webnovel

Jongil : Jomlo Tengil

JONGIL alias jomlo tengil. Julukan Dirga pada Risya, si gadis mungil, jahil, dan amit-amit tengilnya. Awalnya Dirga hanya iseng memanggil Risya seperti itu. Nyatanya, Risya semakin menjadi menjahilinya dan membuat Dirga kadang kesal sendiri. Lupakan sahabat, lupakan pertemanan. Sekali menyebalkan maka tetaplah menyebalkan. Risya sangat menyebalkan. Bahkan juga bisa dibilang bodoh. Sudah tahu dia naksir sama Daffa, tapi tetap saja Risya berkelakuan sama di depan laki-laki itu. Dirga hanya bisa menatap Risya miris. Cewek mungil, bodoh, gila, nyebelin. Lengkap sudah. Si Jongil yang entah kapan mendapat pasangan hidup itu akan menjadi teman dekatnya hingga lulus SMA tahun depan. "Ini sih namanya mimpi buruk!" ________________________ All right reserved by Kaitani Hikari © 2020

Kaitani_h · Teen
Not enough ratings
16 Chs

Bab 11

Sebelas satu langkah.

~~~

Satu langkah ia pijak. Mendekati mangsa yang kini terbahak bersama orang di hadapannya.

Ia maju. Berhenti di dekat pohon dan bersembunyi di balik semak. Matanya mengintip, bibirnya mengatup rapat, dengan hati yang dongkol.

Ia melihat gadis itu menepuk dada  bidang Daffa. Lalu mereka kembali tertawa.

Entah apa yang kini Risya rasakan. Yang jelas ia tidak suka. Ia benci pada gadis yang kini dengan entengnya berbicara bersama Daffa dengan acara pukul-pukulan dan pipi merona.

Mengapa harus Daffa? Kenapa nggak cowok lainnya saja?

Pikirannya menggerutu dengan bibir mengerucut, ia berbalik badan. Enggan melihat Daffa dan perempuan itu lagi.

Hatinya sakit. Rasanya teriris. Pilu membungkus hatinya dan ia memejamkan mata. Helaan napasnya terdengar kasar saat suara itu menyapanya dari samping kanan.

"Lagi ngapain? Nungguin gue atau lagi mata-matain gue nih?"

Risya menoleh cepat ke arah kanan. Wajah Daffa tepat berada di sampingnya. Dengan senyum memikat dan tangan yang kini bergerak naik dan mengambil topi Dirga darinya dengan gerakan pelan.

"Daffa, lo kok ada di--" ucapannya terhenti saat Daffa membalik topi itu dan menemukan nama Dirga di sana.

Bibir yang sebelumnya tersenyum manis, kini berubah menjadi senyum kecut. "Topinya Dirga, ya?"

"Tadi pagi gue colong dari kepalanya, gue nggak bawa topi soalnya."

Daffa kembali menghadap Risya. "Lo suka topi?"

Risya menggeleng. "Biasa aja sih, cuma ya gitu ... kadang pengen aja. Terus si Dirga kan punya banyak, yaudah gue ambil aja satu."

Bibir Daffa kembali melengkungkan senyumannya. "Yaudah, besok balikin, gue bawain topi gue yang ada di rumah."

"Eh?"

Risya menatap Daffa dengan kebingungan. Ia tidak tahu maksud ucapan laki-laki itu apa.

"Gue punya topi juga di rumah, cuma gue jarang bawa aja ke sekolah. Besok gue bawain, buat lo!" balas Daffa dengan senyuman manisnya lagi.

"Eh nggak perlu...," Risya berusaha menolaknya. Dia merasa tidak enak, walau topinya bukan topi baru, tapi tetap saja ... itu kan topi orang. Kalau topinya Dirga sih, dia pasti udah biasa aja, toh dia udah sering minjem topi dari tuh cowok.

Belum lagi, Daffa kan punya cewek tadi.

Mengingat cewek tadi, entah mengapa hati Risya kembali teriris. "...enggak perlu deh Daf, ntar cewek lo yang tadi salah paham lagi. Terus ada masalah yang enggak-enggak dan nama gue kebawa-bawa."

"Cewek? Cewek yang mana?" tanya Daffa yang kini malah tampak kebingungan.

Risya melongo. "Cewek yang tadi sama lo itu? Yang anak sekelas kita dan duduk di samping elo! Siapa sih namanya? Arta, eh Gita, atau Septa... tata gitu deh namanya?"

Daffa terbahak mendengarnya, ia mengelus-elus puncak kepala Risya dengan pelan juga ekspresi sayang.

"Apa? Gue sama dia nggak ada apa-apa. Kita cuma temen sekelas, ya kayak lo sama Dirga gitu kan?" tanyanya balik, dengan senyum dan lagaknya sok dewasa.

"Gue sama Dirga enggak kayak lo sama dia gitu," balas Risya tak terima, bibirnya sudah mengerucut karena kesal, tapi Daffa hanya menanggapinya dengan senyuman polos.

"Lo bilang gitu, karena lo nggak ngelihat gimana pikiran orang-orang tentang hubungan lo sama Dirga. Sama aja kayak gue tadi sama dia, kita bercanda dan enggak ngelihat sekitar. Lo cemburu ya sama cewek tadi?" tanyanya yang langsung membuat Risya membuang muka.

"Enggak kok... biasa aja gue ngelihatnya!" Padahal hati gue udah kayak kesayat-sayat di dalem sana! ringisnya di dalam hati.

Daffa tersenyum sendu. "Padahal gue selalu cemburu loh, kalau ngelihat lo sama Dirga kayak gitu."

Risya menoleh cepat, menghadap Daffa dengan tanya keluar dari bibirnya. "Maksud lo apa?"

Daffa gelagapan. "Eh enggak kok, udah mau pulang belum? Gue anterin lagi?" tanyanya guna mengalihkan perhatian dan pembicaraan merela berdua.

"Kalau lo nggak keberatan nganterin gue pulang, ya nggak masalah sih. Tapi...," ucapan Risya masih menggantung dan hal itu cukup membuat Daffa ketar-ketir.

Apa ucapannya tadi terlalu posesif, terlalu memaksakan Risya untuk jadi cewek baik yang nggak lagi dekat-dekat cowok lain selain dirinya? Atau... Risya mau memaksa Daffa menembaknya sekarang juga?

Ah... ini belum saatnya, nggak ada romantis-romantisnya kalau nembak di dekat semak-semak!

Memangnya dia lagi berburu apa? Sampai nembaknya di semak-semak?

"Tapi kenapa?"

Risya menggelengkan kepala dengan mata yang menutup rapat-rapat. "Kalau seandainya gue jauhin Dirga, apa lo juga mau jauhin cewek tadi, Daf?"