webnovel

Bab 1

"Brengsek. Pelit amat jadi bini." Kembali suara bentakan bapak tiriku terdengar disertai dengan bantingan pintu kamar dan ruang tamu. Lalu lelaki yang hobi mabuk dan main judi itu meninggalkan kami begitu saja tanpa uang sepeserpun untuk makan hari ini. Selalu hal ini terhadi berulang-ulang. Andai tubuhku tinggi besar, pastilah sudah kuusir ia dari rumah. Daripada aku harus menatap matanya yang seolah-olah ingin menerkamku.

"Lelaki itu." Aku tak mau memanggilnya dengan hormat, "apa masih minta-minta uang sama Ibu?"

"Ya, emang kamu pikir kenapa dia membesarkan suaranya?" jawab Ibu sambil menyusi adikku yang masih berusia lima bulan. Anak dengan lelaki pemabuk itu.

"Seharusnya dia yang kasih kita uang, Bu. Lagian Hanum heran, kok Ibu mau, sih, nikah sama dia yang nggak jelas asal-usulnya?" Lagi, Ibu hanya diam saja ketika aku memprotes hal yang sama berkali-kali.

"Ibu mencintainya, Han. Coba lihat wajah adikmu begitu mirip dengannya." Aku hanya memutar bola mata. Malas berdebat lagi. Terlalu sering kami meributkan ini.

"Hanum sudah tamat SMA. Hanum bosan, Bu, kerja jadi pembantu di rumah orang. Hanum ingin merantau, seperti Mbak Anggi yang sekarang cantik, wangi, dan banyak duit." Aku mengelus pipi mulus adik kecilku yang masih terlelap.

"Mau merantau kemana? Mau kerja apa kamu? Memang kamu bisa? Dari lahir sampai sekarang sekalipun kamu nggak pernah keluar dari kampung, Han." Protes Ibuku

"Mbak Anggi menawarkan Hanum kerja di negeri seberang, Bu. Gajinya besar, kalau Hanum banyak duit kita bisa bebas dari kemiskinan ini, emang Ibu nggak capek apa hidup gini-gini aja?"

"Ibu sudah sangat bahagia, Han. Dengan kalian ada di sini sama Ibu." Ibuku ini pasrah sekali dengan jalan hidupnya.

Aku tidak meneruskan perdebatan dengan Ibu. Menuju ke dapur aku melihat persediaan beras. Masih bisa untuk dua hari. Semoga saja hari ini aku menerima gaji mingguan. Kasihan Ibu kalau sampai menahan lapar apalagi sedang menyusui. Sedang bapak tiriku. Ah, tidak usah ditanya, dia hanya memberi Ibu uang jika menang judi, sabung ayam atau seperti itu. Jika tidak dia akan uring-uringan setiap hari mencari pinjaman untuk hobi haramnya.

Sementara uang gajiku tidak pernah kuberikan sedikitpun padanya, selalu aku titipkan pada majikanku setengahnya, dan setengahnya lagi aku gunakan untuk kebutuhan hidup. Irit, itulah jalan hidup yang kami jalani. Lain halnya ketika dia menang judi, aku sama sekali tak mau menyentuh makanan yang ia belikan, haram rasanya makanan itu masuk ke aliran darahku. Bisa-bisa hidupku sial bertemu lagi dengan lelaki sejenis dirinya. Aku lebih memilih memakan nasi putih dan garam.

Usai memasak nasi dengan sayur kangkung yang kupetik di parit belakang rumah, aku bergegas menuju ke rumah majikanku. Pekerjaan sebagai pembantu tapi tidak menginap, setiap hari menempuh perjalanan sepanjang 5 km dengan mengayuh sepeda butut pemberian bapak kandung yang sudah lama menutup mata karena ganasnya penyakit dan ketiadaan dana.

Sampai di rumah Wak Karim, begitu orang-orang di desa ini memanggilnya. Aku langsung menuju dapur, memasak untuk keperluan sekitar delapan orang yang tinggal di rumahnya. Tiga orang pekerja kebun yang tinggal di belakang rumahnya, sementara lima orang lagi merupakan keluarga inti. Tubuhku yang kecil ini sudah terbiasa dengan pekerjaan berat sedari kecil.

