webnovel

Informasi penting

Pagi harinya seperti biasa, Cahya melakukan aktivitas seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu beranjak dan memulai kegiatan mandinya dengan cepat sebelum terkena amukan dari keluarganya

Tidak sampai lima menit, Cahya sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sekarang gadis itu ke luar dari kamar seraya membawa tas berisikan buku pelajaran. Rumah masih dalam keadaan sepi, membuat Cahya menghembuskan nafas lega.

Cahya memasak sandwich pagi ini karena memang sedang ingin memakan itu. Lagi pula, setiap hari makan nasi goreng sepertinya bukan hal baik karena Cahya menggunakan bumbu instan.

"Bikin apa, lo?" celetuk Vera yang tiba-tiba saja muncul.

Beruntung karena Cahya tidak sedang berhadapan dengan wajan dan minyak sehingga rasa kagetnya tidak membahayakan. Cahya mendongakkan kepalanya sekilas dan berkata. "Sandwich, Kak. Ganti menu daripada nasi goreng terus."

Kepala Vera manggut-manggut saja mendengar penjelasan Cahya kemudian melenggang menuju kulkas untuk mengambil susu. Menunggu Cahya masak, ternyata cukup membuat perutnya keroncongan.

Sepuluh menit kemudian, sandwich buatan Cahya akhirnya selesai dibuat. Gadis itu menyisihkan satu untuk dibawa ke sekolah supaya bisa menghemat uang jajannya. Melihat Cahya menyisihkan sandwich, Vera pun menyeletuk. "Gue juga masukkan ke kotak bekal, buat dibawa." 

Cahya mengangguk ringan dan segera menuruti perintah Vera. Setelah selesai, Cahya pun menyiapkan susu untuk kedua orang tuanya di atas meja. Bersamaan dengan siapnya hidangan, Ibu dan Ayah pun sudah siap untuk sarapan.

Di dapur, Cahya terlihat begitu tenang menikmati sandwich dan segelas susu. Seperti ini, kehidupan Cahya setiap harinya. Di sekeliling banyak orang, tapi serasa hidup seorang diri.

Setelah sarapannya habis, Cahya langsung berjalan ke luar rumah untuk mencari angkutan umum yang biasa berhenti di halte. Cahya berharap hari ini nasib baik kembali mendatanginya dan angkot bisa segera datang.

Suara deru motor yang berhenti di halte, membuat Cahya mendongakkan kepalanya. Terlihat seorang pemuda dengan seragam sekolah yang mirip dengannya, berhenti kemudian membuka helm.

"Nico?" seru Cahya kaget.

Dari atas motor, Nico berkata. "Cahya, ayo sama gue. Daripada lo telat, kan?" ajaknya menawarkan.

Cahya terlihat menimang tawaran Nico yang tentu memiliki kemungkinan terburuk, yakni dijadikan bahan gosip teman sekolahnya. Namun ketika mengingat waktu yang terus berjalan, Cahya akhirnya menyetujui ajakan itu. Tak peduli bagaimana tanggapan teman-teman sekolahnya nanti.

"Yaudah, gue ikut." Akhirnya Cahya naik ke bagian belakang motor.

Sepanjang perjalanan, baik Nico maupun Cahya tidak ada yang berbicara. Cahya sibuk menikmati udara segar pagi, sementara Nico sibuk mengatur detak jantungnya. Seperti biasa, Nico pasti akan merasa deg-degan apabila berdekatan dengan Cahya.

Kedatangan motor Nico yang membonceng seorang gadis, tentu saja menjadi objek perbincangan seluruh murid di sekolah. Mereka semua berbisik-bisik mengenai gadis di belakang yang tak lain adalah Cahya.

'Mereka semakin dekat, ya?'

'Cahya nih, sama siapa sih?'

'Sasimo dia!'

Inilah yang membuat Cahya tidak suka terlalu dekat dengan lawan jenis karena para gadis di sekolahnya selalu memberikan kesimpulan seenaknya. Mereka semua selalu menilai berdasarkan apa yang dilihat saja tanpa peduli bagaimana kejadian sesungguhnya.

"Lo masuk duluan aja, gak usah digubris," titah Nico supaya Cahya tidak menunggunya dan semakin mendengar ucapan pedas murid-murid lain.

Meskipun sebenarnya tidak enak hati, Cahya akhirnya mengangguk setuju atas saran dari Nico. Gadis itu berpamitan sebelum akhirnya melenggang menuju kelasnya karena malas mendengar ocehan mereka semua.

