webnovel

Si penyayang

Baru beberapa menit memejamkan mata, Kenzi sudah terbangun karena mendengar suara dari luar. Tidak berisik, hanya saja dia sedikit terusik. Mungkin, itu adalah bunda serta teman-temannya yang mengadakan arisan di rumah ini.

Kenzi mengerjap. Diliriknya jam dinding yang terpajang di dinding bagian atas sana. Sudah menunjukkan pukul 15.00 dan cowok itu lupa jika harus kembali pada tugas awal mencari keberadaan kunci motornya. Kendaraan tersebut masih terparkir rapi di apartemen Dara dan Elang sekarang.

Sekalian saja mengerjakan tugas kampus sehingga perlu membawa laptop juga tas punggungnya. Kenzi membasuh wajah di kamar mandi kemudian merapikan sesuatu yang ingin dia bawa.

Sekedar tahu, Kenzi lebih suka tidur siang daripada malam. Katakan istirahat kala orang lain bekerja itu seperti anak kecil. Namun, dia tidak pernah absen melakukan hal tersebut setiap hari. Entah dari mana datangnya, kantung selalu saja menyertai kala alat pengatur waktu sudah menunjukkan pukul 12.30.

Melewati tempat berkumpulnya teman-teman bunda tanpa sedikit pun mengeluarkan kata, mendatangkan teguran dari wanita tersebut. Kenzi melirik mereka kemudian

"Kamu mau ke mana, Kenzi? Bukannya udah selesai kuliah? Katanya tadi jadwal pagi." Bunda bersuara membuat Kenzi menghentikan langkah.

"Mau kerjain tugas sekalian cariin suami buat bunda. Kenzi butuh ayah baru buat nambah penghasilan." Kenzi berucap santai kemudian melenggang pergi meninggalkan balasan gelengan kepala dari bunda.

Alasan bunda selalu menyuruh Kenzi pulang ketika malam adalah, wanita itu yang tidak ingin kehilangan satu-satunya cowok di rumah ini. Ayah sudah pergi beberapa tahun lalu. Tepatnya saat Kenzi kelas sebelas SMA karena sebuah kecelakaan pesawat.

Kenzi sendiri paham maksud bunda tanpa diberitahu. Dia pemimpin keluarga sekarang. Begitu banyak beban yang dia pikul sendirian. Harus menjadi contoh baik untuk Resya, menjaga bunda dan suatu saat akan menjadi tulang punggung keluarga. Meskipun penghasilan bunda sendiri lebih dari cukup membiayai kuliah, sekolah serta kebutuhan lain dua anaknya.

Cowok itu terkekeh kemudian berlari keluar gerbang. Mencari taksi yang sekiranya lewat di sekitar perumahan ini. Masih memikirkan hal tadi, Kenzi rasa dia akan bersemangat jika sang bunda menyuruh untuk membantunya mencari sosok laki-laki pengganti ayah.

Tidak ada taksi mengharuskan Kenzi berjalan kaki saja. Berharap di depan sana terdapat kendaraan walaupun sekedar angkutan kota. Kenzi itu rendah gengsi. Disuruh jalan sampai kampus pun dia tak masalah jika saja matahari sedang tak terik.

"Papa, papa gak sayang sama Lian? Kenapa papa harus pergi? Lian mau ikut." Perkataan gadis kecil berkuncir dua itu menarik perhatian Kenzi. Cowok tersebut berhenti memperhatikan anak dan ayah berdiri tak jauh darinya.

Pria berkemeja hitam itu menunduk. Menangkup kedua pipi putrinya. "Lian di sini, ya, sama mama. Papa gak bakal pergi lama. Papa mau cari uang buat beliin mainan Lian. Lian mau apa nanti? Barbie? Boneka yang banyak atau Lian mau es krim? Nanti papa pasti turutin."

"Lian mau papa. Lian mau papa di sini," ujar Jilian sembari memasang wajah cemberut juga bersedekap lengan.

"Enggak bisa, Sayang. Papa udah telat, nih. Lian mau Papa dimarahin sama atasan Papa?" Pria yang diketahui Kenzi bernama Ardi itu tersenyum. "Ya, udah. Kalau gitu Lian masuk. Temenin mama di sana."

"Mama lagi pergi sama teman-temannya. Lian sama siapa di rumah?" rengek Jilian.

