webnovel

Sikap Manis

Meja kecil yang dikerumuni oleh tujuh cowok, kini menjadi sasaran kekesalan Kenzi. Cowok itu hampir saja menang dalam main bareng dengan mereka jika saja tidak ada panggilan mendadak dari wanita yang melahirkannya. Sahabat-sahabat cowok itu tertawa lebar.

Elang, cowok yang sudah lebih dulu membangun rumah tangga dibanding yang lain itu menepuk pundak Kenzi beberapa kali. "Anak mami pulang, ya, udah malem ini. Gih, nanti masuk angin," ujarnya bertujuan meledek.

Kenzi hanya mendengus mendengar itu. Cowok tersebut merapikan laptop serta kertas-kertas tugas kampus ke dalam tasnya kembali juga melempar ponsel asal. "Ngeselin lo pada. Awas aja, ya, besok siang gue ke sini lagi dan gue pastiin bakal menang. Liat aja kalo gak percaya."

"Percaya, Ken. Nanti dimarahin, loh, sampe rumah. Hati-hati, Adek manis," sahut Dara. Perempuan yang saat ini berstatus sebagai istri Elang.

"Jangan nyasar ke tempat singgah terakhir, ye, Ken. Jangan ngadi-ngadi malah nyasar ke club juga lo. Balik itu ke rumah terus tidur. Besok harus bangun pagi. Bantuin bunda cuci piring." Pesan dari Marco tak digubris oleh Kenzi. Ya, memojokkan cowok loyal itu memang menjadi keseharian mereka.

Kenzi tanpa pamit keluar dari apartemen Elang dan Dara. Hingga pukul 01.00 seperti ini, dia tak akan mungkin pulang bila saja bukan suruhan bundanya. Cowok itu juga salut pada Dara, perempuan yang notabene hamil tujuh bulan justru menemani suaminya begadang tidak jelas.

Parkiran motor kini menjadi tempat Kenzi. Cowok itu merogoh celana jeans-nya. Namun, tidak ada kunci yang terletak di sana. Kenzi membelalakkan mata. Masih mencoba untuk tenang. Beralih mencari di saku jaket, saku baju juga tas yang tersampir di punggungnya.

Tetap tidak ada. Kenzi menepuk jidat. Cowok itu berlari ke lantai tujuh guna kembali ke ruangan sahabat-sahabatnya tengah berkumpul. Meskipun degup jantung sudah tak karuan, tetap saja Kenzi tidak memperlihatkan raut panik.

Pintu tersebut dibuka lebar oleh Kenzi. Tatapan delapan orang di sana, kini tertuju padanya. Kenzi menghela napas gusar karena lumayan lelah juga ternyata. Semoga saja benda yang dia cari tertinggal di sini.

"Gaes, ada kunci motor gue gak di situ? Gak ada di saku, di tas juga gak ada. Bantuin cari, dong," pinta Kenzi kemudian menggeser kursi dan apa pun menggeledah apa pun yang dia jumpai.

Sahabat-sahabat tidak tinggal diam. Mereka ikut mencari termasuk Dara. Perlu waktu beberapa menit, tetapi akhirnya tidak ketemu juga. Kenzi menghela napas berat. Bundanya sudah menunggu dia pulang di rumah. Namun, alat yang seharusnya membawa dia ke tempat itu hilang.

Bukan hanya risau karena pasti bundanya akan menelepon kembali. Namun, Kenzi pasti akan mendapat amarah dari sang ayah setelah ini dan cowok itu tidak siap. Kunci motor sangat berharga sedangkan dia tidak tahu di mana benda itu sekarang.

Kenzi duduk di sofa dengan telapak tangan menutup wajah. Sempat bergumam singkat lalu memandang raut sahabat-sahabatnya yang tak kalah bingung.

"Gue harus apa coba?" tanya Kenzi pada mereka. Delapan orang itu tidak menjawab. Hanya saling pandang.

"Terakhir di mana?" Aryan membuka percakapan.

"Gak tau, perasaan di saku celana deh. Gue gak pernah letak di lain tempat soalnya. Gak mungkin tiba-tiba hilang gitu aja," jelas Kenzi menunduk lesu.

Nando mengusap-usap dagu. "Pikir lagi, deh, Ken. Jangan-jangan ada di kamar mandi. Tadi lo ke sana, 'kan?"

"Oh, iya, lo ke sana tadi." Elang menyahut. Laki-laki itu beralih menatap Dara. "Coba cek, Dar."

Dara mengangguk kemudian beranjak masuk ke kamar guna menuju toilet. Perempuan itu memperhatikan saksama hingga sampai membuka wc duduknya takut-takut masuk di situ. Namun, tidak ada benda selain peralatan mandi di sini.

Dia kembali kemudian menggeleng juga mengangkat bahu. Tanda bahwa tidak menemukan apa-apa di tempat tadi. Dengusan kesal yang keluar dari mulut Kenzi membuat perempuan itu tersenyum. Dia kembali duduk di samping suaminya.

