webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

TITIK TOLAK

"Kenapa menghilang? Rei bahkan tidak bisa dihubungi."

Baru juga bertemu lagi, Nan sudah mengoceh.

"Kau mencariku?"

"Ya pasti…aku sampai harus menghubungi Dara dan Tiwi. Dara bilang Rei sedang hibernasi. Tidak bisa diganggu. Tiwi bilang ini sindrom ulang tahun. Setiap ulang tahun Rei memang bisa dipastikan menghilang. Butuh waktu untuk sendiri."

Aku tertawa dalam hati. Tidak ada satu pun yang mengerti isi kepalaku, selain sahabatku tercinta.

"Itu sudah tahu," jawabku acuh.

"Ya tapi Rei kemana?"

Aku membereskan buku yang berserakan di Mushola. Sebentar lagi les dimulai.

"Di sini. Aku live in tiga hari di Kebun Sayur. Menginap di tempat Yanti."

Nan terdiam sejenak. Sepertinya Dia terkejut.

"Kenapa tidak bilang? Kalau Rei di sini kan aku bisa menyusul." Suara Nan mendadak lebih lembut.

Aku berdiri dan membawa buku-buku yang sudah kurapikan ke rak buku yang baru kami beli.

"Itulah! Aku tidak ingin Kau menyusul ke sini."

Nan terdiam lagi. Cukup lama. Saat anak-anak mulai berdatangan, baru dia bicara lagi.

"Ini hadiah untuk Rei."

Nan menyerahkan tiga buku padaku. Ketiga buku itu adalah buku yang paling sering Nan bahas. Dan kurasa, ketiganya berpengaruh signifikan dalam pribadi Nan.

Buku-buku itu berjudul Pemain Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng, Le Petit Prince dan Gatot Kaca. Kubuka salah satu buku yang Nan berikan, ada tulisan Nan di lembar paling depannya:

"Jiwa Abadi, Usia Bergerak."

Aku tersenyum. Dulu waktu Nan ulang tahun, kata-kata itu juga yang aku letakkan di kue ulang tahun Nan. Sekarang kata-kata itu tersemat di dalam kado ulang tahunku. Ya, semuanya memang bergerak. Termasuk juga aku dan Nan.

Kurasa cepat atau lambat, kami akan memecah menjadi dua aliran yang menempuh jalur yang berbeda. Hawa perpisahan berhembus kencang dan aku tidak punya daya untuk melawan.

Kami tidak banyak bicara hari itu. Aku terlalu fokus dengan berbagai masalah di kelompok 5. Neni ternyata sempat pacaran dengan Riki. Sekarang mereka putus dan Neni jadi agak sedih. Meskipun, ya, bisa dibilang ini sebatas cinta monyet. Hari ini mereka putus dan menangis, esok-lusa mereka sudah suka dengan yang lain.

Selain urusan Neni, masalah Tri dan Nida yang berselisih paham, juga membuatku pusing. Perselisihan ini meradang, lalu menjadi permusuhan yang sengit. Mereka berdua tidak saling bicara. Efeknya, Nida mogok ikut les.

Beberapa kali teman-temannya coba mendamaikan, tapi keributan semakin besar. Yanti ikut bela Tri. Aku pikir, semakin dipaksa selesai, perselisihan ini akan semakin besar. Jadi aku biarkan saja semuanya merasa tenang dulu.

Aku mengajak kelompok 5 fokus pada proyek kami pekan ini. Anak-anak akan belajar trigonometri. Tentu kami tidak sekedar menghapal rumus, tapi juga harus mengaitkan ilmu pengetahuan dengan permasalahan yang ada di Kebun Sayur.

Bukan rahasia lagi kalau Kebun Sayur sering banjir. Aku meminta anak-anak untuk membuat lubang biopori yang berbentuk silinder.

"Untuk membuat lubang biopori, kita harus membuat lubang berbentuk silinder dengan diameter 10-30 cm dan kedalaman 80-100 cm. Lalu sepertiga dari lubang harus diisi dengan daun-daun. Antara satu mulut lubang dengan mulut lubang lainnya berjarak sekitar 15 cm. Coba kalian cari lahan untuk membuat lubang biopori ini. Hitung luasnya. Perhatikan jarak antar mulut lubang. Setelah itu hitung berapa lubang biopori yang bisa dibuat dalam lahan itu, agar kita bisa hitung biaya yang dibutuhkan."

