webnovel

Mencari jawaban

Itulah yang dirasakan Cahya semenjak Arsen bersama dengan Sandra. Cahya merasakan ada sesuatu yang hilang dari hidupnya karena terbiasa bersama dengan Arsen sejak kecil. Namun kini, Cahya seperti ditinggal seorang diri karena Arsen sibuk dengan urusan percintaannya. Cahya tidak bisa menyalahkan juga karena bagaimanapun Arsen sudah dewasa dan pasti suatu saat nanti, pemuda itu akan menemukan kebahagiaannya sendiri.

Cahya berada di dalam kamarnya seorang diri seperti biasa. Gadis itu duduk bersandar di tembok seraya mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru di sekolahnya. Kedua mata Cahya mengamati seisi kamar yang terlihat sepi, berbeda dengan kamar Kakaknya Vera.

Bibir Cahya sesekali mengerucut kala mendapati apa yang dikerjakan salah. Ini semua karena beban pikiran tentang Arsen, membuat Cahya tidak bisa fokus dalam mengerjakan tugasnya.

"Kenapa lo harus masuk ke pikiran gue sih, Ar!" omel Cahya pada dirinya sendiri. Cahya tidak menyadari jika sejak tadi ponselnya bergetar dan layarnya berkedip beberapa kali. Itu karena Cahya terlalu fokus dan tidak mau membuat apa yang dikerjakan salah.

Suara ketukan kencang pada pintu kamarnya, membuat Cahya terkesiap. Cepat-cepat Cahya bangkit sebelum kedua orang tua atau Kakaknya marah karena tidak dibukakan pintu. Belum sempat Cahya mengeluarkan suara, seseorang yang tadi mengetuk sudah menyerobot Cahya dengan rentetan kalimat.

"Lama banget, sih? Lagian lo ngapain di kamar, hah?"

Itu adalah Vera, Kakaknya Cahya yang sejak tadi merasa terganggu dengan suara ketukan pada pintu rumahnya. Ketika dilihat siapa tamu yang berkunjung, Vera hanya bisa berdecak karena itu adalah Arsen. Entah untuk apa Arsen malam-malam berkunjung walaupun sekarang masih pukul tujuh malam.

"Banyak tugas, Kak," jawab Cahya seadanya. Lagi pula, apa yang dikatakan olehnya benar bahwa dia sedang mengerjakan tugas.

Vera tidak mau tahu apa yang diucapkan oleh Cahya karena sekarang gadis itu sudah berlalu pergi dari hadapan Adiknya. Melihat Kakaknya sudah berlalu, Cahya segera memasukkan buku-buku yang berserakan agar kembali rapi.

Di teras rumah, terlihat Arsen tengah duduk dalam posisi membelakangi. Entah apa yang akan dibahas pemuda itu hingga mengunjunginya seperti ini. Karena biasanya, Arsen akan memilih untuk berkunjung ke rumah Sandra.

"Ar, ngapain?" seru Cahya. 

Kepala Arsen mendongak dan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku. Arsen mengamati bagaimana penampilan Cahya saat ini dan jujur saja, itu cukup membuat Cahya merona.

"Ngapain sih, lihatin kayak gitu?" ketus Cahya menutupi rasa malunya.

Beruntung Arsen segera tersadar dari tatapannya ketika mengamati Cahya. Arsen menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan dari Cahya. Sebelum menjelaskan tujuannya, Arsen terlebih dahulu menarik nafas dalam-dalam.

"Ganti baju, gih!"

Kedua alis Cahya menukik atas perintah itu. Dilihatnya Arsen dengan tatapan aneh karena sang sahabat tidak kunjung menjelaskan.

"Buat apa gue ganti baju? Gue kan sudah pakai baju, Ar!" Lama-lama, Cahya kesal sendiri dengan Arsen yang terlalu bertele-tele seperti ini.

"Ikut gue, cari jajan. Lo mau jajan, kan?"

Wajah Cahya yang sebelumnya unmood karena memikirkan jarak antara dirinya dan Arsen, seketika berubah menjadi sumringah. Tanpa menunggu lama, Cahya kembali memasuki rumahnya karena takut Arsen membatalkan ajakannya. Melihat betapa antusiasnya Cahya mendengar ajakannya, Arsen hanya bisa menggeleng.

Tak berapa lama Cahya sudah siap dengan jaket tebal dan celana jeans hitam. Terlihat sederhana namun tetap saja tidak bisa menutupi wajah cantiknya. Arsen segera mengenyahkan pikiran yang justru memuji perempuan lain itu.

