webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

RUANG KELAS KAMI

Setapak demi setapak dilalui. Naik dua kali angkutan kota dari Depok. Berhenti di gang yang tidak terlalu sempit. Melewati Klenteng bewarna merah. Menatap tembok bata yang tinggi. Ada celah di sana. Retakan tembok yang bisa dimasuki sekitar dua orang dewasa. Sebut saja: bolongan.

Melewati bolongan kecil, seperti melintasi pintu ke mana saja milik Doraemon. Persis di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, panorama berganti. Hamparan Kebun Sayur membentang. Segar. Alami. Memanjakan mata.

Tanahnya yang berwarna coklat pekat masih lekat di alas kaki. Lengket dan basah. Bekas hujan semalam. Air langit menjadi siraman nikmat untuk daun-daun segar tumbuh subur. Sawi yang ditanam di kebun paling depan merekah. Daunnya lebar besar.

Ada perempuan paruh baya di sana. Mengenakan sarung batik dan caping dari bambu. Tangannya terampil memetik daun. Buat dijual esok hari. Sedang di depan kebunnya yang asri, satu warung kecil terlihat tak terlalu ramai. Kadang orang-orang berjaga di warung. Tetapi jika tengah hari bolong, orang-orang lebih suka rebahan di rumah masing-masing.

Aku terdiam sejenak. Mengingat kembali langkah pertama di tempat ini. Tentu orang yang paling berjasa membawaku ke sini adalah Prawira Alamsjah. Sahabatku. Aktivis sekaligus pengacara publik tampan yang pandai bermain gitar dan cello. Sejak 2009, Wira ditugaskan mendampingi warga di Kebun Sayur yang terancam digusur.

Waktu itu, teman satu kontrakan Wira yang bernama Surya, mencari bahan untuk tugas kuliah di jurusan Ilmu Politik. Surya sempat riset kecil-kecilan di Kebun Sayur. Seperti juga kebanyakan daerah yang terlibat konflik tanah, yang paling trauma tentu anak-anak. Surya mengajak dua temannya di kampus untuk membantu Wira, mendampingi anak-anak bermain untuk melupakan trauma mereka.

Kadang teman-teman ini malah ikut demo bersama warga. Kadang kena juga diancam preman-preman yang dikirim ke Kebun Sayur. Semakin lama, situasi semakin memanas. Setahun berjalan tanpa ada jalan keluar.

Pertengahan tahun 2010, Surya hendak mengambil kursus bahasa Inggris di Pare. Sedang dua temannya, Dahan dan Larasati mengikuti progam pengabdian dari Kampus. Dahan ditugaskan di Pulau Morotai, Maluku Utara. Larasati menjajal hidup di perbatasan Pulau Sebatik, Kalimantan.

Wira jadi gusar. Anak-anak yang mulai ceria, bisa saja kembali muram. Atas permintaan Wira, beberapa relawan aku terjunkan mendampingi anak-anak yang berada dalam konflik tanah ini.

Belum lama rasanya, saat pertama kali aku dan Manda datang ke Kebun Sayur. Tentu kami kaget. Mestilah melewati tembok yang bolong. Sebab jalur masuk utama terlalu berbahaya. Dijaga ketat oleh preman.

Lebih kaget lagi saat menginjak tanah basah yang langsung amblas. Pasti tanah yang menempel di sepatu sulit sekali dihilangkan.

Tetapi permaidani hijau, tanah garapan warga Kebun Sayur bisa membuat hati gembira. Ah, Ibukota yang berisi baja dan beton ini. Masih pula menyimpan surga yang menentramkan hati. Sawi, bayam dan kangkung ditanam di tanah yang berunduk-unduk.

Petani berjalan membawa dua ember yang diangkut dengan sebilah kayu, diletakkan di bahu. Masih tak percaya rasanya, beberapa kilo dari terminal antar kota yang semrawut, ternyata membentang kebun begini asri.

Pak Rohmat, salah satu aktivis di Kebun Sayur menyambut kami. Bukan warga Kebun Sayur beliau ini, hanya punya sebidang tanah di bagian paling belakang. Rumahnya tak terlampau jauh dari Kebun Sayur. Tempat beliau dan istrinya mengajar beberapa anak TPA. Sekedar mengisi hari tua dan membunuh sepi. Kebetulan anak-anaknya tinggal dan kuliah di Australia.

Bersama Pak Rohmat, kami kelilingi Kebun Sayur. Surya yang ikut menemani, ternyata cerewet sekali. Dia terlalu bersemangat. Memang bisa dimengerti, kota metropolitan begini, di mana lagi tersisa orang-orang yang mau jadi petani? Kebun Sayur ini bisa dibilang istimewa.

Lelaki dan perempuan bahu-membahu menggarap lahan. Hasilnya, mereka jual sendiri ke warga sekitar. Tidak ada tengkulak yang ikut bermain. Ini yang namanya mandiri. Berdikari. Berdaya. Merdeka.

"Beginilah…kita menjadi sarjana hanya di Universitas, di masyarakat, kita kembali menjadi anak TK," seloroh Pak Rohmat.

Plak! Seperti ditampar! Sadarlah kami. Tiga mahasiswa bau kencur yang baru keluar pagar kampus. Sore itu, Pak Rohmat mengajak diskusi di saungnya di dekat empang. Sunyi sekali tempat itu. Tersembunyi diantara ilalang tinggi. Cocok untuk menyepi.

Pak Rohmat katanya mau membangun beberapa kamar. Biar Surya tak perlu kos di Depok. Tinggal saja di saungnya. Berbaur bersama warga. Sekalian belajar bertani.

Benar-benar tidak terasa, itu kenangan empat bulan yang lalu.