Tatapan liar pekerja yang tinggal di rumah Wak Karim kerap aku abaikan. Walaupun rasa takut kerap menyambangi hati. Namun, aku tidak punya pilihan lain, tetap saja aku teruskan mencari nafkah di sini. Selama mereka tidak berbuat lebih, terserah saja. Selesai memasak aku melanjutkan mencuci baju dengan tangan, membersihkan kamar, ruangan dan beragam pekerjaan rumah lainnya.

Gaji mingguanku turu. 350ribu setiap minggu, seperti biasa aku hanya mengambilnya hanya 200ribu dan sisanya aku tinggalkan pada majikanku, sewaktu-waktu jika perlu akan aku minta.

Pulang dari mengambil gaji aku menuju warung kelontong terdekat, membeli beragam kebutuhan pokok untuk di rumah. Aku berpapasan dengan Mbak Anggi di sana.

"Gimana, Han. Jadi kamu mau ikut merantau ke negeri seberang sama Mbak? Daripada di sini terus jadi pembantu, mana enak?" Dari jarak dua meter aku bisa mencium bau parfum perempuan yang makin cantik ini.

"Aku pikir-pikir dulu ya, Mbak. Nggak tega juga ninggalin Ibu sendirian sama adik berdua."

"Jangan lama-lama mikirnya. Kesempatan nggak datang dua kali loh. Sekalian jalan-jalan ke tempat lain." Ia mengembuskan asap rokoknya asal, mengabaikan tatapan sinis warga kampung yang melewatinya.

***

Sampai di rumah aku segera meletakkan belanjaan di dapur. Ruangan ini sudah sangat usang, bocor atapnya dimana-mana. Aku pikir lelaki pemabuk itu mau memperbaikinya, nyatanya, tidak.

Melangkah ke kamar aku terkejut ketika mendapati lelaki itu mengobrak abrik lemari baju yang susah reot dimakan rayap.

"Ngapain, cari apa?" tanyaku dengan gaya menantang.

"Uang, aku perlu uang untuk taruhan malam ini," jawabnya dengan mata memerah.

"Aku nggak punya uang. Kalau mau uang sana kerja bukannya judi." Aku mendorong tubuhnya menjauh dari lemariku.

Namun, sialnya ia malah membalikkan tubuhku dan menekannya ke dinding, menekan wajahku hingga air mata keluar. Dalam keadaan itu ia malah meraba tubuhku dengan satu tangannya dan mencium rambutku dengan mulutnya yang berbau busuk.

"Jangan pelit! Atau aku kerjain kamu di sini, gantiin ibumu yang rasanya sudah nggak enak lagi."

"Aku nggak punya uang. Bener."

"Bohong. Kamu kan kerja!"

Aku terus mencoba untuk lepas dari cengkeraman tangannya sementara tangannya sudah mulai tidak terkendali menarik baju kaus usangku. Air mata terus menetes tanpa henti. Ingin memohon tapi rasanya lidah ini kelu. Hingga satu panggilan dari Ibu melepaskan cengkeraman iblis itu.

Bergegas lelaki itu keluar dari kamar, menabrak tubuh ibu yang hingga terjatuh dan pergi begitu saja. Sedang Ibu hanya bisa menangis, memohon maaf padaku atas perlakuan kasar suami barunya itu. Aku hanya menarik napas panjang melihat kepolosan Ibu yang lebih polos dari diriku.

Hingga malam mataku tak kunjung terpejam, memikirkan nasibku ke depan. Berada terus di sini bukan tak mungkin aku akan menjadi mangsa si brengsek itu. Mengikuti saran Mbak Anggi, aku sama sekali belum pernah keluar dari tempat ini. Sekalipun. Maklum aku hanya perempuan desa dengan kemampuan hanya baca dan tulis.

Kembali terngiang pesan Bapakku sebelum menghembuskan napas terakhir. Jaga ibumu baik-baik.

Keputusan yang membuatku rela untuk bekerja apa saja untuk menyambung hidup. Nyatanya, Ibu malah jatuh ke pelukan lelaki lain yang tidak baik.

Keputusan harus aku buat, antara tetap di sini atau mencari kehidupan yang lebih baik lagi di luar sana. Setidaknya aku mencoba walaupun mungkin gagal.

"Bapak. Doakan Hanum dari surga, ya."

Tbc.....

*