webnovel

bab 3

*****

"Mbak, Mbak. Buka pintunya. Tolong." Aku menggedor pintu rumah Mbak Anggi dengan terburu-buru.

"Iya. Kenapa Han?" tanyanya ketika pintu sudah dibuka.

Segera aku sodorkan sejumlah uang yang diminta olehnya. Agar Mbak Anggi percaya dengan kesungguhanku. Tidak lama ia menyuruhku masuk agar berbincang lebih serius di dalam.

"Kalau bisa kita berangkat besok, Han. Karna kamu juga sudah setor uang sama Mbak."

"Boleh, Mbak. Hanum juga takut lama-lama di sini."

"Takut apaan?"

"Takut anak buah Wak Karim ngejar, soalnya tadi ada yang mau memperkosa, terus Hanum lukai pakai pisau, Mbak."

Mendengar penjelasanku Mbak Anggi justru tertawa lepas. "Berani juga kamu, ya. Di kota nanti manusia lebih ganas seperti mereka banyaak. Kamu yakin tetap mau ke kota?"

"Nggak ada pilihan lain, Mbak. Di sini juga mau kerja apa, kan udah berenti dari Wak Karim."

Wanita yang kunilai cantik dan sempurna itu bergegas mengambil handphone. Menghubungi seseorang yang katanya akan mengurusi berkas keberangkatanku. Mereka sepertinya berbicara dalam bahasa asing. Beruntung sekali kerja di kota, sudah cantik, banyak uang dan bertambah pintar pula. Ah, aku semakin yakin membulatkan tekad demi hidup yang lebih baik.

"Besok pagi kita berangkat. Sekarang kamu pulang, siapin semua yang perlu di bawa. Ingat ya, nggak ada jalan untuk mundur lagi. Tapi Mbak yakin, kamu pasti lebih beruntung dari Mbak. Tinggi badan pas, nggak kurang nggak lebih. Bentuk badan bagus, warna kulit juga nggak pucat, bibir mungil, hidung pas, dan yang penting kamu masih polos belum pernah dijamah." Liriknya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Iya, semoga bisa kayak Mbak."

"Pasti bisa asal kamu nggak banyak tingkah, nurut aja apa yang di suruh."

Aku mengangguk menyetujui permintaan Mbak Anggi. Bergegas aku meninggalkan rumahnya. Tidak kupikirkan lagi peristiwa tadi. Biar saja menjadi pelajaran untuk bajngan itu. Toh besok aku sudah harus berangkat. Satu-satunya yang menjadi beban pikiranku yaitu bagaimana menjelaskan semua ini pada Ibu.

***

Benar dugaanku. Ibu enggan melepasku pergi ke kota walaupun sudah kujelaskan panjang lebar. Ia takut tidak ada yang akan membiayai hidupnya jika aku tak di sini. Suaminya tidak bisa diharapkan, sementara adik tiriku masih sangat kecil untuk ditinggal bekerja.

"Hanum cuma mau kita hidup lebih baik nanti, Bu. Di sini terus nggak ada harapan. Uang habis cuma untuk dia main judi." Sengaja kutekankan saat menyebut dia agar Ibu sadar jika kehadirannya tidak membawa manfaat sama sekali.

"Ya sudah, jaga diri baik-baik di sana ya. Kasih kabar sering-sering. Ingat pesan Bapak, harus jaga diri." Ibu menghela napas panjang menyetujui keputusanku.

Beberapa baju yang menurutku pantas kumasukkan ke dalam tas yang tidak terlalu besar. Tidak banyak juga, hanya beberapa. Pun dengan perangkat kecantikan, hanya bedak biasa dan parfum murah yang jarang kupakai yang ada. Ya, di sini tidak ada alasan untukku untuk berpenampilan cantik. Lagipula aku takut menjadi mangsa si pemabuk itu. Sepertinya ia tidak pulang malam ini, bagus juga, jadi aku bisa memberi uang pada Ibu tanpa rasa was-was.

Malam ini entah mengapa rasanya terlalu lama berlalu. Semua pikiran seakan-akan berdesakan untuk ditelanjangi. Bahkan yang paling menggelikan, apa aku akan mendapat jodoh di kota nanti? Seperti apa dia? Baik atau buruk? Aku tersenyum sendiri memikirkan laki-laki yang sama sekali tidak ada gambaran seperti apa kelak. Perlahan, mata ini terasa berat diiringi dengan bisik-bisik jangkrik di luar sana.

Tepat jam delapan pagi, Mbak Anggi menjemputku di rumah. Ia memesan becak kampung untuk mengantar kami ke terminal. Sebelum pergi aku menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah pada Ibu. Semoga saja cukup menjelang aku mendapatkan pekerjaan di sana.

