webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

PERAYAAN

"Jadi kakak menginap di Kebun Sayur?" Mata Neni berbinar menatapku.

"Iya…itupun kalau boleh…" Aku tersenyum melihat wajah-wajah yang selalu kurindu. Adik-adikku yang manis.

"Yeee….boleh dong, Kak. Nanti tinggal di rumah aku yaa…." Yanti memintaku menginap di rumahnya.

Aku senang sekali. Tahun baru sudah lewat dan dua hari lagi aku ulang tahun. Kurasa momen spesial ini harus kurayakan dengan adik-adik manis ini, anak-anak kelompok 5 yang selalu berhasil membuat hariku bebas hambatan.

Selama tiga hari aku menyepi di Kebun Sayur. Telepon selulerku sengaja aku matikan. Aku tahu Nan akan sering menelpon. Tapi kupikir memang sudah saatnya menghindari Nan.

Toh, lelaki itu juga tidak bisa memutuskan apapun. Dia boleh bingung dengan hidupnya sendiri. Tetapi aku punya hak untuk tidak ikut terjebak dalam kebingungannya.

Hari pertama di Kebun Sayur, aku mengajak anak-anak kelompok 5 diskusi tentang ketahanan pangan. Beberapa waktu lalu, Kebun Sayur dilanda cuaca ekstrim. Hujan es turun mengguyur kami yang sedang belajar. Seketika anak-anak heboh.

"Kakaaaak….aku mau pulang, jemuran aku belum diangkat" Johan langsung berlari meninggalkan Lingga yang hanya bisa mengelus dada.

Sementara Maya menangis histeris. "Huhuhu….rumahku pasti roboh kena hujan es. Atap rumahku kan sudah miring."

"Kasihan Kak, Maya takut rumahnya rubuh." Neni memeluk Maya erat.

"Ayo kita sama-sama ke rumahnya Maya." Iyom selalu punya inisiatif yang membuatku merasa bangga.

Tri dan Iyom mengambil payung dari rumah mereka. Kebetulan rumah mereka yang paling dekat dengan pos. Kami lalu menerabas hujan es yang jatuh di atas payung. Bunyinya kencang juga. Apalagi kalau mengenai atap Mushola.

Sampai rumah Maya, aku benar-benar prihatin. Benar saja, atapnya bolong dan rumahnya miring. Kami menemui ibunya Maya sebentar, lalu kembali mengelilingi Kebun Sayur. Melihat-lihat kondisi Kebun Sayur saat hujan es berlangsung.

Tidak lama setelah itu, harga cabai melangit. Petani dan penjual sayur dibuat kelimpungan. Banyak yang menyalahkan Pemerintah. Sedikit yang tahu, kalau petani cabai mengalami gagal panen karena ada perubahan cuaca. Masyarakat tidak mau tahu, kalau perubahan iklim berimbas besar pada ketahanan pangan.

Tidak bisa dipungkiri lagi, perubahan iklim juga berpengaruh pada pengelolaan sawah di kebun Sayur. Dan siang itu, hari pertama menginap di Kebun Sayur, aku mengajak anak-anak kelompok 5 diskusi di pos. Kami membahas ketahanan pangan dan kaitannya dengan perubahan iklim.

Anak-anak lalu berpencar untuk mencari tahu jadwal panen di Kebun Sayur. Mereka dengan cermat menghitung musim tanam dan musim panen semua tanaman yang ada di Kebun Sayur. Tentu yang paling cepat panen adalah pohon pisang. Sedang sayur-sayuran butuh waktu cukup lama.

Dari perhitungan sederhana yang dibuat anak-anak, bisa aku prediksi, beberapa tahun lagi, kebun-kebun di Kebun Sayur ini akan hilang. Pertanian memang kian tergusur dengan industrialisasi, ditambah lagi dengan perubahan iklim yang mengacaukan musim tanam dan musim panen. Petani jadi bingung waktu yang tepat untuk menyebar benih.

Sepertinya butuh terobosan baru dalam sistem pertanian di Kebun Sayur. Mungkin dengan sistem hidroponik.

