webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

INTELEKTUAL ORGANIK

Langkahku menjejak lagi di tempat ini. Tanah becek yang dulu bersahabat dengan alas kaki, sudah lama tidak dijumpa lagi. Jalan di dalam Kebun Sayur banyak yang sudah di aspal. Beberapa rumahnya jadi permanen.

Sepertinya warga merasa aman dari penggusuran. Beberapa waktu belakangan, isu penggusuran memang raib bersama pergantian puncak kepemimpinan di tingkat provinsi. Wakil rakyat yang pernah datang ke Kebun Sayur waktu itu, sukses menjadi Wakil Gubernur.

Pendampingan pendidikan anak-anak juga berjalan lancar. Adik-adik dari BEM sudah menggantikan pendamping lama sebulan terakhir. Mungkin hanya Nan yang masih bolak-balik Kebun Sayur. Kadang Kak Gigih dan Laras juga menyempatkan mampir. Aku sendiri baru kembali setelah batik trip ke beberapa daerah.

Meski semuanya tampak baik-baik saja, ada juga masalahnya. Laras mengeluhkan pendamping baru yang terlalu royal pada anak-anak. Mayoritas pendamping baru ini memiliki materi berlebih dan belum pernah terjun ke masyarakat. Sangat wajar jika mereka menilai kasih sayang dengan cara bagi-bagi makanan dan barang setiap minggu.

Beberapa pendamping juga terlalu memanjakan anak-anak, hasilnya, justru mereka yang dimanfaatkan. Terkadang anak-anak di Kebun Sayur sangat manipulatif. Jika dibiarkan, anak-anak ini akan mengendalikan orang dewasa dengan rengekan dan ancaman yang tidak berkesudahan. Laporan lainnya datang dari warga — yang merasa pendamping baru terlalu menjaga jarak dan belum bisa membaur dengan warga Kebun Sayur.

Rasa-rasanya ini kesalahan kami juga. Pendamping baru ini kan rata-rata mahasiswa yang belum kenal masyarakat, wajar kalau mereka masih gagap. Semestinya ada latihan dulu sebelum mereka benar-benar menghadapi warga Kebun Sayur dengan segenap dinamika di dalamnya.

Kak Gigih mengusulkan agar pendamping baru ini "diselokahkan" saja dulu di desa. Sambil dilibatkan dalam program pemberdayaan masyarakat. Urusan ini aku serahkan pada Ben, pendamping baru di Kebun Sayur. Dia baru saja pulang dari Prancis. Kebetulan Ben semangat sekali saat aku cerita tentang Kebun Sayur. Agar rencana ini lancar, kami diskusi dulu dengan pendamping baru.

"Saya bangga sama kalian, kalian ini intelektual organik."

Kak Gigih mengulang lagi konsep intelektual organik ala Gramscy.

Pendamping baru yang sehari-hari bergulat dengan khayalan Immanuel Kant dan Van Vollen Hoven itu melongo. Teori Gramscy tidak pernah masuk bahasan Ilmu Negara, apalagi Hukum Dagang.

Kalaulah ada mata kuliah yang sedikit berteori dan berfalsafah, itu hanya mata kuliah Filsafat Hukum. Ini pun paling-paling cuma membahas romantisme Von Savigny. Jadi siapa pula Antonio Gramscy? Apa itu intelektual organik?

"Bedanya intelektual organik sama yang bukan organik, apa Kak?" Akhirnya Meisya berani bertanya.

Si konyol Nanda malah menyela. "Kalau organik tambah Rp. 500,00…hahaha…"

Meisya langsung menepuk tangan Nanda.

"Yeee…memangnya nasi di fast food, kalau organik tambah Rp 500,00."

"All men are intellectual; but not all men have in society the function of intellectuals. Ada yang namanya intelektual tradisional. Mereka yang hanya melihat ilmu sebatas kertas. Bicara kemiskinan hanya berdasar BPS, misalnya. Tanpa melihat realita di lapangan. Inteletuak organik kebalikannya. Intelektual organik adalah orang-orang terpelajar yang terjun langsung menggunakan ilmu mereka untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat," ujar Kak Gigih lagi.

