webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

TANDA BINTANG DI TEMBOK RUMAH

Hari ini cuaca di Kebun Sayur sedang cerah. Yani, anak perempuan yang duduk di kelas tiga, berlari ke arahku. Tangan yang awalnya terkepal dibuka tepat di depan mukaku. Terlihat buah-buah kecil berwarna merah.

"Ini buah ceri, Kak, aku petik buat Kakak," katanya polos.

Ada binar di mata kecilnya. Gambaran tulus hati dari jiwa yang lugu. Malaikat kecil tanpa sayap memanjat pohon ceri untukku. Siapa yang tak lantas jadi bahagia? Tidak pernah aku coba buah ceri. Baru kali ini kucicipi.

Sekedar ingin menyenangkan hati Yani yang susah-payah memanjat pohon. Berhubung buah ini manis dan bikin ketagihan, semua buah ceri yang ada di tangan bocah perempuan itu kuhabiskan. Dia senang. Aku kenyang.

Zubaedah, Sapnih dan Sofie datang kemudian. Mereka bosan belajar. Ingin jalan-jalan saja katanya. Kupikir tidak ada salahnya.

Pengalaman mengantar anak kecil beberapa waktu lalu membuatku semakin penasaran dengan setiap sisi Kebun Sayur. Meski begitu, kami harus sangat hati-hati. Banyak anjing yang siap menggerakkan ekornya dan berlari mengejar kami.

Yani dan Zubaedah berjalan paling depan, menunjukkan jalan. Kami memulai dari kebun-kebun warga Karawang. Lalu lanjut ke area warga Batak. Tempat ini memang seperti terbagi dua wilayah, meski tak ada pembatas khusus.

Wilayah depan banyak dihuni warga dari Karawang. Mereka menggarap lahan di Kebun Sayur, menjual sayuran dan beragama Islam. Sedang wilayah belakang didominasi warga Batak. Kebanyakan bekerja sebagai supir angkutan umum, pemulung, pengrajin kasur Palembang dan beragama Nasrani.

Sudah belasan tahun dua suku ini tidak pernah akur. Ibarat Korea Utara dan Korea Selatan. Benci-benci tapi rindu. Saling sinis, tapi tidak melepaskan diri satu sama lain.

Pernah ada ternak ayam yang mati. Dituduhlah warga Batak yang menyebar racun. Begitu juga sebaliknya, jika ada masalah di wilayah Batak, warga Karawang yang disalahkan. Rasa saling benci ini diwariskan sampai anak-cucu. Hasilnya, anak-anak yang les pun ikut terpecah.

Berkali-kali dilakukan cara agar anak-anak bisa membaur. Salah satunya dengan mengganti jam belajar — dari awalnya jam 11.00 menjadi jam 14.00. Setiap minggu pagi, anak-anak Batak harus ikut sekolah minggu di Gereja.

Ini saja anak-anak Karawang sudah protes. Kenapa pula mau les saja harus tunggu anak-anak Batak pulang dari Gereja? Butuh waktu yang panjang untuk membuat anak-anak mengerti toleransi.

Anak-anak tetaplah produk turunan orang dewasa. Jika yang tua ribut, yang muda ikut-ikutan. Memang bukan salah mereka. Belasan tahun kehilangan cinta dalam hidup. Lalu terjebak konflik tanah. Setiap saat melihat orang tua frustasi memikirkan nasib rumah mereka. Setiap saat pula melihat keributan di depan mata.

Anak-anak ini berpikir melampaui tugas perkembangannya. Bagaimana mau bermain bebas, jika dibayangi nasib buruk akan terusir dari rumah? Pernah Surya meminta anak-anak belajar menulis surat. Terserah, surat apa saja.

Ada yang menulis surat ucapan terima kasih untuk pendamping. Tapi ada juga yang menulis surat untuk Gubernur Jakarta. Anak ingusan yang belum bisa menguncir rambutnya sendiri itu memohon agar Gubernur Jakarta tidak menggusur rumahnya. Siapa tak merana membacanya? Anak sekecil itu.