Hanya sepuluh menit saja waktu yang dilalui keduanya untuk menempuh perjalanan dan kini, mereka berdua sudah tiba di sebuah pasar malam. Alis Cahya kembali menukik kemudian mengalihkan pandangannya pada Arsen yang terlihat santai membenarkan motornya.

"Lo serius ajak gue ke tempat ini, Ar?"

Pertanyaan yang diajukan Cahya, membuat Arsen refleks mengerutkan keningnya. Arsen jadi berpikir, apakah salah jika dia mengajak Cahya ke sini?

"Kenapa, Ay? Lo gak suka ke pasar malam?" sahut Arsen masih terheran-heran.

"Gak!" sergah Cahya cepat. Bagaimana mungkin Cahya tidak suka diajak pergi ke tempat kencan seperti ini, oleh seseorang yang disukai?

"Loh, terus?" Arsen jadi bingung sendiri. Perempuan memang rumit sekali dan itu yang dialami Arsen ketika bersama dengan Sandra.

Cahya tidak menggubris pertanyaan Arsen dan kini justru berlalu meninggalkan sahabatnya itu. Matanya melihat penjual jagung bakar yang berada di dekat biang lala. Langsung saja Cahya melangkah ke sana sebelum stand itu ramai.

"Gue mau jagung bakar rasa pedas manis!" suruh Cahya sekenanya.

Karena Cahya adalah sahabatnya sejak kecil, Arsen menuruti permintaannya. Arsen menghampiri pedagang itu dan memesan untuk Cahya dan dirinya. Sembari menunggu jagung bakar pesanannya jadi, Cahya memilih duduk di salah satu kursi panjang mengamati suasana di sekitar. 

Pasar malam yang dikunjungi kali ini memang sangat ramai karena memang baru buka di hari kedua. Beruntung karena lahan yang lebar, sehingga meskipun padat—suasana di sana tetap terlihat lenggang.

"Nih, Ay!" 

Suara Arsen disusul aroma harum khas jagung bakar berhasil membuat Cahya terkesiap. Gadis itu mengucapkan terima kasih kemudian mengambil jagung bakar itu dari tangan Arsen.

Keduanya makan dalam keadaan hening karena saling menikmati suasana. Harus Arsen akui jika bersama dengan Cahya, dia bisa merasa lebih tenang. Sangat berbeda apabila dia bersama dengan Sandra. Gadis itu sangat posesif sehingga untuk bernafas pun, Arsen merasa kesusahan.

"Ay?" panggil Arsen.

Kunyahan Cahya terhenti ketika Arsen memanggilnya. Gadis itu tidak melanjutkan kegiatannya karena masih menunggu apa yang akan dikatakan oleh Arsen.

"Kenapa, Ar?" sahut Cahya pada akhirnya.

"Gue mau tanya, boleh? Tapi kalau bisa—lo jawab jujur, ya?"

Mendadak perasaan Cahya tidak enak karena wajah Arsen saat ini. Terlebih pemuda itu seperti menggantungkan ucapannya.

"Ya … selagi yang lo tanya nggak merugikan gue!"

"Jujur, akhir-akhir ini gue merasa kalau lo menjauh, Ay. Gue bisa merasakan itu karena kita udah bersama sejak anak-anak."

Degup jantung Cahya semakin tidak karuan karena pertanyaan itu terlontar dari bibir Arsen. Cahya tidak langsung menjawab karena masih memikirkan jawaban yang paling cocok untuk pertanyaan itu.

"Gue nggak menjauh, kok. Kayaknya itu cuma perasaan lo aja, Ar."

"Di sekolah lo menjauh, Ay. Di rumah juga lo kayak ogah nemuin gue, kan? Jujur Ay … gue ngerasa kosong karena lo menjauh!"

"Nggak, Ar. Gue emang lagi sibuk aja kalau di rumah karena Ibu sering minta tolong ini dan itu. Sedangkan kalau di sekolah—lo kan yang sibuk sama Sandra?" Tidak ada niat sedikitpun dalam diri Cahya untuk menyindir dengan ucapannya. Itu semua murni dari pemikirannya tentang Arsen yang selalu bersama dengan Sandra ketika di sekolah.

Arsen terdiam memikirkan ucapan Cahya yang ada benarnya. Jika di sekolah memang Arsen lebih sering bersama dengan Sandra yang selalu mengekori dirinya. Alhasil, Arsen jadi susah untuk mengobrol dengan Cahya. Sedangkan ketika di rumah, Cahya pasti selalu diributkan dengan Ibunya yang selalu meminta ini dan itu sehingga Cahya akan sulit melakukan kegiatan lain.