webnovel

Dua Belas Zodiak

"Criinnnngg," sebuah cahaya berwarna warni muncul dihadapannya. Didalam cahaya itu samar-samar terlihat seperti bayangan.

Sebelas manusia berjejer berdiri diantara cahaya itu. Mereka memakai kostum seperti seorang kesatria.

Manusia yang berada di cahaya itu memiliki warna kostum dan bentuk yang berbeda beda.

Sedangkan sebuah gelang di tangan Ziko memiliki dua belas lambang zodiak dengan warna dan lambang yang bervariasi.

Saat itu masing-masing setiap zodiak memiliki warna yang sama dengan warna kostum kesatria yang berada di cahaya itu.

Tapi anehnya, kenapa tersisa satu lambang zodiak yang tidak ada jodohnya dengan kesatria yang berada dicahaya itu.

Zuko memperhatikan kembali sebuah lambang bergambar manusia menunggangi seekor kuda dan membawa busur panah.

Saat itu Zuko menatap sebelas kesatria didepannya, dengan heran kenapa hanya sebelas saja. Lalu dimana salah satu kesatria yang hilang.

Bayangan dalam cahaya itu hanya diam tanpa bergerak sedikitpun. Kemudian datanglah seorang kakek-kakek yang tadi menghilang secara misterius.

"Zuko. Sebagai seorang kesatria, pahamilah ini semua," ucap kakek itu seraya menunjuk ke arah sebelas kesatria disebuah pancaran cahaya.

Sang kakek itu masih mengenakan jubah berwarna putih, dan membawa sebuah tongkat. Dia berdiri sempurna tanpa membungkuk sedikitpun.

Zuko menatap sang kakek dengan heran, sesekali memandangi para kesatria dibelakang kakek itu. Kesatria itu bagaikan milik kakek yang tersenyum agak ramah.

"Jadilah kesatria terhebat di dunia ini, setelah kamu mampu memahami sesuatu didepanmu," ucap kakek itu dengan tersenyum.

"Aku menghadirkan bayangan para kesatria zodiak untuk membuatmu semakin kuat, jika itu semua mampu kamu pahami," tambah sang kakek lagi.

"Cobalah jelaskan saja, aku sama sekali tidak paham," Zuko tampak bingung tak memahami maksud semua itu.

Kakek itu berjalan mendekat, dia mengatakan sesuatu, "kamu adalah manusia yang terpilih oleh dewa Zeus, dan salah satu diantara dua belas kesatria adalah kamu sendiri."

"Apakah aku adalah zodiak itu sendiri? Dan apa aku adalah pemegang salah satu kunci itu?" tanya Zuko dengan kaget akan kenyataan aneh ini.

Sang Kakek berjalan kembali ke tempatnya tadi, "tentu kamu adalah pemegang salah satu kunci itu, karena kamu adalah penguasa kuil Sagitarius."

"Sagitarius? Jadi aku ini adalah kesatria zodiak sagitarius itu sendiri?"

"Benar sekali tuan Zuko," jawab sang kakek.

Tapi Zuko masih penasaran dengan identitas seorang kakek yang berada didepannya. Ia berpikir apakah kakek itu adalah dewa Zeus sendiri.

"Sebelum kamu bertanya siapa aku, aku akan menjawab jika aku adalah ruh sebuah kitab takdir seorang kesatria," ucap kakek itu.

Zuko paham dengan maksud itu, jika kakek tua yang berada didepannya adalah ruh sebuah kitab yang berisi takdir seoarang kesatria seperti dirinya.

"Kakek. Apa anda bisa merubah takdir saya menjadi orang biasa lagi?" tanya Zuko.

Sang kakek hanya tersenyum seraya berjalan mendekati Zuko yang tengah berdiri, "takdirmu sebagai seorang kesatria Pegasus tidak bisa dirubah oleh siapapun, karena sudah tercatat didalam kitab sebelum kamu melihat matahari untuk pertama kalinya."

Ucapan kakek itu memiliki kiasan yang cukup mendalam artinya, dia mengetakan jika Zuko ditakdirkan sebagai seorang Kesatria palindung Dewi Athena sejak dirinya belum terlahir di dunia ini dalam sebuah tulisan kitab takdir kehidupan.

Zuko memandang bayangan sebelas kesatria didalam cahaya itu, seakan ada satu bayangan yang membentuk seperti dirinya, tapi itu sangat samar-samar hampir tidak terlihat.

