webnovel

Menemani Sang Tuan Puteri

"Apa yang kamu rasakan?"

Freya mengangkat tangannya, "hanya sedikit luka di telapak tanganku saja."

"Jangan khawatir tuan. Puteri Freya sudah saya obati dengan beberapa ramuan agar tidak infeksi," ucap seorang tabib seraya berjalan masuk ke kamar itu.

"Apa pisau para perampok itu mengandung semacam racun?" tanya Zuko.

Sang tabib menganggukkan kepala seraya berkata, "benar sekali, tuan. Jika ada orang yang terkenal pisaunya, maka ia akan terinfeksi sampai nyawanya tak tertolong."

"Astaga, tuan. Apa anda juga terluka?" seru sang tabib yang kaget dengan luka di tangan Zuko.

Padahal Zuko sama sekali tidak merasakan apapun, dirinya sudah kebal oleh segala macam racun yang mengenainya. "Tidak apa-apa, paman. Ini hanya luka kecil."

"Tapi itu sangat berbahaya tuan, jika lama dibiarkan akan tidak baik untuk kesehatan anda," ucap sang tabib seraya berjalan meninggalkan tempat itu untuk mengambil obat ramuan.

"Tidak usah, paman. Aku tidak apa-apa," teriaknya yang memandang sang tabib akan mengambil ramuan obat penawar racun.

Zuko memandang Freya yang tengah terbaring lemah. "Apa lukamu itu masih sakit?"

"iya," jawab Freya.

"Aku memang tidak bisa menjagamu, aku sungguh bodoh sekali," gerutunya.

"Itu bukan salahmu. Tapi ini adalah salahku sendiri yang tidak mau mendengatkan ucapanmu. Saat itu aku sangat khawatir dengan ayahku," ucap Freya dengan lirih.

Zuko menatap wajah gadis didepannya, "bukankah aku sudah mengatakan kalau sang kaisar akan pulang bersama Patih Kerta nanti.

"Maafkan aku yang selalu merepotkan kamu," ucap Freya dengan wajah seperti bersalah.

"Jangan dipikir lagi. Sekarang jawab saja kenapa kamu tadi sampai dikejar kawanan perampok?"

"Saat itu entah dari mana, tiba-tiba ada sekelompok orang berkuda yang mengikuti dan saat aku melaju, dia semakin mengikutiku," jawab Freya.

Zuko memandang Freya dengan hangat, wajahnya cantik sekali saat tertidur di tempat tidur, matanya bening walaupun wajahnya pusat.

"Lain kali kalau kamu mau keluar dari sini, bilang denganku agar aku bisa menjagamu."

"Tapi aku canggun untuk bilang denganmu Zuko, sedangkan kita baru saling kenal beberapa hari."

"Anggap saja aku kakakmu," Zuko tersenyum dan mengekspresikan ramah. Disekelilingnya berupa tembok penuh dengan ornamen-ornamen kerajinan tangan yang seakan sebagai wallpaper mereka berdua.

Freya mengernyitkan dahinya merasa selalu terlindungi oleh seseorang yang berada didepannya, dia ramah dan baik hati. Wajahnya tersenyum tenang dengan perkataan itu.

"Terimakasih, Zuko. Aku merasa tenang."

"Degg," Zuko merasa ada sebuah kasih sayang yang terpancar dari mereka berdua, ia menatap wajah cantik Freya yang tersenyum manis.

"Tentu saja karena itu adalah tugasku sebagai seorang kesatria."

Ada rasa antara sayang dan kasihan terhadap Freya, ia adalah gadis yang cantik dan baik hati. Wajahnya benat-benar akan membuat siapa saja terbawa perasaan ketika melihat senyumannya.

Freya berusaha bangun dari tidurannya, "paman tabib tadi kemana?"

"Aku juga tidak tahu, tapi katanya tadi mau mengambil obat."

"Apa lukamu masih sakit? Aku takut jika itu membuatmu terinfeksi," tanya Freya.

"Tidak apa-apa. Aku sudah biasa terluka seperti ini, beberapa saat lagi pasti sembuh."

Freya mengernyitkan dahinya dan cemberut, "tapi itu berbahaya. Cepat kamu minta obat ke paman tabib saja, sebelum luka itu infeksi."

Ia tersenyum mendengar perkataan tuan puteri, "apa kamu peduli denganku? Ucapkan saja jika kamu peduli dan sayang denganku."

"Nakal kamu," ucap Freya dengan wajah malu.

"Apa kamu membenciku? Jawab saja pertanyaanku apakah kamu membenciku atau menyayangimu," ucap Zuko dengan bergurau agar tidak terlalu tegang.

