webnovel

Penemu Kunci

"Lo udah tau otak setengah aja masih kurang kenapa masuk management, sih?" ketus Nando kala memperhatikan Marco yang terlihat bingung mencari solusi tugas nya.

"Kepentingan masa depan. Gue kalo gak management terus mau apa? Bisa dicoret dari kartu keluarga kalo pilih fakultas lain," ujar Marco sembari melempar asal pulpen hitam nya.

"Mending, untung bokap lo gak nyuruh di kedokteran, ye. Kalo itu, wah, bisa-bisa lo botak tengah jalan. Lulus enggak, stres iya," ledek Elang yang di sahuti oleh tawa lepas dari sahabat sahabat nya yang lain.

"Kayaknya lo perlu ngelibatin gue dalam masalah lo, sih, Mar." Niko mendekati bangku cowok itu kemudian menaik turunkan alis. "Yang mana yang gak bisa?"

"Halah, emangnya lo bisa?" Marco berucap meremehkan sembari menjauhkan kursi nya dari Niko.

"Gak usah di percaya si Niko. Bantuin Marco, Yan." Brandon menyahut.

"Kenapa jadi gue? Gak bisa, gak bisa!" Aryan menimpali kemudian memilih pergi dari perkumpulan itu.

Sekarang sudah sore. Namun, mereka belum beranjak dari kampus karena bersepakat mengerjakan tugas bersama. Kenzi tidak ada karena cowok itu lebih dulu pulang tadi sehingga belum mengetahui hal ini.

"Telpon Kenzi, gih, suruh dia ke sini," usul Elang.

"Pasti lagi sibuk nyari kunci motor dia. Kita gak bantuin jahat gak, sih?" Brandon mengernyit seraya mengetuk ngetuk kunci motornya ke atas meja.

"Jahat, orang gue bantuin, kok," timpal Marco, "lo aja sibuk sama Amanda sekarang. Gue jadi heran kenapa Amanda nerima lo jadi gebetan nya padahal dia dulu pendiem gitu."

"Amanda itu bukan pendiem. Cuma terlalu mahal aja dan sekarang setelah ketemu gue, gue rubah kehidupan dia. Jadi, hari hari nya dia gak lagi tuh sepi," terang Brandon berbangga diri.

"Sok lo," decit Niko sembari mengusap wajah Brandon dengan telapak tangan kiri nya kasar.

"Eh, bau tangan lo, Sat!" umpat Brandon.

Tidak ada percakapan setelah itu. Mereka fokus pada tugas masing masing. Kelima cowok itu berbeda jurusan. Pertama, Elang dan Marco masuk di ekonomi management, Nando ilmu psikologi bersama Aryan, Niko sastra Inggris dan Brandon ilmu hukum sedangkan Kenzi yang tak bergabung hari ini memilih biologi.

Mereka hampir pergi karena tiga puluh menit lagi pasti azan maghrib berkumandang. Jangan tanya di mana cowok cowok itu shalat ashar. Kampus ini terdapat fasilitas masjid sehingga tak perlu pusing jika ingin pulang malam.

Seorang gadis bertubuh jenjang setinggi Dara melintasi mereka. Brandon sempat menyipit seraya memberitahu sahabat sahabat nya bahwa orang itu adalah yang pernah berdebat dengan Kenzi di pinggir lapangan.

Tidak ada yang menarik perhatian mereka sebelum akhir nya pandangan Marco tak sengaja jatuh pada jari telunjuk gadis itu yang tengah memainkan kunci motor. Cowok tersebut yakin dan tidak mungkin salah lihat bahwa itu milik Kenzi.

"Punya Kenzi, Anjir!" pekik Marco tak lupa membuat gadis itu berhenti karena terkejut.

"Eh, iya," sahut Brandon mengalihkan pandangan nya yang semula pada laptop, kini berganti di jari lentik gadis sedikit jauh di depan nya.

Niko tak ingin hanya berbisik, cowok itu melambaikan tangan seraya memanggil gadis tadi. "Heh, Sis! Itu punya sobat gue. Lo dapet dari mana?"

