisa sore ini, dua hari lagi Mbak balik ke kota. Kita bisa sama-sama berangkat."

"Satu juta! Besar juga biayanya."

"Iya, biar kita bisa berangkat cepet. Pasti kamu ada kan uangnya. Kan kerja sama Wak Karim. Sekalian pamit sama mereka, bilang mau merantau ke kota."

"Oh. Iya, Mbak. Kalau gitu Hanum permisi dulu sekalian mau siapin barang-barang buat berangkat. Tunggu ya, Mbak. Jangan tinggalin Hanum."

Dengan langkah gontai aku meninggalkan rumah baru Mbak Anggi. Memikirkan uang satu juta. Lalu meninggalkan ibu dan adik di kampung dan memikirkan kelakukan lelaki pemabuk yang berniat menjualku sebagai barang taruhan.

Aku menguatkan diri sendiri, meyakini pasti mampu melewati semua keabu-abuan hidup. Hingga suatu hari akan terbit pelangi setelah hujan. Sambil berjalan pulang, tak lupa aku mengambil beberapa genjer untuk di masak di rumah. Pemilik sawah ini tidak pernah mempermasalahkannya.

*******

Wak Karim dengan berat hati memberikan simpanan uangku dan dilebihkan beberapa lembar. Jumlah ini lebih dari cukup untuk biaya yang diminta Mbak Anggi. Sisanya buat pegangan sendiri selama di kota dan sedikit untuk Ibu.

Wak Karim menasehati agar lebih baik aku di hidup tenteram di kampung saja layaknya gadis-gadis desa di sini. Tidak perlu tergiur dengan kemewahan yang dipamerkan orang lain. Hidup terima apa adanya, menikah dan punya anak.

Memang banyak teman-temanku yang menikah selepas tamat sekolah. Atau paling tidak bekerja membantu orang tua seperti aku ini. Tapi sungguh, aku hanya tidak ingin berada dalam cengkeraman bapak tiriku. Andai hanya aku dan ibu saja, tentulah aku tidak perlu beranjak kemana-mana.

Usai menceramahiku beberapa menit sembari mengikhlaskan kepergianku. Aku pamit dari hadapan Wak Karim. Namun, sebelum pergi aku harus menuntaskan memasak untuk mereka sekeluarga. Kulihat juga lelaki berusia senja itu menaiki motornya dan mungkin saja menuju salah satu kebun karetnya.

Kulanjutkan pekerjaan membersihkan sisik ikan. Saat itulah aku merasa ada yang mengawasi dari belakang. Belum sempat aku menoleh, dua buah tangan telah memelukku dari belakang.

"Dik Hanum, sebelum pergi kita seneng-seneng dulu, yuk." Suara dengan deru napas panas menggema di telingaku.

Ulah pekerja Wak Karim yang menginap di sini. Tanpa melihat wajahnya pun aku bisa membayangkan betapa jijiknya perlakuannya. Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan ikatan tangan legam itu, sembari bibir lelaki itu mulai menyusuri leher dan telingaku.

Aku mencoba berteriak. Namun, tangannya membekap mulutku hingga rasa sesak dan keringat di wajah mulai menetes.

"Jangan melawan! Mending pasrah aja biar sama-sama enak. Abang janji akan pelan-pelan biar Hanum gak kesakitan, malah bikin ketagihan nanti."

Air mataku mulai menetes. Bayangan masa depan yang hancur di tangan lelaki brengsek ini mulai membayang. Satu tangannya bahkan mulai menelusup ke dalam pakaianku, mulai menelusuri setiap inchi tubuh ini. Hawa panas mulai naik ke ubun-ubun. Kalut. Saat ia mulai menyeret tubuhku menjauh dari dapur aku sempat meraih pisau dapur.

Rasa takut masih memenuhi otakku. Kalau lelaki ini mati kutikam pisau, bagaimana nasibku nanti? Sekarang bahkan ia sudah menyeretku ke dalam gudang belakang. Sementara aku masih takut untuk bertindak lebih.

Namun, ketika ia membuka pintu gudang kesempatan itu aku gunakan untuk lari. Sialnya, ia berhasil menangkap tanganku lagi.

"Jangan takut gitu, Han. Cewek cantik, polos dan mulus kayak kamu nggak akan abang sakitin. Coba dulu, yuk."

Tak ingin kegadisanku koyak oleh tubuh legamnya kuberanikan diri menggores telapak tanggannya dengan pisau dapur di tangan. Berhasil, ia mengaduh karna tangannya mengeluarkan darah segar. Kesempatan itu aku gunakan untuk lari.

Sebuah cengkeraman tangan menarik rambutku hingga langkahku tertarik mundur ke belakang.

"Bangsat! Lu diajak main enak-enak malah ngelawan, ya. Abang kasih kamu pelajaran sampai kamu nangis. Darah di balas darah keperawananmu juga."

Pisau yang belum lepas dari genggaman tangan aku gunakan lagi untuk menggores bagian pinggangnya. Seketika jambakannya terlepas. Ia jatuh terduduk sambil meringis. Aku tidak tahu seberapa dalam lukanya.

Aku terus berlari hingga ke pagar depan dengan pisau masih di tangan. Meraih sepeda, mengayuh sekuat tenaga, tak kulihat lelaki itu mengejar. Kalau dia mati kehabisan darah bisa saja Wak Karim menyalahkanku. Sepeda terus kulajukan menuju pematang sawah. Tempat Mbak Anggi menjajikan masa depan yang cerah untukku.

Bersambung.....