webnovel

Teman Tersembunyi

Kenzi sudah akan pulang dari kampus. Namun, telepon tiba-tiba dari Niko membuatnya harus berbelok ke area kafe yang mana selalu dijadikan tempat tongkrongan sahabat-sahabatnya.

Setelah membasuh wajah di kamar mandi laki-laki ini, cowok ber-hoodie hitam dengan topi baret di kepalanya itu bergegas menuju tempat kelima cowok yang hampir menjadi saudaranya itu sudah duduk nyaman.

Tidak ada alasan jelas mengundang Kenzi kemari. Hanya ingin berbincang santai saja, katanya. Mereka, rata-rata tidak pernah tidur siang. Berbeda dengan Kenzi yang hal itu seperti sebuah keharusan sebab Kenzi tidak bisa tidur malam setiap harinya.

Entahlah, Kenzi tidak pernah memeriksa kesehatan di rumah sakit meskipun sang bunda kerap kali menyuruh melakukan hal itu. Kinzi juga kerap ikut membujuk agar kakaknya lekas bertanya pada dokter mengenai keanehan itu.

Kedatangan Kenzi disambut heboh seperti biasanya oleh mereka. Kali ini, tidak ada yang bergandengan. Elang tidak membawa Dara begitupula dengan Brandon yang meninggalkan Amanda.

Kenzi duduk di sebelah Aryan seraya membuka soda kaleng yang tadi di belinya. Meneguk sembari tangan kiri bergerak membuka topi baret itu.

Cowok tersebut tak pernah berniat memikat, tetapi posisinya setiap kali meminum terlihat jelas pesona tampan itu dalam dirinya. Apalagi ketika Kenzi tanpa sadar bersikap cool.

"Ngomong ngomong, ye, Guys. Lo gak ada rencana traktir cewek yang nemuin kunci motor itu? Gak ada dia, bisa habis riwayat lo," ujar Marco seraya memasukkan bungkus rokok ke dalam tas ransel miliknya.

"Kapan-kapan, kalo ketemu," sahut Kenzi kemudian menyibakkan rambut ke belakang.

"Warnainlah, udah bukan anak SMA lagi lo. Boleh kok diombre, gak bakal ada panggilan." Elang mengusap rambut hitam legam Kenzi yang saat itu tumbuh sedikit lebat.

Mungkin saja, topi baret itu dia gunakan untuk menyembunyikan poni yang hampir menutupi dahi. Kenzi lebih suka keningnya terekpos daripada harus diberi rambut-rambut kecil.

"Gue suka yang ori. No tipu-tipu," balas Kenzi seraya mengeluarkan senyum miring.

Elang terkekeh-kekeh. "Iya ...."

"Gue minta saran, deh, sama lo pada. Apa gak sebaiknya ajak Hega buat gabung lagi kayak dulu? Cuma gara-gara Ghesi, persahabatan kita hancur." Aryan membuka suara lalu beralih menatap Kenzi yang kini terdiam. "Terutama lo, Ken. Ghesi itu mantan lo. Sebagian besar orang juga gak mau balikan sama apa yang udah dibuang."

Kenzi mengangguk-angguk tanda paham dengan arah pembicaraan ini. "Gue gak pernah ngarepin Ghesi balik."

"Dengan cara lo ngelindungi dia, Ghesi jadi punya harapan dan lo tau Hega dari dulu emosional, posesif. Gak semudah itu main main sama Hega," lanjut Aryan.

"Terus? Harus gue yang ajak Hega ke sini lagi?"

"Iyalah, masa gue? Gak ada masalah gue sama dia," sambung Aryan.

"Gue rada setuju, sih." Nando pun ikut menimpali.

"Kok rada?" Niko di sebelah cowok itu bertanya dengan kerutan di kening.

"Karena Hega juga salah. Masa gitu doang marah. Cowok posesif itu, gue yakin hubungan sama pacarnya gak bakal bertahan lama karena si cewek gak tahan sama pengekangan yang dia bikin," jelas Nando.