"Ya, udah. Lo pake motor Elang aja dulu. Besok kalo gue bersih-bersih, gue cari sekalian," kata Dara lalu menyenggol lengan Elang karena laki-laki itu tak kunjung menyetujui ucapannya.

Elang mengernyit melihat itu. Laki-laki tersebut menggaruk tengkuk lalu meraih kunci motor yang tergeletak di meja tak jauh dari tempat dia duduk. "Oh, iya, iya nih."

Kenzi menggeleng seraya menjulurkan tangan menolak. "Gak usah, orang tua gue juga hafal motor gue beda sama punya lo."

"Terus? Lo mau di sini sampe besok gitu?" Marco menimpali.

"Ya, enggak juga." Kenzi membalas. Dia menyender di sofa dengan tangan yang dijadikan penumpu kepala. "Gue naik taksi aja. Bilang kalo motor gue lagi mogok di jalan terus gue bawa ke bengkel."

"Ya, udah, sih. Terserah," lanjut Marco.

Kenzi beranjak dari duduk. Cowok itu mengucapkan salam kemudian kembali keluar guna menuju parkiran. Dia harus pulang, itu lebih baik. Masalah jujur bisa nanti-nanti saja. Yang jelas, jika dia semakin mengulur waktu, orang tuanya pasti curiga.

***

Perumahan elite daerah ini menjadi tempat Kenzi sekarang. Cowok itu mengucap terima kasih seraya memberi uang pada supir taksi lalu keluar sebab sudah sampai di tempat tinggalnya. Beruntung, masih ada kendaraan yang lewat saat dia keluar dari gerbang apartemen Dara dan Elang.

Kaki jenjang itu menapaki tanah dengan langkah santai. Iya, Kenzi memang takut. Namun, tidak sampai gugup juga. Rautnya masih dapat dinetralisir menjadi biasa saja seakan tak ada yang dia sembunyikan.

Pintu cokelat yang belum dikunci itu, dia buka perlahan. Setelah mengucap salam, terdengar sahutan dari arah belakang sana. Dapat Kenzi ketahui bahwa itu suara bundanya yang menunggu dia hingga tak tidur.

Kenzi berjalan ke arah dapur, letak sumber suara itu. Terdapat bundanya juga sang adik perempuan yang saat ini sedang duduk di bangku SMA kelas sebelas. Kenzi mengacak rambutnya singkat kemudian memberi senyum pada gadis berkulit putih susu itu.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanya Kenzi pada sang adik kemudian duduk di sebelahnya setelah melirik wajah sang bunda singkat.

"Gak bisa tidur, aku tadi nonton terus gak taunya sampe jam segini. Lihat lampu dapur masih nyala, pasti ada bunda dan aku ke sini, deh," jelas Resya, "kakak kenapa baru pulang? Di luar ngapain aja, sih? Kenapa gak pernah ajak aku, coba?"

Kenzi kembali menarik sudut bibir ke atas. "Kamu masih kecil. Gak boleh main keluar. Nanti ada banyak cowok yang goda kamu. Masa Kakak keluar ajak kamu? Dikira kamu pacar Kakak, gimana?"

"Ya, penasaran aja. Eh, btw, kok aku gak denger suara motor Kakak masuk garasi, ya?" lanjut Resya. Pertanyaan itu mampu menarik perhatian sang bunda hingga wanita tersebut, kini menghampiri kedua anaknya.

"Iya, loh, terus pulang naik apa?" tambah bunda.

Kenzi berdeham, inilah yang dia takutkan. "Motor aku mogok. Tiba-tiba aja di tengah jalan mati, terus aku bawa ke bengkel. Pulangnya naik taksi."

"Jam segini ada bengkel yang buka?" Resya kembali bersuara.

Jantung Kenzi hampir saja keluar mendengar itu. Beruntung, masih ada alasan yang ingin dia katakan. "Tadi pas berangkat. Aku ke rumah Elang juga pake taksi."

"Oh, gitu. Ya, udah. Tidur, yuk! Kakak temenin aku, kenapa? Jahat banget mentang-mentang udah kuliah terus lupa sama adeknya." Resya berkata sembari menggembungkan pipi.

"Kamu udah gede, tidur sendiri, gih. Masa masih mau ditemenin Kakak?" Kenzi terkikik dan bunda pun melakukan hal yang sama.

Resya menggerutu sebal. "Katanya masih kecil gak boleh keluar malem. Terus sekarang minta ditemenin tidur, udah gede. Plin plan, ih. Gak suka Resya."

Gadis dengan rambut diikat tinggi itu menuju kamarnya dengan langkah kaki yang terdengar keras. Kenzo hanya terkikik menatap punggungnya yang semakin jauh. Cowok itu beralih melirik ke arah bundanya.

Bunda memegang bahu Kenzi disertai senyum yang mengukir di bibir manisnya. "Jadi panutan buat adek, ya, Kak. Makasih, Kakak udah nurut sama bunda. Jangan berubah, bunda gak suka."