Suatu hari, kami mengadakan buka puasa bersama. Syukurlah, kami mendapat donasi dari Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang terkenal. Kami disumbang 800 nasi bungkus.

Jumlah yang sangat banyak untuk acara buka puasa. Dengan 800 nasi bungkus, bukan hanya warga Karawang-Muslim yang dapat jatah, tapi juga warga Batak-Nasrani.

Sejak itu, mulai ada yang berbeda. Warga melihat kami tidak membedakan orang-orang hanya dari suku ataupun agama. Hati mereka kian terbuka untuk kami. Anak-anak mereka boleh bermain dan belajar bersama kami. Walau tidak bisa instan, minimal anak-anak mulai mampu membaur.

Nah, soal ini pun harus dicontohkan oleh pendamping. Sesekali kami duduk di lapo warga Batak. Menyapa ibu-ibu yang sedang merokok dan minum.

Kadang-kadang anjing milik warga Batak menjilat-jilat baju yang kupakai. Anak-anak Karawang sudah heboh teriak-teriak. Kubiarkan saja. Sudah aku siapkan rok pengganti. Kalau aku mengusir anjing mereka, tentu mereka tersinggung. Tak mau lagi menerimaku di lapo.

Sekarang, selama keliling Kebun Sayur ini pun, entah berapa kali anjing-anjing warga Batak menguntit kami. Hanya mengikuti, tidak usil mereka. Sudah hapal sepertinya dengan bau kami. Justru yang membuatku bergidik adalah tanda bintang di rumah warga Kebun Sayur. Entah Karawang ataupun Batak.

Tanda bintang di tembok rumah. Seakan berjabat erat dengan konflik, kekerasan dan ketakutan. Tanda bintang di tembok rumah pernah marak di Aceh. Tanda bintang itu membawa petaka. Kabarnya, siapapun yang rumahnya digambar tanda bintang, berarti dituduh anggota GAM. Bisa saja rumah itu dihancurkan dan penghuninya mendapat siksaan keras.

Tanda bintang di tembok rumah juga pernah membuat Mamaku mengungsikan anak-anaknya dari Dempo ke Kalibaru. Mama bilang, Dempo termasuk basis partai yang dilarang Orde Baru.

Setiap hari selalu ada saja kericuhan. Orang partai itu dikejar sampai ke kali. Anehnya mereka tak pernah tertangkap. Lenyap begitu saja di kali.

Rumah-rumah orang simpatisan partai yang dilarang itu katanya diberi tanda bintang juga. Entah siapa yang menggambar bintang di tembok rumah. Beberapa hari sebelum peristiwa 65, Abah membawa Mama dan kakak-kakakku pergi dari Dempo. Semua orang tahu, cepat atau lambat, perpecahan dan konflik tak lagi bisa dihindari.

Kini, di hadapanku, tanda bintang di tembok rumah kembali menunjukkan eksitensinya. Sejak tahun 2009, konflik itu dimulai di Kebun Sayur. Salah satu perusahaan mengklaim tanah seluas 7,5 ha yang telah ditempati warga Kebun Sayur sejak 20 tahun lalu.

Awalnya lahan ini kosong dan menjadi sarang kejahatan. Warga Karawang yang pertama kali datang membuka garapan. Sejak itu banyak orang yang datang. Total sudah 300 KK dengan 743 orang yang kini menghuni Kebun Sayur.

Warga memang tak punya alas hak. Jangankan Sertipikat Hak Milik, surat girik pun tak ada. Tetapi perusahaan juga tidak punya bukti kepemilikan tanah. Hanya berdasar Peraturan Presiden (PP) yang menyatakan kalau perusahaan punya lahan di daerah itu, tanpa alamat ataupun koordinat yang jelas. Sengketa lahan dan konflik melesat cepat.

Banyak orang bertanya padaku, kenapa aku repot-repot mengurus anak-anak yang berada dalam konflik tanah? Tidakkah warga bersalah karena menempati lahan kosong yang bukan miliknya? Masalah status tanah, kurasa itu adalah urusan Wira — sebagai pengacara publik yang ditunjuk mendampingi warga. Sedang hak atas rasa aman dan hak atas pendidikan melekat pada tiap individu, bukan pada tanah tempat mereka berpijak.