"Makan apa lo dari pagi? Kata kata nya parah."

"Yang enak itu cuma Elang sama Dara. Tibatiba di jodohin gitu aja, ternyata si objek udah saling suka." Marco tertawa lebar di akhir kalimat.

Mereka satu persatu ikut tertawa. Begitu pula dengan Elang dan Kenzi hingga cowok yang berpakaian sedikit tebal itu menengok ke samping.

Didapatinya, gadis yang menemukan kunci motor milik nya tengah berbalik lalu berlari menuju tempat lain. Gadis dengan rok pendek serta kaos putih bertuliskan merk pakaian tersebut.

Tanpa sadar, sudut bibir Kenzi tertarik ke atas. Cowok itu merebahkan kepala di atas meja lalu melipat tangan dan menyembunyikan wajah di atasnya. Perlahan, kedua kelopak mata Kenzi memejam. Cowok itu jadi tidur siang.

***

"Nad, bawain tas make up!"

Teriakan dari salah satu sahabat Nada membuat pemilik nama lantas mengerjakan apa yang di suruh. Tanpa ragu atau pun mengeluh, dia mengikuti dari belakang.

Gadis itu tengah berlatih piano bersama perempuan yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. Mereka saudara, tetapi sekedar sepupu. Kakak perempuan Nada benar-benar mahir memainkan alat musik tersebut hingga ketika Nada membuat kesalahan, hukuman pertamanya yang paling ringan adalah menjadi babu.

Seperti saat ini, sudah disuruh membawakan peralatan yang dia bawa ke rumah Nada. Sekarang, justru harus menjadi supir pribadi dengan kakak sepupu itu duduk di jok belakang.

"Kak, kapan lagi kayak nya?" tanya Nada seraya melirik kaca mobil.

"Bisa jadi hari ini terakhir, deh. Gue mau balik ke Korea. Masih ada tugas di sana. Gue harus terusin kuliah meskipun sekarang tanpa mama dan papa," jelasnya.

Nada dapat melihat aura kesedihan itu tercetak di wajah sang kakak. Melihatnya, hari gadis itu tersentuh. Ingin ikut menemani ke sana, tetapi kuliah di sini saja belum lulus. Nada juga harus menyiapkan otak yang cerdas ketika berkeinginan menyusul sang kakak.

"Andai gue pinter pake banget," gumam Nada. Kakak sepupu di belakangnya hanya berdeham.

Mereka larut dalam pikiran masing-masing setelahnya. Hanya ada hening tanpa sepatah kata yang terucap kembali. Nada menikmati musik pop di dalam mobil ini sedangkan kakak sepupunya entah berbuat apa.

Pandangan Nada tak sengaja menangkap sosok badut yang tengah berada di samping mobil nya ketika lampu merah. Nada tersenyum, badut ini tidak menyeramkan. Justru lucu apalagi dia kenal dengan orang di dalamnya.

"Zero!" panggil Nada dan badut itu membuka penutup kepalanya.

Seorang cowok yang masih berusia belasan tahun tersenyum menatap Nada. Rambut cokelat lembutnya terlihat berkeringat dengan peluh yang membasahi wajah.

Cowok bergigi rapi ini menyalimi Nada dan di balas ramah. Sungguh, dia sangat lucu dengan kulit putih layak nya keturunan luar negeri. Masih terlihat imut meskipun sudah menginjak sembilan belas tahun.

"Kamu udah makan?" tanya Nada berhubung lampu merah di perempatan ini memang di kenal paling lama jalan.

"Belum, Kak. Kejar target, mau kumpul sama temen-temen habis ini," jawabnya.

Nada tersenyum lalu memberikan selembar dua puluh ribu rupiah. "Buat beli nasi bungkus. Aku tau, kamu pasti nolak kalau banyak. Ini cukup buat beli ayam geprek sama es teh doang, kok. Aku gak mau kamu kelaparan."

"Makasih," pungkasnya lalu berlari pergi setelah senyum manis itu dia lontarkan kembali.