"Sudahlah jangan bicara seperti itu lagi, aku mau tidur dulu," Freya kembali berbaring di tempat tidurnya sambil memikirkan sesuatu.

Di kamar Freya benar-benar sangat hangat dengan penerang berwarna kuning, sangat indah dan nyaman.

Saat itu luka Zuko semakin mengering, ia berencana ingin mengambil kembali kuda yang dicuri oleh para perampok tadi. Walaupun saat ini sudah hampir larut malam.

Ia menatap Freya, tangannya ingin sekali menyentuh dan mengusap rambut gadis itu, tapi ia tak berani karena saat itu hanya mereka berdua yang berada di tempat itu, takutnya akan menjadi fitnah jika saling menyentuh.

"Freya, apa kamu sudah tidur?"

"Belum, sebenarnya aku ingin sekali mendengarkan cerita dongeng, tapi sayangnya tidak ada yang menceritakan," ucap Freya dengan mata tertutup seperti setengah tertidur.

Zuko tersenyum mendengar itu. Diraihnya sebuah buku yang berada di rak, buku itu bertuliskan sebuah cerita tentang sejarah sebuah benua unik.

"Apa kamu mau aku bacakan cerita?"

"Iya,"

Zuko mulai membuka lembar pertama, buku penuh dengan tulisan tangan berwarna hitam dengan buku hampir berwarna kecoklatan muda.

Ia mulai membaca cerita itu, sesekali dipandanginya wajah Freya didepannya yang sudah menutupkan mata tertidur pulas. Wajah benar-benar masih terlihat cantik walaupun dalam keadaan tertidur sekalipun.

Setelah melihat Freya telah tertidur, ia lantas meletakkan kembali buku cerita ke rak kayu didekatnya.

Karena malam itu Freya sudah tidur, ia beranjak dari duduknya, "aku tidak akan pernah membiarkan orang yang telah menyakitimu merasa bahagia, karena aku sangat sayang kepadamu," lirih Zuko seraya tersenyum dan berjalan pelan meninggal Freya.

"Tuan Zuko, apa tuan Puteri Freya sudah tidur?" tanya seorang pelayan yang tiba-tiba datang dengan membawa sebuah nampan berisi makanan dan minuman.

"Iya. Apa Freya tadi belum makan?"

Pelayan itu menggelengkan kepala, "kata sang tabib tadi, Puteri Freya harus makan dulu sebelum meminum obat lagi, dan sang tabib sedang meracik obat untuk tuan Zuko juga."

"Baiklah, taruh aja makanan ini di meja sana," tunjuk Zuko ke arah meja di kamar Freya.

"Baik ,tuan. Tuan Zuko jangan lupa makan ini juga."

"Iya, terimakasih," jawab Zuko dengan ramah.

Ia melanjutakan kembali berjalan keluar untuk membalas para perampok yang sudah hampir mencelakai Freya. Saat melewati di depan kamarnya, ia sebenarnya akan mengambil busur panah, tetapi karena ada beberapa orang yang melewati dirinya. Akhirnya ia pergi tanpa membawa apapun.

Ketika tengah malam, di halaman kerajaan itu hampir sangat sepi dan hanya menyisakan beberapa penjaga didepan pintu gerbang.

"Tuan Zuko, anda mau kemana?" tanya seorang penjaga yang memakai pakaian prajurit.

Saat itu, Zuko berjalan melewati para prajurit yang berjaga di gerbang tanpa menoleh dan tak menghiraukan tanya dari salah satu prajurit.

Ketika ia berjalan keluar beberapa meter dari gerbang itu, dua orang prajurit mengikutinya dengan heran.

"Tuan Zuko, anda mau pergi kemana?"

Zuko tersadar, ia berhenti dan menoleh dua prajurit yang berada dibelakangnya, "aku hanya ingin keluar sebentar, kalian jangan mengikutiku."

Dua orang prajurit itu saling menatap, lalu berjalan mendekat, "tapi bukankah ini sudah terlalu malam? Lebih baik kami berdua menemani anda."

"Tidak usah paman, karena ini sangat berbahaya," tanpa sadar Zuko berucap yang membuat dua prajurit itu mengernyitkan dahi.

"Anda mau pergi kemana tuan? Kalau itu memang berbahaya, kamu sebagai prajurit harus membantu kesatria kerajaan ini," ucap salah satu prajurit seraya berjalan mendekat sampai dihadapan Zuko.

Akhirnya Zuko berkata dengan jujur, agar kedua prajurit itu tidak penasaran lagi, "aku akan menghajar para perampok di hutan."