Ingin sekali aku bicarakan masalah ini dengan Wira. Selama ini, Kebun Sayur sulit digusur karena alasan lahan produktif yang dikelola oleh warga.

Kebun-kebun inilah yang menjadi daya tarik dan kekuatan advokasi yang digawangi oleh Wira. Jika nantinya kebun-kebun ini hilang, aku khawatir posisi warga Kebun Sayur akan melemah. Kebun Sayur jadi tidak ubahnya dengan pemukiman padat penduduk yang terkesan kumuh.

Sayang, awal tahun ini Wira berangkat ke Amerika. Wira mendapat beasiswa mengikuti pelatihan HAM selama enam bulan. Proses advokasi di Kebun Sayur terhenti sejenak. Belum ada yang dianggap pantas menggantikan posisi Wira.

Anak-anak sendiri sepertinya mulai cemas. Mereka peduli sekali dengan keberadaan kebun-kebun di Kebun Sayur. Bagaimanapun, anak-anak bertahan hidup dan punya biaya untuk sekolah dari hasil kebun itu. Diskusi kami belum menemukan benang merah.

Malamnya, aku menginap di rumah Yanti. Anak-anak kelompok 5 yang lain juga ikut menginap. Mereka ramai sekali. Rumah Yanti dipilih karena ada MCK. Sudah dua tahun aku di Kebun Sayur dan tetap sulit menemukan MCK.

"Yang boleh masuk kamar mandi keluargaku cuma saudara, Kak, yang lain tidak boleh," kata Yanti sengit.

"Hahaha…berarti aku sudah diangkat jadi saudara."

Yanti iku tertawa. "Hahaha…Kakak kan sudah kayak keluarga sendiri."

Tidak ada yang lebih menyenangkan dari menemukan keluarga-keluarga baru yang bisa menerimaku dengan tulus dan penuh kasih. Sepanjang malam, anak-anak itu tidak habis bercerita. Mereka membagi mimpinya denganku. Menabung harapan untuk masa depan yang lebih baik. Anak-anak petani yang hampir digusur ini, Tuhan titipkan mereka sejenak, dalam pelukanku.

"Semakin tinggi karir, semakin besar pula resikonya. Semakin tinggi cita-cita, semakin besar juga usaha dan pengorbanannya." Kata-kataku mengantar anak-anak itu memejamkan mata.

Esoknya, kami bangun pagi-pagi. Aku lihat ibu dan bapaknya Yanti sudah mendorong gerobak sayur setelah sholat Subuh. Sepagi itu mereka keluar mencari nafkah. Kami juga keluar pagi-pagi. Mencari nasi uduk di dalam Kebun Sayur.

Pagi itu kutemui ibunya Arkim yang sedang membersihkan kangkung dan bayam. Hasil petikan kemarin sore. Sedang Pak De — petani tua yang dihormati warga Kebun Sayur — juga sudah menyiram kebun miliknya. Ibunya Neni tengah memetik sawi di kebun. Nida sedang latihan bernyanyi dengan band kesayangannya.

Meski hidup sebagai petani dan tukang sayur, banyak juga ibu-ibu yang ikut arisan. Tidak tanggung-tanggung, sehari setor Rp 50.000,00. Ternyata pendapatan sebagai penjual sayur lumayan juga. Beberapa bank keliling — yang lebih mirip dengan lintah darat — terlihat hilir-mudik di Kebun Sayur. Hmm, ternyata banyak juga warga yang terjebak hutang dengan lintah darat alias renternir.

Biarpun masih banyak persoalan di Kebun Sayur yang membuat kepala geleng-geleng, tapi ada juga yang menggembirakan. Sebagian besar orang tua sudah sadar pentingnya pendidikan. Cara mereka mengasuh anak pun mengalami kemajuan.

Sudah jarang terdengar orang tua yang mencaci-maki anaknya. Beberapa orang tua muda malah senang membacakan anak-anaknya cerita sebelum tidur. Ini efektif membantu anak-anak bisa membaca dan menulis lebih cepat.