"Intelektual organik sederhananya seperti kalian ini, tidak hanya belajar teori keadilan di kelas, tapi terjun langsung di masyarakat untuk mengupayakan keadilan. Salah satunya keadilan dalam mendapat akses pendidikan yang baik," tambahku.

Kak Gigih mengangguk beberapa kali. "Tapi itu saja tidak cukup, untuk bisa mendampingi masyarakat, harus tahu modal sosial yang ada di masyarakat. Beda masyarakat, beda juga modal sosialnya. Cara menghadapinya juga beda."

"Nah, modal sosial itu apa Kak?" Sekarang giliran Hari yang penasaran.

"Itulah, kalau cuma jadi bahan diskusi tidak seru. Harus dicoba langsung. Saya sudah bicara dengan Wakil Ketua BEM. Jadi bagaimana Naldi?" Kak Gigih langsung konfirmasi ke Naldi.

Naldi mengatur posisi duduknya. "Saya setuju saja dengan usulan untuk program live in di desa…apa namanya?"

"Mandalamekar." Bentang Mandala alias Ben, sahabat baru kami, dengan bangga menyebut tempat kelahirannya.

"Iya Mandalamekar…aduh, lupa terus…," ujar Naldi lagi. "Nanti Kak Ben yang akan atur semuanya?"

"Tenang saja, untuk akomodasi, konsumsi dan program, itu urusan saya dan Rei. Kalian tinggal urus masalah transportasi. Saran saya jangan naik bus yang besar ya, tidak cukup masuk ke jalan desa."

"Siap Kak Ben." Naldi menoleh ke arah Jonathan. "Jo, naik bus kampus bisa?"

Jonathan mengangguk mantap. "Bisa Nal, tenang saja, nanti biar teman-teman yang urus izinnya."

Wajah Naldi terlihat begitu optimis. "Oke, jadi juga kita main di desa…bakal seru nih!"

Senyumnya merekah bahagia.

Dua minggu kemudian kami berangkat. Sengaja dipilih malam hari, biar tidak banyak waktu yang terbuang. Sekitar tiga bus disiapkan Jonathan. Dari pendamping lama, hanya aku, Laras, Kak Gigih dan Nan yang ikut. Kawan-kawan yang lain sudah menjemput mengembara dengan harapnya masing-masing.

Laras duduk tepat di sebelahku. Dia langsung menenggak Tolak Angin. Laras gampang mabuk perjalanan, antimo saja sudah tidak mempan. Tadinya soal mabuk perjalanan ini, kupikir Laras yang paling parah.

Ternyata pendamping-pendamping yang baru banyak yang lebih parah. Ada yang menelan incidal atau ctm. Bisa dipastikan mereka bukan hanya sekedar tidur sepanjang perjalanan, tapi juga mati suri.

Pada sepertiga malam, bus yang kami tumpangi sudah memasuki area Mandalamekar. Bus ini adalah bus yang sama yang menemani hari-hariku saat jadi mahasiswa. Ada banyak kenangan tersimpan dalam bus yang hampir tua dan sering diparkir di tempat angker. Kini bus tua ini pula yang menemaniku membelah malam dari Jakarta hingga Tasikmalaya.

Melihat bus yang kami tumpangi, Pamannya Ben mengelus dadanya berkali-kali. Pasalnya bus yang sehari-hari keliling kampus ini sebenarnya tidak layak melewati jalan masuk Mandalamekar yang rusak, terjal dan licin.

Seluruh warga Mandalamekar akhirnya dikerahkan untuk membantu tiga bus melintas. Sedang supir bus sudah berkali-kali mengeluh. Sepertinya dia menyesal sekali mengantar kami ke Mandalamekar.