Proyek ini secara langsung membuat anak-anak harus menghitung luas tanah, volume lubang biopori, jumlah biopori yang bisa dibuat dan biaya yang dibutuhkan. Praktis kepala anak-anak langsung berdenyut. Meski begitu, mereka tetap berusaha mengerjakan dan menggambar lebih dulu lubang biopori yang hendak dibuat. Seminggu ini anak-anak akan sangat sibuk.

Sore itu, aku tidak pulang dengan Nan. Kupikir, Nan harus menyelesaikan dulu urusannya dengan Kiara. Dan aku juga harus bersiap-siap untuk kembali mandiri tanpa Nan. Jujur saja, perlakuan Nan padaku selama setahun ini membuatku jadi sedikit manja.

Malamnya, aku bermimpi aneh. Aku melihat Nan berjalan bersama Rania. Mimpi menjelang Subuh biasanya benar. Aku rasa akan ada kejutan baru yang seharusnya sudah bisa aku tebak.

Dan, pagi itu, Nan menelpon ke rumah. Kebetulan aku sedang menyusun laporanku di rumah dan tidak pergi ke mana-mana. Lalu dialog itu pun terjadi.

"Rei, ada yang ingin aku katakan."

Jantungku berdegup. "Silahkan."

"Rei, aku suka dengan seorang perempuan, dan perempuan itu juga suka padaku."

Aku tersenyum kecut. "Lalu apa yang kalian tunggu?"

"Tidak ada. Aku sekarang pacaran dengan perempuan itu."

"Oh begitu…selamat ya."

"Rei tidak ingin tahu siapa perempuan itu…ah, Rei kenal kok."

"Rania?"

"Kok Rei bisa tahu?"

"Hahaha…hanya menebak…"

Aku tidak mungkin bilang kalau aku tahu dari mimpi. Jadi mereka akhirnya pacaran, padahal dua bulan lalu Nan bilang padaku dia masih kesulitan putus dengan Kiara. Apa yang sebenarnya terjadi? Ah, sudahlah, itu bukan urusanku lagi.

"Rei mau dengar ceritaku dengan Rania…seperti cerita mantan-mantan pacarku yang pernah aku ceritakan pada Rei. Aku dan Rania…"

"Nan, cukup!" Aku memotong kata-kata Nan.

"Jangan membandingkan perempuan yang pernah singgah dihatimu. Setiap orang yang datang dan pergi dalam hidup kita punya perannya sendiri. Dan, kalau tidak ada lagi yang ingin Kau bicarakan, aku ingin menyusun laporan penelitianku. Maafkan aku."

Telepon itu kumatikan. Entahlah, perasaanku campur-aduk. Tetapi di satu sisi juga bersyukur. Untunglah, ketidakjelasan ini berakhir. Aku tinggal menyusun rencana ke depan. Tidak ada yang lebih melegakan, selain keluar dari keadaan yang tidak bisa dikendalikan.

Dan perempuan itu, Kiara, maafkan aku Kiara, tapi kini aku terbebas dari rasa bersalah padamu. Semoga Kiara baik-baik saja.

Tetapi rupanya kejutan belum berakhir. Saat aku memeriksa laporan proyek lubang bipori kelompok 5, Nan datang bersama Rania di Kebun Sayur. Semua mata tertuju pada mereka. Lalu tertuju padaku. Seperti memintaku untuk bicara.

Haruskah aku gelar press conference — yang berisi pengumuman kalau Nan punya pacar baru. Astaga, sepertinya hari ini aku sedang sial. Siap-siap saja dihujani banyak pertanyaan. Nan menghampiriku dan mengajakku bicara berdua.

"Rania ingin mengajar di sini. Boleh kan Dia jadi pendamping di Kebun Sayur?"

Aku bingung mau jawab apa, tidak mungkin kutolak. Siapapun punya hak berbagi di Kebun Sayur. Tapi aku sendiri tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi? Bagiku sendiri ini sedikit membingungkan. Aku merasa agak canggung dan jengah.

Selama ini aku begitu dekat dengan Nan. Aku membagi ceritaku dengannya. Aku yang selalu memandangnya sebagai seorang pribadi — lepas dari statusnya sebagai kekasih orang. Sekarang ada Rania, pacar barunya Nan yang hadir diantara kami.

Ini akan jadi jarak ratusan hasta yang mengubah interaksiku dan Nan. Tentu saja, ini juga akan mempengaruhi hari-hariku di Kebun Sayur. Meski begitu, aku tetap mengangguk.

"Tentu saja boleh. Rania bisa menggantikan Dahan," ujarku sedikit tidak fokus.

