webnovel

Pergi Camping

30. Camping

Pagi ini Cahya bangun tidur dalam keadaan bahagia seperti akan mendapatkan sebuah lotre. Cahya melirik dua buah tas yang berada di dekat lemari dengan senyuman mengembang. Tas itu berisikan pakaian dan juga makanan yang akan dipergunakan selama camping nanti. Ini semua berkat Arsen yang sudah bersedia meminta izin kepada Ibunya.

Cahya segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri karena bus nanti rencananya akan berangkat pukul 07.30 dan otomatis Cahya harus berkumpul di sekolah maksimal pukul tujuh agar tidak ketinggalan.

Setelah selesai, Cahya ke luar dari kamar membawa dua buah tas berukuran cukup besar untuk nantinya dibawa ke lokasi camping. Cahya membawa tas tersebut sedikit kesusahan karena tubuhnya yang tidak terlalu besar.

"Lo jadi camping?"

Baru saja menginjakkan kaki di luar kamar, Cahya sudah disambut oleh Vera yang sedang melintasi kamarnya. Kakak perempuan Cahya menatap Cahya dengan mata memicing lalu bergantian pada barang-barangnya.

"Jadi, Kak. Kan memang itu syarat buat ikut ujian." Lugas sekali Cahya menjelaskan kebohongan ini di hadapan Kakaknya. Andai saja Vera tau, mungkin saat ini dia sudah digiling karena sudah berani berbohong.

Kepala Vera manggut-manggut saja kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur. Vera sejak tadi sudah merasa lapar karena semalam dirinya diet dan tidak menyantap apapun. Maka dari itu, sembari menunggu Cahya masak—Vera mau mengemil kue yang selalu disediakan di dalam kulkas.

"Jangan lama-lama kalau masak, perut gue laper," kata Vera dari dekat kulkas.

"Iya, Kak. Aku kayaknya mau buat sandwich lagi, gak masalah, kan?"

"Ya … terserah lo aja," sahut Vera seadanya. Asalkan ada makanan yang bisa dinikmati, maka Vera akan bersikap tenang.

Cahya membuat sarapan dengan cepat karena memang waktu terus berjalan. Sesekali Cahya melirik jam yang menempel pada dinding untuk memastikan bahwa dia dalam jangkauan waktu aman.

"Kamu jadi camping, Cahya?"

Tadi Vera yang memberikan pertanyaan seperti itu, sekarang justru Ibunya yang bertanya dengan wajah tak sedap dipandang. Padahal sudah jelas Ibu Cahya yang memberikan izin secara langsung kepada anaknya.

"Iya, Bu. Seperti izin dari Ibu, kan?" sahut Cahya ketar-ketir, takut jika tiba-tiba saja keberangkatannya dilarang oleh sang Ibu.

Ibu Cahya mengangguk singkat sebelum akhirnya melenggang menuju meja makan. Melihat itu, Cahya langsung menghembuskan nafas lega karena tidak lagi dicecar macam-macam atau parahnya, diminta batal ikut.

Setelah selesai, Cahya langsung memindahkan sandwich buatannya ke atas meja. Ketika akan berbalik arah, kedua telinga Cahya menangkap langkah kaki lain mendekat ke arahnya. Itu adalah Ayahnya yang akan pergi bekerja.

"Minggir," usir Ayahnya yang langsung dituruti Cahya.

Cahya melangkah menuju dapur untuk menikmati sarapan karena waktu sudah semakin mepet. Kemungkinan 30 menit lagi gerbang sekolah sudah ditutup karena guru harus melakukan absensi kepada peserta camping.

Setelah selesai, Cahya berpamitan dengan kedua orang tua serta Kakaknya Sedaya seraya melangkah ke luar. Hari ini Cahya memesan taksi online karena tidak mungkin menggunakan angkutan umum di saat banyaknya barang bawaan.

Ketika taksi berhenti di depan gerbang, Cahya bisa melihat lapangan sekolah yang dipenuhi oleh jajaran bus. Kurang lebih ada sekitar 15 bus yang dipergunakan untuk mengangkut murid-murid dari sekolah mereka.

Cahya turun dengan hati-hati karena takut terjatuh akibat beratnya barang bawaan. Gadis itu melangkah menuju lapangan di mana seluruh teman sekolahnya berkumpul. Tidak ada satupun yang peduli dengan keberadaan Cahya di sekitarnya bahkan hanya menganggap

Cahya sebagai angin lalu saja.