"Iya, lo. Kunci motor itu kayak gak asing," tambah Nando. Elang belum berkomentar di sini.

Gadis tersebut menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Berjalan menghampiri mereka dengan langkah santai kemudian memberi senyum pada kelima nya. Sungguh, dia dapat bernapas lega setelah ini.

"Kalian kenal sama pemilik kunci motor ini? Alhamdulillah, deh. Ini gue temuin di apartemen yang gak jauh dari sini. Jatuh di depan lift terus gue ambil. Titip, ya, sampein ke pemilik nya gak perlu risau," ujar gadis itu menyodorkan benda kecil tanpa gantungan itu yang diterima langsung oleh Marco.

"Kenapa gak kasih sendiri?" tanya si penerima.

Gadis itu tersenyum miring. "Buat apa kasih sendiri kalo kalian aja temen nya. Mending gue titip, 'kan? Belum tentu ketemu juga."

"Ya, iya, sih. Btw, kenapa tadi lo mainin gitu kalo tau bukan punya lo?" Nando menautkan alis seraya menyimpan kunci milik Kenzi yang dialihkan pada nya.

"Ya, siapa tau ada yang kenal dan kebetulan gue lewat sini. Syukur, deh. Gak ada beban lagi, gue."

Elang berceletuk, "Jam segini ngapain di kampus? Udah gak ada orang, padahal."

"Ada urusan, titip salam buat pemilik nya," ujar gadis itu lalu berbalik badan.

"Eh, tunggu dulu!" Ucapan Niko membuat gadis itu berhenti lagi. "Nama lo siapa? Biar Kenzi kalo tanya, kita bisa jawab."

"Oh, pemilik nya Kenzi. Gue Nada," kata si gadis lalu melenggang pergi sebelum waktu nya habis di tempat ini.

"Eh, Sis! Pemilik nya itu orang yang bikin barang barang lo ancur tempo hari!"

***

Pesan dari Elang membuat Kenzi yang semula enak enak makan bersama Kinzi terusik ketenangan nya. Cowok itu terpaksa keluar rumah dengan gerutuan kecil yang sedari tadi hingga diucap pada bibir nya. Sungguh, Elang benar benar meresahkan.

Masih menggunakan taksi, Kinzi sempat menanyakan kabar motor sang kakak. Namun, Kenzi selalu mengelak dengan alasan rusak parah. Si adik mengangguk mengiyakan saja. Beruntung, bunda tidak bertanya lebih. Yang jelas, posisi cowok itu masih aman sekarang. Entah lah nanti.

Setelah membayar ongkos pada supir taksi, Kenzi berjalan dengan langkah terlalu percaya diri nya menghampiri Elang di halaman depan kampus. Cowok itu tak sendirian, ada kelima sahabat nya di belakang.

Kenzi segera bertos dengan mereka satu persatu. Ya, hal pertama yang menyambut nya ketika baru berkumpul adalah cibiran tidak menyenangkan. Sangat mengusik telinga.

"Gak usah di angkat gitu dagunya. Duit masih minta orang tua juga," sindir Nando seraya meneguk air mineral yang di beli nya saat akan ke mari tadi.

Niko mengeluarkan beberapa buku tulis juga membuka laptopnya. "Gak usah sok keluarin smirk. Ada cewek cakep cuma dilihat doang juga. Gak berani apa apa."

"Giliran ke sini bawa cewek. Eh, ternyata adek nya." Perkataan Elang menimbulkan tawa lepas dari yang lain. Begitu juga dengan Kenzi yang terkekeh kecil saat ini.

"Apa, sih, lo pada! Bacot banget, deh. Gak bakal lagi gue ajak Kinzi ke sini. Telinga dia ternodai gara gara ucapan gak jelas kalian," balas Kenzi merangkul Kinzi dari samping.

Gadis yang masih menginjak bangku SMA itu terkikik pelan. "Emang, sih, Kinzi setuju setuju aja kalo Kakak ada cewek. Tugas Kinzi buat pura pura jadi pasangan semisal Kakak mau keluar atau ada acara gitu, jadi selesai."

"Diem, Bocah."