"Zuko. Pahamilah arti dirimu sebagai seorang kesatria. Karena dibalik takdirmu seperti itu, kamu akan mendapatkan seorang kekasih," ucap sang kakek sebelum tiba-tiba menghilang lagi tanpa jejak.

"Siapa kekasihku itu?" baru saja Zuko bertanya, kakek itu sudah menghilang.

Seketika itu, semua bayangan para kesatria Zodiak menghilang bersamaan dengan hilangnya cahaya secara perlahan.

Kini jalan setapak ditengah hutan itu berubah menjadi sangat gelap. Suasana mencekam kembali terasa ketika sebuah angin menempa dirinya.

Zuko teringat kembali dengan Freya yang tadi kedinginan dibawa kembali ke kerajaan oleh Patih Cakra.

Ia bergegas kembali ke kerajaan untuk melihat keadaan Freya. Ada rasa bersalah dalam dirinya karena terlengah sampai Freya jadi seperti ini.

Ia berjalan dan terus berjalan sambil memandangi jalan didepannya yang tercetak jelas bekas jejak kaki kuda.

"Freya. Maafkan diriku yang tidak mampu melindungimu sampai kamu terjatuh," gumamnya dalam hati.

Padahal saat dikeroyok oleh perampokan tadi, ia bisa saja menggunakan jurus kehebatannya. Tapi dia sama sekali tidak memakai jurus kekuatan tanpa alasan yang pasti.

Sampailah didepan gerbang kerajaan yang terlihat begitu megah dengan penerang warna kuning disetiap sisi.

Ia masuk perlahan melewati para penjaga yang dengan sopan menundukkan badan, sedangkan Zuko melewati mereka dengan memberi senyuman ramah.

"Tuan Zuko, saya tadi mencari anda sampai ke setiap sisi hutan," ucap Patih Cakra yang tiba-tiba datang dari belakangnya.

"Paman tadi mencariku dimana? Apa sama sekali tidak melihatku di jalan tengah hutan?" Tanya Zuko dengan heran.

"Saya tadi sampai mencari disetiap sisi tebing dan jalan menuju tebing juga sudah saya lewati. Tapi tuan Zuko sama sekali tidak terlihat," jawab Patih Cakra.

Jawaban aneh itu membuat Zuko tercengang heran, bagaimana tidak? Dia saja tadi hanya berdiri diam lama sekali di jalan menuju tebing saat ada kakek yang misterius.

Tapi ketika di hutan itu, ia sama sekali tidak melihat Patih Cakra yang mencarinya dengan menunggangi seekor kuda putih.

"Paman, bagaimana dengan keadaan Freya saat ini?"

"Saya mencari tuan Zuko karena Puteri Freya mencari anda sedari tadi," jawab Patih Cakra seraya menyuruh salah satu prajurit untuk menuntunkan kuda kembali ke kandang.

Zuko khawatir dengan keadaan Freya. "Paman bisa tolong antar aku ke kamar Freya?"

"Mari tuan, saya antarkan ke kamar tuan Puteri Freya," Patih Cakra berjalan mengajak Zuko masuk melalui pintu utama.

Zuko selalu berdoa agar Freya baik-baik saja. Walaupun dirinya hanya seorang penjaga Freya, tapi ada rasa bersedih jika tuan Puteri itu sampai terjadi hal yang tidak diinginkan.

Beberapa saat kemudian sampailah didepan pintu kamar Freya. Zuko memandangi dari luar pintu yang terlihat gadis itu sedang terbaring di tempat tidur.

"Silahkan masuk tuan Zuko, tuan Puteri Freya telah menunggu anda sedari tadi," ucap Patih Cakra seraya berjalan pergi.

"Iya paman. Terimakasih banyak," Zuko berjalan pelan masuk ke kamar Freya sambil mengetuk pintu seperti seorang tamu.

Freya memandang Zuko dengan wajah datar seperti memikirkan sesuatu, wajahnya terlihat pucat dan diberi sebuah kain di dahinya.

Zuko duduk sambil menyentuh wajah Freya yang terlihat sangat pucat. "Freya, kamu demam tinggi."

"Iya," jawab Freya singkat.

"Apa ini karena kamu tadi terjatuh ke sungai?" Zuko jadi merasa bersalah karena tidak mampu melindungi seorang Puteri Kaisar yang sangat istimewa baginya.