webnovel

Kegalauan Arsen

"Ayo pulang."

Suara Cahya yang berusaha memecah keheningan setelah obrolan tadi, berhasil menghentikan lamunan Arsen. Dapat dilihat jika saat ini, Cahya seperti seseorang yang tidak memiliki semangat. Apakah itu karena pertanyaan yang diajukan oleh Arsen tadi? Jika ya—

"Ar! Kok malah melamun, sih?" Cahya kesal juga lama-lama melihat Arsen yang seperti sapi, diam melamun tak jelas.

Arsen tersentak kecil kemudian menggaruk kepalanya kikuk. "Sorry, lo tadi ngomong apa, Ay?" tanyanya dengan senyuman kikuk.

Wajah Cahya berubah malas. Tanpa aba-aba, Cahya menarik tangan Arsen untuk ke luar dari area pasar malam. Jujur saja, pertanyaan yang diajukan Arsen tadi cukup mengusik Cahya.

"Kebiasaan deh, tarik-tarik gini!" decak Arsen berusaha menyamai langkah Cahya yang sebenarnya kecil itu.

Tiba di parkir, Arsen segera mencari keberadaan motornya diikuti Cahya. Hal yang paling tidak disukai adalah ketika parkir, motor harus dipindahkan posisi dari sebelumnya.

"Ini yang bikin gue gak suka kalau parkir motor, pasti dipindah-pindah tempatnya!" gerutu Arsen karena tak kunjung menemukan motornya.

Di belakang, Cahya hanya bisa menghela nafas panjang karena gerutuan itu. Hal buruk yang selalu dilakukan Arsen ketika ada sesuatu yang berusaha untuk menghalangi.

"Tuh, motor lo!" tunjuk Cahya pada sebuah motor sport berwarna merah milik Arsen yang sebenarnya tidak berubah posisi itu.

Kepala Arsen menoleh ke belakang dan mendapati sebuah motor yang sangat dikenali. Arsen menyengir kemudian berlari kecil menghampiri red yang teronggok santai di sana.

"Duh … seharusnya lo tadi panggil gue!" Sekarang, Arsen justru mengomeli motornya yang tidak memiliki salah apapun. 

"Cepetan, Ar!" sentak Cahya yang malas mengamati drama alay antara Arsen dan red.

Secepat kilat Arsen mengeluarkan motornya dari parkiran dan melajukan pelan ke arah Cahya. Langsung saja gadis itu duduk manis di belakang setelah Arsen berhenti di hadapannya.

"Sabar dong, Ay … sensitif banget!" tukas Arsen yang sayangnya tidak mendapatkan balasan dari Cahya.

Cahya langsung duduk di belakang dan meminta Arsen untuk segera melajukan motornya. Jujur saja, Arsen sebenarnya bisa merasakan perubahan dari Cahya semenjak dia bersama dengan Sandra. Namun untuk mengungkapkan—Arsen tidak mampu karena takut akan menjadi perdebatan setelahnya.

Ketika tiba di depan rumah Cahya, gadis itu langsung turun dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya meninggalkan Arsen di luar. Arsen sendiri masih berada di depan rumah Cahya mengamati sang sahabat yang sekarang masih menutup pintu.

Setelah memastikan Cahya masuk dengan aman, barulah Arsen melajukan motornya kembali. Selama di perjalanan, Arsen tidak hentinya memikirkan obrolan ketika pergi bersama Cahya tadi. Arsen ingat betul jika Cahya termasuk gadis yang akan sangat semangat apabila dibelikan sesuatu atau istilahnya ditraktir. Namun tadi, Cahya hanya memakan jagung bakar saja tanpa ada tambahan lain.

Arsen memasuki rumah setelah sempat memarkirkan motornya. Pemuda itu melangkah melewati ruang keluarga yang terlihat sepi dan langsung menuju kamarnya.

Sesampainya di kamar, Arsen menghempas tubuhnya yang terasa sedikit berbeda dari biasanya. Arsen terlentang menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong seperti banyak beban pikiran. Ingatan tentang kebersamaan dengan Cahya, muncul begitu saja ketika kedua mata Arsen akan terpejam.

Flashback on :

Kala itu, Arsen dan Cahya yang masih duduk di bangku SMP terlihat menikmati jajanan di dekat sekolah. Cahya yang suka makan, membuat Arsen selalu memberikan apapun untuk Cahya.

"Ay, enak nggak?" tanya Arsen mulai mendudukkan dirinya di samping Cahya yang fokus menikmati cilok.