Apalagi jika hak itu berkaitan erat dengan hak anak, tentu perlu jadi perhatian serius. Faktanya, anak-anak di Kebun Sayur ketakutan dengan kekerasan dan konflik yang terjadi. Ketakutan yang semakin menumpuk semenjak datangnya ancaman dari preman.

Upaya perusahaan mengirim preman dibalas dengan demo berkali-kali di dalam wilayah Kebun Sayur. Tak jarang terjadi kontak fisik. Kekerasan menjadi tontonan lumrah anak-anak. Kadang anak-anak pun ikut demo. Berdiri di barisan paling depan sambil membawa spanduk. Berhadapan dengan preman dan aparat.

Belum cukup sampai di situ, kekerasan pun terus masuk ke dalam. Menyisip di lingkup terkecil masyarakat; keluarga. Santer aku dengar orang tua yang teriak-teriak memarahi anaknya. Dan kekerasan berlanjut hingga ke ruang belajar. Beberapa minggu lalu, anak laki-laki menyerang anak perempuan. Brutal sekali.

Anak-anak perempuan sampai jongkok menutupi muka mereka. Sementara anak laki-laki menendang tubuh anak perempuan begitu saja. Tidak ada satu pun anak perempuan yang berani melawan.

Saat aku datang, aku jadi ikut frustasi. Bingung mengendalikan keadaan. Anak laki-laki akhirnya pergi setelah membuat bilik bambu — yang menjadi batas jamaah putra dan jamaah putri di Mushola — jadi bolong.

Tidak bisa aku pungkiri, anak laki-laki yang beranjak remaja sangat merendahkan perempuan. Mereka bersikap kasar pada anak-anak perempuan dan tidak mau menurut pada pendamping berjenis kelamin perempuan.

Hingga datanglah penyelamat. Try, juniorku di kampus ikut jadi pendamping. Awalnya hanya iseng. Lama-lama jadi ketagihan. Suasana Kebun Sayur yang asri memang bisa memikat siapa saja.

Try jarang mengajar. Kerjanya hanya mengajak anak laki-laki main bola. Perlahan tapi pasti, anak laki-laki mulai bisa diajak kompromi. Mereka baru main bola setelah belajar setengah jam.

Kurasa anak laki-laki ini memang hanya butuh sosok lelaki dewasa yang bisa diajak "main bersama". Lelaki di Kebun Sayur terlalu serius dengan isu penggusuran dan (seringkali) menganggap anak-anak hanya sebagai pengganggu.

Tidak jarang anak-anak ingin sok mengendalikan keadaan. Mereka "memerintah" pendamping untuk mengerjakan PR dari sekolah. Kalau pendamping menolak, mereka mengancam tidak mau ikut les lagi.

Pertama kali aku mengajar, Zubaedah bahkan melempar bukunya padaku untuk dinilai. Aku biarkan saja buku itu tergeletak. Baru kunilai saat dia mengambil buku itu lagi dan memberikannya langsung padaku. Sudah itu, aku ajak dia bicara. Syukurlah ada perubahan.

Tapi, masalahnya bukan hanya ini saja. Semenjak preman-preman dikirim ke Kebun Sayur, urusannya pun jadi makin ruwet. Sudah ada saling sinis antara warga Karawang dan warga Batak yang berdiam di Kebun Sayur, sekarang bertambah lagi masalah SARA.

Anak-anak jadi tahu keberadaan orang salah satu yang sering mengancam mereka. Pasalnya, preman-preman yang mengancam warga adalah keturunan suku tersebut. Praktis dalam bayangan anak-anak yang polos, orang-orang dari suku tersebut adalah orang jahat.

Aku hanya bisa menarik napas dan tersenyum. Pelan-pelan. Laras cerita kalau anak-anak trauma dengan kekerasan dan ancaman yang dilakukan preman. Dulu anak-anak ini sulit sekali tersenyum. Akan butuh waktu membuat mereka benar-benar pulih.