Mataku masih menatap kertas proyek kelompok lima yang berisi gambar beberapa lubang biopori.

Tepat saat itu, Kebun Sayur mendadak heboh. Neni berlari padaku dan berteriak histeris.

"Kaaak….Riki dan Deni ditangkap polisi. Mereka tawuran di jalan tol."

Aku dan Nan langsung bertatapan. Ini akan jadi masalah besar. Wira sedang di luar negeri. Siapa yang bisa menyelamatkan anak-anak itu dari ancaman bui. Sepertinya Tuhan kasihan padaku, Dia tidak ingin otakku sibuk dengan pikiran yang hanya membuatku kehilangan daya. Tuhan isi kepalaku dengan masalah anak-anak di Kebun Sayur yang beranjak remaja.

Rogun berinisiatif minta bantuan teman-temanya di BEM. Anak-anak BEM itu cepat juga datangnya. Langsung mereka ke kantor polisi. Untuk sementara waktu, perkaran Nan dan Rania tidak lagi aku gubris. Penjelasan dari Polisi sungguh membuat kami tercengang.

Anak-anak lelaki yang baru menginjak usia remaja itu sengaja menantang orang-orang di depan Kantor Polisi. Mereka membawa benda-benda tajam dan melakukan pengrusakan. Ini benar-benar cari masalah namanya. Entahlah, kurasa anak-anak ini hanya sedang mencari perhatian.

Mereka memang dapatkan perhatian yang mereka mau. Meski akhirnya anak-anak ini dibebaskan, Kebun Sayur kadung heboh. Ayah Riki sangat marah dengan kejadian ini. Detik itu juga Riki akan dikirim ke Karawang, ayahnya tidak mau membiayai sekolah Riki — yang dianggap selalu bikin onar.

Anak-anak di kelompok 5 jadi sedih. Mereka meminta aku untuk melakukan sesuatu. Aku coba bicara dengan Riki — yang sepertinya sudah pasrah dengan apapun keputusan ayahnya. Tapi aku tidak mau tinggal diam.

Walau aku tidak pernah menganggap sekolah segala-galanya, tapi aku tidak bisa membiarkan satu saja anak di Kebun Sayur merasa patah arang karena putus sekolah. Aku mencoba bicara pada Nan, tapi kurasa sia-sia.

"Ini masalah keluarga, kita tidak bisa campur," kata Nan di pos sore itu.

Aku menggeleng. Wajahku memelas. "Tapi kita pendamping anak-anak itu. Bicaralah pada ayah Riki sebagai dua orang lelaki dewasa. Kita tidak bisa mengorbankan masa depan Riki. Dia tidak boleh putus sekolah. Hatinya akan sangat hancur. Nan, Riki akan merasa tersisih dan bisa kehilangan rasa percaya diri."

Nan menarik napas. "Huff…akan aku coba, tapi aku tidak bisa menjajikan apa-apa."

Aku meninggalkan Nan dan pulang sendiri. Sejak Rania menjadi pendamping di Kebun Sayur, tentu aku tidak diantar Nan ke terminal. Nan pulang bersama Rania. Aku kembali jadi penghuni angkot yang remnya lebih sering blong.

Begitu sampai terminal, preman terminal sudah menanti dengan 1001 curahan hatinya. Aku khusyuk mendengar jeritan kalbunya sambil terus mengunyah gorengan.

Tidak lama setelah peristiwa itu, satu per satu pendamping di Kebun Sayur mulai undur diri. Setelah kepergian Dahan ke Jogja, Lilian memutuskan menjadi pengacara di kantor hukum ternama. Setiap sabtu dan minggu, Lilian masih harus berkutat dengan tugas kantor. Tidak ada waktu lagi untuk Kebun Sayur.

Lingga menikah beberapa waktu lalu dan berhenti menjadi pendamping. Dia melangsungkan pernikahan yang meriah di Kebumen. Berhubung aku tidak bisa datang, Lingga memberiku souvenir pernikahan yang berupa buku Yassin.

Aku melongo menerima cinderamata sakral itu.

"Ling, kamu nikahan atau tahlilan? Kok pakai Yassin?"

"Iih…kalau nikah di Kebumen memang begitu. Souvenir nikahnya itu Buku Yassin," ujar Lingga membela diri.

Aku terpaksa percaya pada Lingga. Meski pernyataan Lingga ini dibantah habis-habisan oleh Laras — yang juga asli Kebumen. Setelah pembagian Kitab Yassin itu, aku tidak pernah lagi bertemu Lingga.