Ternyata berita mengenai Cahya yang pergi ke sekolah bersama Nico, sudah terdengar oleh seluruh manusia di sekolah itu. Alhasil sampai tiba di kelas, Cahya masih saja menjadi objek gunjingan murid-murid di sekolahnya. Cahya yang tidak mau menanggapi, memilih untuk diam seolah tidak peduli padahal hatinya cukup sakit.

***

"WOY … KUMPUL DI AULA!"

Teriakkan seseorang dari arah luar, berhasil mengejutkan Cahya. Gadis itu celingukan melihat teman sekelasnya yang berbondong-bondong ke luar dari ruangan setelah mendapatkan informasi.

"Eh, pada mau ke mana, sih?" Dengan memberanikan diri, Cahya memanggil salah seorang teman sekelasnya.

Gadis yang dipanggil Cahya tadi menghentikan langkahnya dengan sangat terpaksa. "Lo gak dengar? Kan si Reno udah kasih info!" tukasnya dengan nada ketus kemudian pergi dari hadapan Cahya tanpa peduli jika mungkin Cahya masih membutuhkannya.

Seulas senyum kecut terbit dari bibir Cahya karena lagi dan lagi, dirinya diabaikan. Mengingat di mana mereka harus kumpul, Cahya segera berlari ke luar sebelum dihukum oleh guru yang sedang piket.

Cahya melewati lorong-lorong kelas dan dari kejauhan, matanya melihat Arsen tengah jalan berdua dengan Sandra. Suasana hati yang memang sudah buruk, kini semakin memburuk melihat pemandangan itu. Namun Cahya sadar dengan posisinya yang hanya sebagai seorang sahabat. 

"Cahya, jangan melamun!" tegur Nico yang lagi-lagi menyelamatkan hatinya.

"E—eh, iya …"

Kedua orang itu berjalan beriringan menuju aula seperti yang sudah diperintahkan. Tiba di aula, ternyata sudah banyak murid-murid yang menunggu si pemilik informasi. Nico segera mengajak Cahya ke sisi Utara, di mana ada Arsen bersama Sandra.

"Arsen!" seru Nico menyapa.

Arsen menoleh dan mengulas senyuman kecil. Atensinya beralih pada Cahya yang terlihat murung, entah apa penyebabnya. Ingin sekali Arsen bertanya, namun takut Sandra akan kembali berpikiran macam-macam dengannya.

"Arsen, ke sana yuk!" Sandra menunjuk jajaran murid IPA 2 yang berada di depan dan semuanya perempuan.

Melihat itu, Arsen bergidik ngeri. Langsung saja Arsen menolak karena tidak mau berdekatan dengan perempuan yang menurutnya terlalu berisik itu. Penolakan itu, membuat Sandra cemberut.

"Kok kamu nolak aku, Arsen?"

Pada saat akan menjawab, seorang guru pria masuk ke dalam aula dan melangkah menuju podium depan. Arsen akhirnya urung untuk melanjutkan ucapannya sekaligus bersyukur karena kedatangan guru itu cukup menyelamatkannya.

"Selamat pagi, anak-anakku sekalian," sapa Pak Ferdy dari podium.

"Pagi, Pak Ferdy …"

Pak Ferdy tidak langsung melanjutkan informasi yang akan disampaikan kepada murid-murid karena ingin memastikan terlebih dahulu. Memastikan dalam arti, waktu yang diperhitungkan sudah pas atau belum.

"Sehubungan dengan diadakannya ujian yang akan berlangsung kurang lebih dua Minggu lagi, pihak sekolah memiliki jadwal untuk kalian semua."

Mendengar informasi yang diumumkan kali ini adalah ujian, para murid hanya bisa mendesah lesu. Mereka pikir ada informasi penting mengenai libur sekolah dan semacamnya. Namun ternyata—

"Namun sebelum ujian dilaksanakan, pihak sekolah akan mengajak seluruh murid untuk melaksanakan kegiatan camping yang akan dilaksanakan Minggu depan. Persiapkan diri kalian dan jaga kesehatan, karena acara di sana cukup padat!" Pak Ferdy melanjutkan kalimat yang sejak tadi dipendam.

Seluruh murid yang berada di aula, tentu saja bersorak kegirangan. Siapa yang tidak senang, melaksanakan camping walaupun acara itu cukup melelahkan? Salah satu yang merasakan kebahagiaan itu adalah Cahya. Namun di sisi lain, Cahya yang bahagia mendengar informasi itu harus sedikit menjatuhkan bahunya karena dia memerlukan izin dari kedua orang tuanya. Cahya berharap, kedua orang tuanya bersedia memberikan izin supaya Cahya bisa sekalian healing sebelum melaksanakan ujian sekolah.

***