Drama bus yang oleng kiri dan kanan akhirnya berakhir menjelang Subuh. Kami bisa masuk Mandalamekar dengan tentram. Awalnya semua yang datang ditampung di rumah Kepala Desa Mandalamekar. Baru setelah itu dibagi ke beberapa rumah penduduk. Aku dan Laras tetap tinggal di tempat Kepala Desa.

Begitu pagi datang, warga Desa Mandalamekar menyuguhkan kami sarapan khas Sunda yang lezat. Juga teh panas yang cocok dinikmati dalam udara dingin. Kulihat wajah pendamping baru tampak kuyu.

Beberapa memandang telepon selularnya dengan putus asa. Tidak ada sinyal di Mandalamekar. Tetapi di area dekat sekolah dan balai desa ada wifii yang cukup cepat. Ini hasil perjuangan aktivis lingkungan dan Kepala Desa yang berusaha membuat Mandalamekar punya akses internet cepat. Kebetulan keduanya adalah pamannya Ben.

Rencananya wifii ini juga akan melingkupi seluruh wilayah Desa Mandalamekar.

Pagi ini belum banyak aktivitas yang terlampau berat. Pendamping baru diajak untuk mengenal diri mereka sendiri. Ben mengajak dua temannya yang juga trainer. Salah satunya adalah Deni yang jago hipnotis.

Deni juga bisa melakukan hypnotherapy. Alhasil, keberadaan Deni malah dimanfaatkan pendamping baru yang punya masalah personal. Kulihat Deni seperti paranormal yang tengah buka praktek konsultasi jodoh, karier dan kesehatan. Mudah-mudahan tidak ada yang minta bocoran soal UAS.

Selagi pendamping baru sibuk dengan materi-materi pengembangan diri yang diberikan Ben, aku bersama beberapa anak Desa Mandalamekar naik ke bukit. Ada beberapa bukit di desa ini. Kami menapaki bukit yang tidak jauh dari sekolah — yang dibangun oleh ayah Ben. Anak-anak yang menemaniku ini juga murid-murid dari sekolah itu.

Kami ingin mencari daun pakis untuk ditumis nanti. Memang menyenangkan sekali tinggal di desa. Segala bahan makanan tercukupi. Mau makan ikan, tinggal ambil di empang. Telur dan ayam tersedia di kandang. Stok beras hasil panen juga masih aman. Kalau ingin makan sayur, tinggal cari di kebun dan hutan.

Nah, berhubung pakis ini masuk dalam keluarga paku-pakuan, mencarinya sedikit susah. Tidak bisa dipetik di kebun. Pakis tumbuh liar di dalam hutan. Mesti teliti mencarinya. Kadang tersamar dengan tumbuhan lain.

Menyusuri bukit ternyata bukan perkara yang mudah. Jalan menanjak lumayan terjal. Beberapa kali aku terpeleset. Untung ada anak-anak desa yang setia membantuku. Mereka juga membawa arit untuk mencabut pakis. Lihai sekali tangan dan kaki mereka.

Anak-anak yang dibesarkan bersama alam.

Sampai di puncak bukit, kami istirahat sebentar di pondok bambu yang dibangun pamannya Ben. Katanya beliau sering menyepi di sini. Pondok ini juga sering dijadikan tempat diskusi dengan kawan-kawannya.

Aku naik ke lantai dua pondok bambu. Ada bekas kopi yang mengering. Sepertinya belum terlalu lama. Persis di sebelah gelas kopi, dua jilid Das Kapital karya Karl Marx ditumpuk paling atas. Buku-buku di bawahnya tidak cukup familiar untukku.

Aku mengambil Das Kapital jilid 1. Membolak-balik halamannya di dekat jendela besar di mana jalan setapak menuju hutan terlihat jelas. Buku ini milik pamannya Ben. Pertemuanku dengan lelaki yang belum sampai setengah abad itu terjadi beberapa waktu lalu, saat Ben mengundangku dalam Festival Kidul di Desa Mandalamekar.