Cahya mengunyah cepat makanannya sebelum menjawab pertanyaan dari Arsen. "Enak, Ar. Gue suka banget sama rasanya, apalagi pake saos kacang gini!"

Kepala Arsen mengangguk beberapa kali disertai hembusan nafas lega. Jika Cahya sudah anteng menikmati makanan, maka hari-hari Arsen pun bisa lebih santai. Lain hal jika tidak ada yang cocok untuk gadis itu, maka bisa dipastikan Arsen akan dibuat kelimpungan.

"Lo nggak beli, Ar?" tanya Cahya ketika menyadari bahwa Arsen hanya duduk seraya melihatnya makan. "Apa lo nggak punya duit?" tebak Cahya ngawur padahal uang Arsen selalu melimpah ruah.

Arsen tergelak kencang karena celetukan Cahya yang sangat tidak masuk akal itu. Hey … sejak kapan Arsen tidak punya uang? Dengan tidak punya hati—Arsen meraup wajah Cahya yang sudah mangap karena akan kembali melanjutkan kegiatan makannya.

"ARSEN … LO RESEK BANGET, SIH?"

Karena ulah Arsen itu, alhasil Cahya tidak bisa melanjutkan lagi menghabiskan cilok karena memang Arsen terus saja menggoda. Cahya bahkan hampir saja menangis karena gemas tidak bisa meraih tubuh Arsen.

"BERHENTI ATAU GUE NGAMBEK?!"

Gawat! Arsen paling tidak bisa melihat Cahya ngambek dengannya. Alhasil, Arsen mengalah dan berjalan takut-takut mendekati Cahya. Baru saja sampai di hadapan Cahya, Arsen sudah berteriak kencang lantaran sahabatnya itu yang menjengut rambutnya.

"AY … KALAU GUE BOTAK GIMANA?"

Kebahagiaan dua anak manusia berseragam putih biru pada masanya, memang tidak akan pernah bisa terulang lagi. Terlebih sekarang, keduanya sudah sama-sama dewasa dan pastinya akan mengejar takdirnya masing-masing.

Bersama dengan Cahya, Arsen pasti akan selalu tertawa dan merasakan kebahagiaan. Arsen seperti merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya ketika Cahya menjauh darinya. Maka dari itu, Arsen akan selalu melakukan apapun untuk Cahya-nya.

Flashback off :

Kedekatan keduanya pada saat dahulu, mungkin tidak akan bisa terulang kembali ketika nantinya Cahya memiliki pasangan. Arsen ingin sekali menjadi manusia egois yang selalu mengekang Cahya agar tidak sembarangan dekat dengan cowok.

Sayangnya, Arsen tidak berhak untuk semua itu karena Cahya hanyalah sahabatnya. Lagi pula, Arsen memiliki Sandra yang seharusnya dijaga perasaannya daripada memikirkan tentang hubungannya dengan Cahya. Jika bertengkar dengan Cahya, pasti itu tidak akan lama karena memang mereka terbiasa bersama. Namun jika bertengkar dengan Sandra, Arsen pasti akan kehilangan gadis cantik itu.

Suara deringan pada ponselnya, berhasil menghentikan aktivitas Arsen dalam memikirkan Cahya. Tertera nama Sandra pada layar bar, yang membuat Arsen dengan senang hati langsung mengangkatnya.

["Kamu ke mana aja? Dari tadi aku telpon gak diangkat!"]

Beberapa kali, mata Arsen mengerjap ketika suara marah-marah Sandra memasuki pendengarannya. Arsen bahkan belum sempat mengeluarkan suara sepatah katapun karena Sandra yang terus menyerocos.

"Ya ampun … aku nggak ke mana-mana, Sandra. Dengar nggak? Suaranya sepi, yang berarti—aku lagi di kamar!"

Di seberang sana, Sandra tentu tidak percaya begitu saja. Arsen ini ibarat anakan burung yang akan langsung bringas apabila di lepas. Maka dari itu, sebisa mungkin Sandra mengikatnya agar Arsen tidak pergi. Dalam arti, menikmati malam berdua dengan Cahya entah itu sekedar bertemu atau mengobrol ringan karena Sandra tidak suka!

["Bener? Bukan pergi dengan Cahya?"]

Arsen gelagapan bukan main diberikan pertanyaan seperti itu oleh Sandra. Dia jadi berpikir, apakah Sandra tahu jika tadi dirinya pergi ke pasar malam bersama Cahya? Jika iya—mungkin Cahya akan dimaki-maki.

Memang benar, ketika bersama dengan Sandra—Arsen sudah seperti uji nyali perasaan karena apa yang dipertanyakan selalu membuatnya deg-degan bukan main.