webnovel

Jongil : Jomlo Tengil

JONGIL alias jomlo tengil. Julukan Dirga pada Risya, si gadis mungil, jahil, dan amit-amit tengilnya. Awalnya Dirga hanya iseng memanggil Risya seperti itu. Nyatanya, Risya semakin menjadi menjahilinya dan membuat Dirga kadang kesal sendiri. Lupakan sahabat, lupakan pertemanan. Sekali menyebalkan maka tetaplah menyebalkan. Risya sangat menyebalkan. Bahkan juga bisa dibilang bodoh. Sudah tahu dia naksir sama Daffa, tapi tetap saja Risya berkelakuan sama di depan laki-laki itu. Dirga hanya bisa menatap Risya miris. Cewek mungil, bodoh, gila, nyebelin. Lengkap sudah. Si Jongil yang entah kapan mendapat pasangan hidup itu akan menjadi teman dekatnya hingga lulus SMA tahun depan. "Ini sih namanya mimpi buruk!" ________________________ All right reserved by Kaitani Hikari © 2020

Kaitani_h · Teen
Not enough ratings
16 Chs

Bab 12

"Kalau seandainya gue jauhin Dirga, apa lo juga mau jauhin cewek tadi, Daf?"

Daffa terdiam beberapa saat, matanya menunjukkan kekagetan, sedang bibirnya mulai menunjukkan senyuman tipis.

"Gue nggak mau jadi orang posesif dan sebaliknya. Gue masih bukan siapa-siapa lo sekarang, gue nggak ada hak ngelarang lo deket-deket sama cowok lain, Sya! Walau gue nggak suka, tapi tetep gue harus tahu diri juga."

Bibir Risya mengerucut. "Dan gue juga sama gitu? Harus nahan sesek kalau lo deket sama cewek lain. Apalagi yang kayak tadi?"

Daffa terkekeh. "Mau nggak mau gue harus bilang iya, tapi...."

"Tapi apa?"

"Gue bakal usaha supaya lo nggak cemburu lagi. Apa lo mau usaha supaya gue nggak cemburu ke Dirga juga?"

Risya terdiam, ia tampak menimbang-nimbang semua keputusan.

Apakah ia bisa melakukannya? Menjaga diri agar tidak terlalu dekat dengan Dirga, padahal Dirga dan ia sudah seperti saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan.

Bisa nggak bisa, gue harus usaha!

Gadis itu mengangguk. "Gue bakal usaha," balasnya yang ditanggapi Daffa dengan senyuman puas dan lega.

***

Risya kembali memikirkan keputusannya tadi siang. Apakah langkah yang akan diambilnya nanti benar adanya?

Menjauhi Dirga dan mendekatkan diri ke Daffa. Bisakah ia melakukannya?

Risya mengembuskan napasnya. Wajahnya mendongak, menatap langit hitamnya malam yang bertaburkan bintang.

Bisakah ia melakukannya? Melupakan Dirga di hidupnya bukanlah suatu perkara mudah. Ia dan Dirga sudah sangat dekat. Sangat amat dekat.

Mereka tidak terpisahkan. Bahkan Risya tidak pernah menganggap Dirga hanya sekadar sahabat. Mereka lebih erat dari itu, mereka sudah seperti keluarga. Dirga sudah seperti saudaranya sendiri.

"Dan lagi, pacaran boleh, tapi jangan sampai lupain gue gitu aja!"

Lalu kata-kata itu menghantuinya. Ucapan Dirga tadi siang membuat Risya semakin dilema.

Jika ia melepas Dirga, lalu bersama Daffa, apa Dirga masih bisa kembali padanya jika Daffa berhenti untuk mencintainya?

Ia dan Daffa memang sudah mengenal lama, tapi mereka tidak sedekat seperti ia dan Dirga.

Dirga dan dirinya. Mereka tahu sifat apa yang ada di diri masing-masing. Mereka tahu keburukan apa yang dimiliki temannya dan mereka juga tahu semua kebaikan temannya itu.

Dirga tahu Risya, dari kulit luar bahkan sampai hati terdalamnya. Sama halnya dengan Risya yang tahu seperti apa itu Dirga.

Dirga yang penutup dan sering marah karena kelakuannya, tapi laki-laki itu tetap mencoba peduli. Walaupun kesal ia tetap perhatian pada Risya, walau hanya kadang-kadang, tapi Risya tahu pasti Dirga tidak seperti itu.

Lalu bagaimana dengan Daffa?

Mereka baru dekat dua hari terakhir ini. Mereka belum saling mengenal satu sama lain, walau Risya telah mengafumi Daffa selama setahun lebih.

Daffa hanya orang baru. Satu nama yang mencoba masuk ke dalam kehidupan barunya. Apa pantas bila ia mengorbankan kedekatannya dengan Dirga untuk menyambut orang baru itu masuk ke hidupnya?

Risya tertawa sinis. Tentunya tidak pantas. Dirga lebih berharga daripada Daffa, walau ia juga ingin Daffa di sekitarnya, tapi ia juga tidak mau mengorbankan Dirga.

Apa ia terlalu egois?

Ponselnya berbunyi. Risya tersentak, ia mengambil ponsel itu dan mengangkat telepon dari seberang sana.

"Halo!" sapanya.

Orang di seberang sana menghela napasnya lega. "Gue pikir lo diculik sama orang dan nggak pulang lagi, Ngil. Ada yang luka nggak? Sakit-sakit gitu?"

"Hah?" Risya menjauhkan ponselnya, melirik caller id yang menunjukkan nama Dirga. Siapa lagi? Yang memanggilnya 'Ngil' kan cuma satu orang?

"Lo kenapa sih Ga? Kok aneh? Gue nggak diculik atau apa pun itu yang ada di pikiran lo. Gue baik-baik aja. Kenapa lo bisa mikir sampai sana? Kejauhan tahu nggak!"

"Lo tadi siang abis main detektif-detektifan, kan? Kali aja lo bakal berakhir kayak si Shinichi yang balik jadi bocah itu!"

"Ngaco dih! Gue nggak papa, Ga! Baik-baik aja ini!" balas Risya tidak terima.

Memang ia kenapa? Ia hanya mengintip si Daffa saja bukannya berurusan dengan mafia?

Si Dirga pikirannya lagi ngelantur deh kayaknya!

"Beneran?"

"Iya beneran, mau gue fotoin terus kirim ke elo nggak?" tawar Risya karena jengah.

Ini orang ngelanturnya sampai kapan, dah?

"Nggak perlu. Lo di rumah sekarang? Ortu lo ada di rumah nggak? Gue kesepian."

"Wait-wait... maksud lo apaan ini?"

"Kita malam mingguan, sama-sama jones kan nggak punya pasangan!"

Mata Risya melotot mendengarnya. "APA MAKSUD LO BANGSAT!"

Dan telepon ditutup begitu saja oleh orang di seberang sana. Malam mingguan? Sendirian? Nggak punya pasangan?

Dasar jones kesepian lu!