webnovel

Meminta Izin

Di saat seluruh murid merasakan kebahagiaan karena camping yang dilaksanakan pihak sekolah sebelum ujian dimulai, Cahya justru harus menelan kekecewaan karena tidak bisa mengikuti acara tersebut. Bukan tidak bisa, lebih tepatnya tidak berani untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya.

Sorakan kesenangan yang diperlihatkan oleh semua temannya, membuat rasa iri dalam diri Cahya seketika muncul. Terkadang Cahya sering berandai-andai memiliki orang tua yang bisa membebaskan namun masih dalam batas wajar. Sayangnya—itu semua hanya angan-angan Cahya saja.

Di sudut lain, Sandra tak bisa menghentikan senyuman karena kegiatan seperti inilah yang selalu ditunggu-tunggu. Dengan adanya kegiatan seperti ini, Sandra jadi bisa lebih dekat dan memiliki waktu berlibur bersama Arsen walau mengatasnamakan sekolah.

"Akhirnya sekolah mengadakan kegiatan ini ya, Arsen," celetuk Sandra girang.

Kepala Arsen menoleh dan tersenyum kecil. "Iya, aku pikir acara ini diadakan setelah ujian." sahutnya ringan.

"Justru benar sekarang sih, Arsen … anggap aja relaksasi sebelum berperang melawan soal ujian," kata Sandra terkikik senang.

Arsen tersenyum saja menanggapi keceriaan gadisnya itu. Tatapan Arsen mengarah ke segala penjuru ruangan sampai akhirnya menangkap sosok Cahya tengah berdiam di sisi kiri barisan. Jujur saja hati Arsen sakit melihat Cahya yang sekarang jarang bersuara namun dirinya juga tidak bisa berbuat apapun.

"Kamu lihat apa, sih?"

Karena tidak kunjung mendapatkan sahutan, Sandra memutuskan untuk mengikuti arah pandang Arsen. Wajah Sandra berubah muram mengetahui bahwa Arsen tengah memperhatikan Cahya dengan sangat intens.

Tepukan yang cukup keras pada bahunya, membuat Arsen segera menoleh. Dapat dilihat saat ini Sandra sudah menampilkan wajah masamnya dan itu membuat Arsen gelagapan, takut jika gadisnya berpikiran macam-macam.

"Kenapa, San?" tanya Arsen seperti tidak merasa bersalah.

"Dari tadi aku ajak kamu ngomong, tapi fokus kamu justru ke Cahya?" tukas Sandra geram.

Arsen menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian berkata. "Aku nggak tahu posisi Cahya ada di mana, San …" kilahnya berharap Sandra percaya.

Karena tidak mau terlibat perdebatan, akhirnya Sandra mempercayai apa yang dikatakan oleh Arsen. Sandra mencoba melihat ke posisi tempat Cahya berada tadi, namun ternyata sudah berganti menjadi orang lain.

'Mungkin cuma perasaan gue aja!'

Sementara Cahya, gadis itu memilih untuk bersembunyi lebih jauh supaya tidak dipergoki oleh Sandra. Tadi Cahya sempat bersitatap dengan Arsen yang seperti mencari sesuatu.

Namun karena Cahya merasakan hawa tidak enak, akhirnya dia memilih untuk menyingkir. Dan benar saja, setelah dia menyingkir—Arsen justru terjebak perdebatan dengan Sandra perihal dirinya.

"Kita ketemu lagi, Cahya!"

Atensi Cahya beralih ketika mendengar suara dari arah samping. Terlihat Nico yang kini tersenyum lebar ketika fokus Cahya ada padanya. Cahya bahkan sampai terkekeh karena wajah Nico yang menurutnya konyol itu.

"Iya, lah! Kan satu sekolah," balas Cahya seadanya.

Nico terkekeh karena balasan Cahya. Tidak ada rasa tersinggung walaupun Cahya membalas ucapannya dengan nada judes. Kedua orang itu hening setelahnya karena bingung harus berbicara seperti apa lagi.

"Gue balik duluan ya, Nic. Soalnya masih ada tugas harian yang belum dikerjakan," pamit Cahya.

"Bareng, deh. Gue juga mau balik ke kelas."

Cahya mengangguk dan membiarkan Nico mengikutinya sampai ke kelas. Lebih tepatnya kelas masing-masing yang kebetulan lokasinya bersebelahan. Sepanjang jalan, kedua orang itu mengobrol kecil sampai tidak terasa sudah berada di IPA 2.

"Ini kelas gue, duluan!"