"Sini, biar gue yang bantu." Sebuah tangan tiba-tiba saja terulur mengambil tas punggung Cahya yang berukuran big size.

Tatapan Cahya beralih dan seketika itu juga terkejut karena mendapati Arsen kini tengah membantunya. Sebisa mungkin Cahya memberikan penolakan karena takut Sandra berpikiran macam-macam dengannya.

"Nggak usar, Ar. Gue bisa bawa sendiri, kok," tolak Cahya mencoba mengambil alih tasnya.

Sayang, Arsen justru memberikan tatapan tajam kepada sahabatnya itu yang membuat

Cahya hanya bisa pasrah dengan nasibnya setelah ini.

"Dimohon untuk seluruh peserta camping supaya menuju ke lapangan untuk pembagian bangku bus!"

Seorang anggota OSIS memberikan pengumuman kepada seluruh peserta camping yang tentunya langsung dituruti. Arsen sendiri langsung membawa tas milik Cahya menuju tengah barisan sesuai dengan kelas masing-masing.

Arsen meletakkan tas Cahya di belakang seorang gadis karena memang posisinya kosong. Pemuda itu menyuruh Cahya untuk baris di sana karena sebentar lagi, guru pendamping akan memberikan pengumuman.

"Makasih, Ar," ucap Cahya tulus.

Arsen mengangguk dan mengulas senyum. Setelah itu Arsen berpamitan karena ingin berbagi bersama rekan sekelasnya. Di sana sudah ada Nico yang memang sudah datang sejak tadi, namun sibuk mengobrol dengan rekan lainnya.

"TES … SATU … DUA!"

Seorang guru perempuan sudah berdiri di podium dengan sebuah buku di tangannya. Jika Cahya tidak salah menebak, itu adalah buku absensi murid-murid. Entah pengumuman apa yang akan disampaikan oleh guru tersebut.

"Ibu mau mengumumkan pembagian kursi selama di dalam bus, ya. Tidak boleh pindah atau berganti pasangan karena siapapun yang melanggar—pasti akan dihukum ketika tiba di lokasi nanti.

Cahya mendengarkan pengumuman itu dengan seksama karena dia tidak memiliki teman selain Arsen dan Nico untuk bertanya apabila ada hal yang tidak dipahami. Maka dari itu, sebisa mungkin Cahya memasang telinga lebar-lebar supaya tidak ada yang keliru.

"Bus IPA yang pertama, di deretan kiri—Cahya dengan Marcel."

Kedua mata Cahya melotot mendengar ucapan Bu Siska. Cahya pikir, dia akan duduk dengan teman sekelasnya seorang perempuan. Namun tanpa diduga, Cahya justru harus duduk dengan Marcel yang—begitulah.

Di sisi lain, Nico dan Arsen yang mendengar informasi itu dibuat melotot tak terima. Bagaimana mungkin, Cahya harus duduk satu bangku dengan Marcel? Kenapa tidak dengan salah satu dari mereka saja?

"Kok sama Marcel? Kenapa gak gue aja, sih?" geram Nico bersungut-sungut.

Arsen menoleh dan mendelik karena ucapan itu. "Enak aja, sama gue lah! Kan gue sahabatnya?" kekehnya ingin menang sendiri.

Dahi Nico bergelombang dibuatnya karena ucapan tak masuk akal Arsen. Entah Arsen itu bodoh atau apa karena harus mengorbankan Cahya dengan mengatasnamakan sahabat.

"Lo bego? Kalau lo sama Cahya, Sandra mau ditaruh mana? Debat dah tuh pasti dua cewek!" tukas Nico mengingatkan.

Arsen dibuat tak berkutik karena perkataan Nico yang memang ada benarnya. Mungkin

Arsen yang terlalu egois, atau tidak memahami keadaan saat ini.

Di saat Arsen dan Nico sibuk berdebat, Cahya justru sudah masuk ke dalam bus. Gadis itu naik dengan sedikit kesusahan sampai akhirnya ada sebuah tangan terulur membantunya. Cahya melihat Marcel yang kini berdiri di belakangnya, membantu Cahya menyanggah tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Kalau bawa barang berat, hati-hati. Jangan sampai lo menyusahkan gue!"

***