Bagi penggiat desa, nama beliau tentu tidak asing lagi. Beliau juga dikenal sebagai aktivis lingkungan. Ben sempat cerita padaku, pamannya itu pernah diminta untuk membuka akses ke Raja Ampat, Papua. Saat itu, semua utusan yang datang gagal total. Hanya beliau yang bisa diterima dengan baik oleh masyarakat adat yang ada di Raja Ampat.

Setelah memutuskan berhenti bekerja pada salah satu NGO internasional, pamannya Ben memboyong seluruh tabungannya untuk membeli tanah di area gunung dan Mandalamekar. Dia memutuskan untuk pulang kampung dan membangun desa. Tanah yang dibelinya lalu ditanami pohon jati.

Memang beberapa tahun lalu Desa Mandalamekar sempat menderita kekeringan. Tanah yang ada di bukit dan gunung tandus sehingga membuat mata air jadi kering. Ketika beliau kembali ke Mandalamekar, hal pertama yang dilakukan adalah mengatasi masalah kesulitan air. Baru kemudian membentuk kelompok tani dan memperkuat komunitas.

Itulah alasannya, aku ingin pendamping baru tinggal beberapa hari di Mandalamekar. Mereka bisa melihat bagaimana desa ini tumbuh menjadi desa yang mandiri, berdaya dan ramah lingkungan. Kebetulan pamannya Ben sedang ada di Mandalamekar. Akan sangat menyenangkan jika malam nanti kami bisa diskusi sebentar.

Tidak terasa setengah jam sudah aku berada di dalam pondok bambu. Kuletakkan buku Das Kapital Jilid 1 di tempat semula. Langkahku menuruni anak tangga, yang juga terbuat dari bambu, dengan hati-hati.

Banyak juga pakis yang kami dapat pagi itu. Pasti ini akan jadi santapan siang yang istimewa. Apalagi mengingat mendapatkannya sungguh tidak mudah.

Ben masih diskusi dengan pendamping baru saat aku kembali ke rumah Kepala Desa. Sebentar lagi makan siang. Pakis yang kami bawa langsung ditumis ibu-ibu di dapur.

Beginilah kalau ada tamu. Ibu-ibu yang ada di desa dikumpulkan di rumah Kepala Desa, meliwet nasi bersama-sama.

Usai makan siang, kegiatan dilanjutkan di Sekolah. Kami bicara tentang masyarakat, pendidikan dan mimpi akan Indonesia yang lebih baik.

Deni kemudian melakukan hypnotherapy. Beberapa orang terlihat histeris. Ada yang sampai sesegukan. Hanya aku dan Laras yang melongo dan tertawa-tawa. Sepertinya kami tidak mempan dihipnotis. Semua sugesti yang disisipkan Deni pelan-pelan ke dalam benak tidak bisa masuk sempurna.

Sadar kalau kami hanya mengganggu ritme yang tengah dimainkan, Ben mengusirku dan Laras keluar. Kami berdua masih saja tertawa. Heran melihat orang-orang yang bicara sendirian. Bahkan sampai ada yang jonggok dan berjalan tanpa arah.

Mereka seperti orang-orang yang bingung. Untunglah sore cepat datang. Kami terbebas dari sugesti yang lebih mirip lantunan syahdu mantra bertuah. Mereka yang merasa lelah memilih untuk tidur, merenung, dan melamun. Beberapa tetap mendatangi Deni untuk konsultasi lanjutan.

Hanya Meisya saja yang terus berceloteh tanpa bisa dihentikan. Gadis bumi Sriwijaya ini polos dan cerewet. Sedang Bianca — gadis keturunan Tionghoa yang tadinya aku pikir manja — ternyata begitu menyenangkan dan santai. Dia tidak rewel dan sangat mandiri. Benar juga, kita baru bisa mengenali seseorang dengan utuh saat melakukan perjalanan bersama. (Bersambung)