Sebelah tangan Nico terangkat, melambaikan ke arah Cahya yang kini mulai masuk ke dalamnya. Kelas masih dalam keadaan sepi namun Cahya tidak peduli karena berlama-lama di aula pun tidak menyenangkan.

***

Dua jam setelah bel pelajaran masuk di mulai, Cahya izin ke guru yang mengajar untuk pergi ke toilet. Setelah mendapatkan izin dari guru pengajar, barulah Cahya melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Sudah sejak sepuluh menit lalu, Cahya kebelet namun tidak berani mengutarakan izin kepada gurunya.

Cahya berjalan melewati lorong sekolah yang terlihat sepi karena seluruh murid sedang fokus pada mata pelajaran masing-masing. Sesekali Cahya bersiul guna mengusir sepi yang selalu menyelimuti hidupnya.

Tiba di toilet, Cahya langsung menuju salah satu bilik untuk membuang apa yang sejak tadi ditahannya. Tanpa perlu berlama-lama, kini Cahya sudah ke luar dan berdiri di depan wastafel. Cahya membasuh wajahnya dengan air agar dia tidak mengantuk ketika berada di kelas nanti.

Ketika baru ke luar dari toilet, Cahya dikejutkan dengan kehadiran Arsen yang entah sejak kapan menunggunya. Menunggu? Apakah Cahya berlebihan, kalau menganggap Arsen menunggunya?

"Ar, ngapain di sini? Awas—nanti pada mikir macam-macam," usir Cahya. Bisa gawat jika ada yang melihat dan menilai mereka sedang melakukan hal tidak senonoh.

"Ikut ya, Ay?"

Dahi Cahya berkerut karena tidak paham maksud ucapan Arsen yang menurutnya ambigu itu. "Ikut ke mana?"

"Camping, Ay. Lo harus ikut, oke?" Arsen agaknya sedikit memaksa dan itu menimbulkan getaran dalam hati Cahya.

"Gue gak tau, Ar. Semua tergantung Ayah sama Ibu," cicit Cahya.

"Gue yang bakal izin ke mereka berdua!" putus Arsen berani, lebih tepatnya sok berani. Ibunya Cahya itu galak, semoga saja Arsen tidak terkena amukan nantinya. "Terserah lo, asalkan lo gak bawa-bawa nama gue dalam izin itu."

***

Sesuai dengan janjinya siang tadi, malam ini Arsen sudah berada di depan rumah Cahya. Pemuda itu menunggu Cahya yang memang sudah dihubungi melalui chat supaya segera membukakan pintu untuknya.

"Lo beneran ke sini, Ar?" pekik Cahya tertahan. Andai saja dia berteriak kencang, mungkin saat ini Ibunya sudah marah besar.

Arsen turun setelah melepas helmnya. Aura ketampanan Arsen, membuat Cahya hampir saja kehilangan fokus karena terpesona.

"Mana nyokap lo?"

Pertanyaan yang dilontarkan Arsen, berhasil menyadarkan Cahya. Gadis itu bergerak gelisah karena takut membawa Arsen masuk. Namun belum juga mengajak, suara dari arah dalam berhasil membuat Cahya mematung.

"Ngapain kalian gelap-gelapan?"

Itu adalah Ibu Cahya yang akan membuang sampah. Ibu Cahya terkejut karena melihat teras rumahnya dalam keadaan gelap, ditambah ada Cahya dan Arsen di sana. Wajar jika sebagai orang tua, Ibu Cahya berpikiran macam-macam.

"Malam, Tan," sapa Arsen terlebih dahulu.

"Malam. Ada apa, ya?" ketus Ibu Cahya.

Sementara itu, Cahya saat ini sudah menunduk seraya memainkan jarinya karena takut melihat wajah Ibunya. Apalagi mendengar suara ketusnya tadi, membuat Cahya semakin ciut.

"Saya mau minta izin kepada Tante, supaya mengizinkan Cahya untuk mengikuti kegiatan sekolah yang diadakan di luar Kota. Ini sebagai salah satu syarat untuk Cahya supaya bisa mengikuti ujian akhir, Tan," ucap Arsen yang sudah mempersiapkan kebohongannya.

Kedua mata Cahya membulat tak percaya karena kebohongan Arsen. Cahya tidak menyangka jika sahabatnya itu, akan berucap penuh kebohongan seperti ini. Bagaimana jika Ibunya tahu, mereka tengah berbohong?

Karena malas untuk berbasa-basi, alhasil Ibu Cahya memberikan anggukan hingga Cahya tanpa sadar memekik.

"Bu, makasih banyak … akhirnya Cahya bisa ikut ujian!"

***