Mereka juga mulai menabung untuk biaya kuliah anak-anaknya. Aku senang sekali. Dua tahun di Kebun Sayur, memang belum terlalu lama untuk mengubah pola pikir dan budaya yang langgeng belasan tahun. Tetapi dengan kesadaran pendidikan yang meningkat, aku optimis, kesejahteraan hidup di Kebun Sayur juga akan membaik.

Siang itu, anak-anak menghilang saat aku sedang membersihkan Mushola. Hanya ada Yani yang datang membawakan buah ceri kesukaanku. Kami belajar sebentar. Sekalian aku pantau pembangunan ruang belajar yang baru. Cepat juga prosesnya. Warga bahu-membahu membangun ruang belajar yang baru dengan sumbangan seadanya.

Dengan jerih payah warga ini, rasa kepemilikan warga terhadap proses belajar di Kebun Sayur kian erat. Mungkin ini menjadi hadiah ulang tahun terbaik dalam hidupku.

Hujan kembali mengguyur Kebun Sayur, menjelang sore. Tanah jadi becek dan licin. Tetapi tidak gampang amblas seperti dua tahun lalu. Jalan utama di Kebun Sayur sudah diaspal. Hanya jalan-jalan di dekat sawah saja yang masih tanah. Warga yang membangun ruang belajar baru, berhenti sejenak. Tidak lama, kulihat Iyom dan Neni basah kuyup.

Aku kembali ke rumah Yanti. Anak-anak ganti baju dan terjebak di rumahnya masing-masing. Setelah shalat Maghrib di Mushola, baru batang hidung mereka terlihat lagi.

Kami pulang dari Mushola menggunakan mukena yang belum dilepas. Mengingatkanku pada suasana Maghrib di pedesaan. Sementara anak-anak yang lebih kecil tinggal di Mushola. Belajar mengaji dengan dai muda berwajah tampan.

Anak-anak kelompok 5 berkumpul lagi di rumah Yanti. Belajar bersama untuk persiapan ujian. Bagi Neni dan Maya, ini menjadi ujian kelulusan. Dua anak gadis ini tampak stres. Yanti dan Iyom membantu mereka mengerjakan soal-soal ujian tahun kemarin.

Aku tidur duluan, anak-anak katanya masih ingin belajar. Tapi aku tahu, mereka sebenarnya punya rencana lain.

Menjelang tengah malam, suasana di rumah Yanti berisik sekali. Aku yang setengah terjaga berkali-kali menahan diri agar tidak tertawa dan tetap pura-pura tidur.

Tepat jam 00.00, anak-anak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Aku bangun dan pura-pura terkejut. Namun apa yang aku lihat ternyata membuatku benar-benar terdiam. Bukan kue tart yang aku temui, tapi dua loyang bolu pandan. Sedang lilin yang menyala ternyata dipegang oleh Neni, karena gagal ditancap di bolu pandan yang gampang hancur.

"Maaf ya, Kak, Kami sudah cari kue tart ke mana-mana, tapi tidak ada…." Kata Iyom dengan wajah memelas.

"Iya Kak, kami sampai kehujanan cari kue tart buat Kakak, tapi kue ini enak kok, Kak. Aku sudah coba…Kakak juga coba ya," ujar Yanti dengan wajah tidak kalah memelasnya.

"Lilinnya aku pegang saja ya, Kak, kalau ditaruh di bolu pandannya nanti jatuh…ayo dong Kakak tiup lilinnya." suara Neni terdengar tulus diantara gelap malam.

Aku meniup lilin. Gelap. Yanti menyalakan lampu. Bisa kulihat balon, hiasan warna-warni dan dua loyang bolu pandan dengan jelas. Juga wajah anak-anak kelompok 5 yang semuanya berkumpul di rumah Yanti.

Air mataku menetes. Anak-anak ini begitu tulus. Ah, Mahia Areta, ada banyak cinta dalam hidupmu. Tidak jadi nelangsa nasibmu hanya karena hilangnya satu lelaki. Malam itu, kurasakan hidupku lengkap dan diriku benar-benar utuh. (Bersambung)