Beberapa pendamping memilih melanjutkan sekolah. Manda menyusul Wira, belajar di Amerika. Sedang Surya tengah menyusun proposal beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Sorbone, Prancis. Laras menjadi staf ahli di DPR.

Nenden mengambil keputusan yang tidak terduga, dia menjadi guru di perbatasan Kalimantan. Kak Gigih kembali dipanggil ke Lombok untuk mendampingi koperasi petani. Dan aku, aku ingin kehidupan dan pengalaman yang baru. Aku butuh udara yang berbeda.

Pendamping sepakat untuk berembuk. Mungkin kami harus mencari orang-orang baru. Seperti sudah kuprediksi, akhirnya perpisahan ini tidak bisa lagi dihindari. Kami harus berpencar untuk menuntaskan mimpi masing-masing.

Sebelum rekrutmen disebar, Rogun datang membawa kabar baik. Pendampingan Kebun Sayur akan menjadi program BEM selama lima tahun ke depan. Ini artinya, sampai lima tahun dari sekarang, mahasiswa-mahasiswa di Fakultas Hukum yang akan diterjunkan sebagai pendamping di Kebun Sayur.

Aku bisa bernapas lega. Semua akan baik-baik saja. Anak-anak di Kebun Sayur tetap bisa belajar tanpa harus tergangu dengan masalah yang mendera para pendamping.

Meski mulai menyerahkan urusan kurikulum pada Rogun, aku tetap memantau perkembangan kasus Riki.

Hampir sebulan di Karawang, ayahnya Riki akhirnya melunak. Riki kembali diizinkan sekolah setelah membuat perjanjian dengan orang tuanya. Tuntas masalah Riki, giliran Yanti yang membuat kepalaku pening.

"Assalamualaikum, Kak, ini Yanti… huhuhu…hiks…."

Suara Yanti terdengar parau. Sesekali diiringi isak tangis. Aku sedang ada di Jambi saat Yanti menelpon.

"Waalaikumsalam, Yanti kenapa?"

"Kaaak….Yanti boleh tinggal di rumah Kakak?"

Jantungku berdegup. "Memang kenapa?"

"Yanti mau dinikahkan sama orang tua Yanti, Kak….Yanti masih mau sekolah…belum mau nikah…Yanti juga tidak suka dengan lelaki pilihan orang tua Yanti…." Yanti terus bicara sambil sesegukan.

Aku menarik napas sebentar. "Yanti sekarang di mana?"

"Yanti kabur, Kak."

"Astaghfirullah, kabur ke mana?"

Aku panik bukan kepalang. Hampir saja aku punya rencana gila, pesan tiket ke Jakarta dan langsung minggat dari Jambi. Keluar dari area sawit yang membuatku gerah.

"Yanti kabur ke rumah Nida, Kak."

Aku menghembuskan napas lega. Rumah Nida berada persis di seberang rumah Yanti. Sungguh kabur yang sangat bijak. Tidak perlu terlalu jauh. Tidak susah-susah amat untuk dicari.

"Ya sudah, Yanti di rumah Nida dulu ya…Kakak masih di Jambi. Nanti Kakak hubungi kakak pendamping yang lain ya untuk menemani Yanti...jangan ke mana-mana, di rumah Nida saja."

Aku meminta Nan untuk melihat keadaan Yanti, karena hanya Nan yang punya waktu agak lowong. Tapi Nan menolak ikut campur dalam urusan Yanti. Nan kan lelaki, masa mengurus gadis remaja yang kabur dari rumah. Apa nanti kata orang tua Yanti? Kupikir alasan Nan kali ini masuk akal.

Begitu aku pulang, aku langsung menemui Yanti. Masalahnya sudah beres. Hanya salah paham kecil. Orang tua Yanti memang mengenalkan Yanti dengan lelaki pilihan mereka. Tetapi tidak ada pemaksaan.

Setelah berbicara dengan tenang, orang tua Yanti sepakat untuk membiarkan Yanti sekolah dulu dan menggapai cita-citanya. Sementara waktu, tidak akan ada pembicaraan tentang perjodohan.

Begitulah drama yang harus aku jalani selama sebulan penuh. Kepalaku berdenyut, hatiku teriris, mataku memerah, dan aku benar-benar ling-lung. Lebih dari apapun, aku perlu keluar dari seluruh kekacauan ini. Aku butuh jeda itu. Spasi yang membuat kata-kata dalam benakku tidak kehilangan makna.