"Sama bi Aya. Nanti, Lian minta dibuatin jus sama bi Aya." Ardi mengusap kepala putrinya perlahan.

Jilian mendengus. "Lian mau main sama Papa."

"Papa berangkat dulu, ya, Cantik. Nanti kita telfon kalo Lian kangen." Ardi beranjak bangkit. Pria itu meraih tangan mungil putrinya untuk dibawa masuk.

Mengetahui Jilian yang memberontak, membuat Kenzi iba padanya. Tidak tega melihat gadis sekecil itu harus ditinggal sendirian walaupun tetap ada sang mama. Namun, tetap saja sama-sama sibuk. Terbukti dengan perkataan Jilian tadi bahwa wanita tersebut sedang tidak ada di rumah.

Kenzi jadi teringat pada Elang. Dulu, sahabatnya itu juga ditinggal ke luar negeri setelah satu tahun adiknya lahir. Bahkan, hingga remaja pun belum pernah melihat wajah orang tuanya sekalipun melalui video call. Hal tersebut terjadi karena Elang yang menaruh rasa benci pada mereka dan Kenzi tak ingin itu terjadi pada Jilian.

"Lian sama om Kenzi, yuk!" ajak Kenzi melambaikan tangan ke arah seberang sana.

Ardi tersenyum mengetahui keberadaan Kenzi. "Tuh, ada om Kenzi juga. Lian main sama om Kenzi, ya? Salim dulu, dong."

"Papa gak sayang sama Lian. Masa Lian malah disuruh main sama om Kenzi, sih?" kesal Jilian, tetapi tetap menuruti tuturan papanya untuk bersalaman dengan pria itu.

Kenzi mendekat kemudian mensejajarkan tingginya dengan Jilian. Mencubit pipi cubby itu singkat. "Om Kenzi jahat, ya? Ya, udah. Om Kenzi minta maaf kalo pernah jahilin Lian. Papa Lian cuma butuh doa biar cepet pulang lagi ke sini."

Jilian melirik Ardi beberapa saat kemudian kembali menatap Kenzi. Mengangguk lalu berlari memeluk papanya. "Papa hati-hati, ya? Jangan cari orang lain. Lian gak mau punya adek."

Ardi tersenyum. Mengucapkan kata 'iya' kemudian membalas pelukan Jilian, anak pertamanya. Pria tersebut mengecup pipi Jilian dalam waktu sedikit lama. Ah, rasa-rasanya Kenzi juga ingin seperti dia. Disayang oleh darah daging sendiri.

"Om Kenzi gak dikasih, nih?" celetuk Kenzi kala Jilian beralih membalas yang dilakukan papanya. Jilian tersenyum kemudian mendekati Kenzi dan menempelkan bibir mungilnya ke pipi cowok itu. "Makasih, Sayang."

"Kalau gitu, saya titip Lian, ya, Ken. Jaga dia dan kalau ada waktu sekali-kali kamu main ke sini. Saya harus pergi dan itu lama," ucap Ardi.

Kenzi menggangguk kemudian bangkit. "Iya, Bang. Tenang aja, pasti Kenzi jagain kok. Hati-hati, jangan lupa oleh-oleh buat Kenzi."

"Iya, aman itu.

Selepas mengucap hal tersebut, Ardi memasuki mobil. Kenzi menyuruh Jilian untuk melambaikan tangan pada papanya yang kini melaju pergi. Tersisa Kenzi dan Jilian di tempat ini.

"Lian mau main di sini atau pergi sama Om?" tawar Kenzi, "Lian mau gak, panggil Om dengan sebutan papa?"

"Kenapa?" Jilian menautkan alis.

"Om yang akan jadi papa kamu selagi papa kandung kamu pergi cari uang," jelas Kenzi seraya merapikan anak rambut yang terkena angin hampir masuk ke mata Jilian.

Jilian mengangguk bersemangat. "Mau! Oke, Papa."

"Sip .. gitu, dong. Anak cantik gak boleh benci sama papanya sendiri. Nanti dosa," tutur Kenzi.

"Papa mau ke mana sekarang? Main, yuk, di dalam."

"Hm, gimana kalau kita keluar?" ajak Kenzi, "Papa mau ngerjain tugas kampus dan sekalian cari barang. Lian mau 'kan, temenin papa cari barang itu? Nanti kita main ke mall dan beli permen kapas."

"Mau, Lian izin ke bi Aya dulu."