Sesampainya di terminal Mbak Anggi mengajakku makan terlebih dahulu. Aku setuju karena perut belum terisi makanan dari tadi. Aku bangun kesiangan. Mbak Anggi membebaskanku memesan makanan apa saja yang aku suka. Begini rasanya jadi orang banyak uang. Bisa membeli apa saja yang diinginkan.

Selesai makan kami menaiki bis ke arah pusat kota. Lama perjalanan kami, sore hari diperkirakan kami sampai di terminal kota. Sepanjang perjalanan aku menanyai Mbak Anggi, pekerjaan apa yang akan dia berikan padaku. Dia hanya menjawab, akan disalurkan menurut kemampuan. Tapi Mbak Anggi meyakini aku akan mendapatkan yang terbaik karena secara keseluruhan tubuhku sudah sangat bagus. Hanya perlu sedikit polesan supaya terlihat lebih cantik.

Sesekali kulihat Mbak Anggi memainkan handphonenya untuk menghilangkan rasa jenuh di perjalanan. Benda itu, aku juga ingin memilikinya. Beberapa temanku di desa juga punya. Aku tidak, karena semenjak Bapak meninggal kami kesusahan.

Bus berhenti di terminal. Kami berdua turun. Mbak Anggi terlihat melambaikan tangan kepada seseorang. Hingga orang itu datang mendekat ke tempat kami berdiam. Kami pun mengikuti langkah lelaki berkacamata hitam itu. Memasuki sebuah mobil yang udaranya sejuk di dalam.

"Cantik banget. Berlian ini, bukan emas biasa," ujar lelaki tadi sambil menyetir mobil.

"Ia dong, aku kan udah bilang, barang mahal. Jangan lupa jatahku ya, Om." Mbak Anggi mengerlingkan sebelah  mata pada lelaki itu.

Aku hanya diam melihat tingkah genit Mbak Anggi. Lelaki yang dipanggil Om itu memberiku sebotol minuman. Aku yang memang kehausan langsung meneguknya. Setelah itu perlahan-lahan aku merasa kepala sangat berat dan matapun sangat mengantuk. Menjelang ketidaksadaranku aku masih mendengar ucapan Mbak Anggi.

"Mbak antar sampai di sini aja, ya. Nurut sama Om ini kalau kamu mau dapat duit banyak seperti Mbak." Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi.

****

Aku membuka mata perlahan. Rasa sakit masih mendominasi kepalaku. Setelah berhasil mengumpulkan kesadaran beberapa saat aku cukup terkejut. Aku tidak sendiri di dalam ruangan ini. Mungkin ada sekitar belasan wanita bersamaku. Ingin bertanya tapi aku tidak mengenali mereka satu pun.

Lalu di mana Mbak Anggi? Bukankah dia yang membawaku sampai sejauh ini. Tempat macam apa ini? Mengapa perasaanku jadi tidak enak?

Tidak lama, tempat yang sangat pengap ini terbuka pintunya. Lelaki yang dipanggil Om tadi datang bersama seorang lelaki lain dan juga wanita paruh baya dengan lipstik menyala serta baju dengan belahan dada rendah.

Mereka menyuruh kami berdiri. Tidak ada dari kami yang bergerak menuruti perintahnya. Tidak lama kemudian Om tadi menarik tangan salah seorang di antara kami, memaksanya berdiri dan menamparnya dengan sangat keras.

"Jangan macam-macam. Hidup mati kalian ada di tangan kami," ujarnya.

Aku yang merasa sangat ketakutan segera berdiri diikuti dengan yang lainnya.

"Ck. Jangan terlalu kasar, Om. Nanti aset cacat, harga jual kita bisa turun," sahut wanita berlipstik merah itu.

"Habisnya ngelawan, sih. Coba aja kalau nurut pasti di sayang-sayang." Tangan Om itu mulai menelurusi pipi dan leher gadis yang ia tampar tadi. Dari sorot matanya terlihat sekali ia sangat bernafsu.

"Catat nama dan usia mereka. Buka pakaian mereka semua. Cek, ada cacat nggak? Jangan sampai kita jual barang second." Kata wanita sexi itu.

Seketika kami yang di dalam ruangan itu bertingkah ketakutan bahkan menangis. Tapi kami tidak bisa melawan. Kami diseret paksa bahkan rambut kami ditarik untuk menuruti perintah mereka yang tidak kami kenali.

"Kamu, cantik. Mami yakin pasti pada berebut yang beli kamu. Kerja yang bener, ya. Biar dapat duit yang banyak." Wanita itu mencengkeram kedua pipiku dan melemparkan handuk kemudian mendorongku ke kamar mandi.

Bersambung.....