Tak pernah diduga, sudah lebih dari tiga bulan aku belajar di Kebun Sayur. Sebulan kemarin harus absen sebentar. Bertugas menjadi relawan penanggulangan bencana letusan Gunung Merapi di Jogja. Dahan dan Larasati yang sudah kembali, ikut menemani ke Jogja. Pendampingan pendidikan anak-anak di Kebun Sayur terhenti sementara.

Dua minggu saja. Selebihnya ada Kak Gigih, Lilian dan Anya, yang secara sukarela menggantikan. Sekarang Gunung Merapi terlelap sementara. Setelah pamit pada Kang Aman yang jadi komandan relawan, fokusku kembali ke Kebun Sayur.

Selama tiga bulan di Kebun Sayur memang terasa masih sebagai assessment saja. Baru sekedar mengenal lingkungan dan masyarakat. Barangkali bulan keempat ini sudah bisa dimulai program untuk anak-anak.

Siang ini sendiri ada lima pendamping yang datang ke Kebun Sayur. Aku, Dahan, Laras, Lilian dan Nenden. Beda dengan Lilian, Dahan dan Laras yang sering mengajar di Kebun Sayur, Nenden baru beberapa kali datang.

Biasanya Nenden dan Laras mengajar anak-anak yang masih kecil. Nenden mengajar bocah yang belum bisa baca. Dahan mengajar kelas 2 dan 3. Sekedar membantu mereka mengerjakan PR dari sekolah. Belum ada formasi tetap. Kelompok ini bisa berubah setiap saat. Tergantung jumlah anak-anak yang datang.

Maklum, ini kan bukan sekolah formal, tidak ada kewajiban untuk datang. Warga Kebun Sayur bilang, ini les. Biar keren saja. Biar bisa pamer sedikit. Anak petani dan tukang sayur bisa juga les dengan mahasiswa dari kampus terkenal. Macam anak orang kaya di sekolah favorit.

Mula-mula, les setiap hari minggu di Kebun Sayur diadakan di pos belakang. Tempatnya mirip kandang kambing. Bila hujan datang, les seketika bubar. Tidak ada celah untuk berteduh. Beberapa bagian pos sudah bolong.

Lalu di bangun Mushola di bagian agak depan. Bangunannya semi permanen. Bagian bawah menggunakan bata. Bagian tengah dari anyaman bambu. Gampang bolong dan rusak. Apalagi bila ditendang anak-anak yang kelebihan energi, pasti langsung reyot. Atap bagian Mushola juga sering bocor.

Sebenarnya ada pos baru yang jauh lebih besar dari pos lama. Persis di samping Mushola. Tapi pos ini sering dipakai warga untuk rapat. Ditambah ada si Ryan, warga Kebun Sayur yang diusir keluarganya. Dia sakit dan tak ada yang merawat. Sehari-hari hanya meringkuk saja di pos.

Les setiap hari minggu dimulai sekitar jam 11 siang di Mushola. Sebelum les dimulai, pendamping datang lebih awal. Beres-beres dulu. Bergemul dengan media belajar yang seadanya. Kadang ada ayam yang masuk dan buang hajat di dalam Mushola. Ini memicu emosi anak-anak — yang lebih semangat mengejar ayam ketimbang menulis di buku. Ya, setiap minggu, selalu ada kejadian yang tidak terduga.

Hari ini saja, hujan deras melanda Kebun Sayur. Anak-anak yang ada di dalam Mushola basah kuyup. Air menyerang dari genteng dan pintu. Kebun Sayur banjir. Kepungan air membuat mata kaki kakak pendamping di Mushola terendam. Kalau keluar dari Mushola, air bisa setinggi betis orang dewasa.

Konsentrasi anak-anak buyar. Sudah basah terkena air bocor, anak-anak memilih sekalian saja mandi hujan. Les dihentikan. Anak-anak berhamburan keluar dan menari di bawah guyuran hujan. Anak laki-laki malah berenang di lapangan bola yang berubah menjadi kolam super luas.

Pendamping pasrah saja. Sudah biasa seperti ini. Mengenal alam bebas juga bagian dari belajar kan? Kami biarkan anak-anak menghilang dari Mushola. Baju kami pun sudah lepek tak karuan.

Seorang anak kecil menangis. Umurnya mungkin baru 5 tahun. Dia ingin pulang ke rumah, tapi takut dengan petir. Aku dan Lilian berusaha menenangkan. Kami berdua mengambil payung, bersama menggenggam tangan bocah perempuan lugu itu. Anak itu membawa kami berdua ke dunia antah-berantah. Suatu sudut di Kebun Sayur yang belum pernah kami jajaki.

Aku dan Lilian tidak hanya berjumpa genangan air yang dalam, tetapi harus menyeberangi jembatan kayu tanpa pegangan. Ada sungai kecil mengalir deras di bawahnya. Lalu kami lewati lorong panjang yang diapit pagar tanaman. Semakin lama semakin menyempit. Hingga hanya cukup untuk satu orang saja.

Sampailah kami pada tanaman rambat berbentuk kanopi yang cukup rendah. Agar bisa berjalan di bawahnya, aku dan Lilian harus merunduk. Sedang anak kecil itu bisa bebas berlari. Kami berdua bertatapan. Masih tak mengerti. Apakah kami sedang tersesat di dunia liliput? Rahasia apa lagi yang tersembunyi di Kebun sayur?

Saat kami kembali ke Mushola, kami disambut ikan lele yang meliuk-liuk merindukan air. Rupanya anak-anak berlomba mengambil lele. Ketakutan yang beberapa menit menghantui, hilang sudah. Dadi berada di antara kubangan air. Mencari ikan atau belut yang bisa disantap.

Sementara di atasnya, seorang ibu berdiri dengan bocah perempuannya. Ia memandangi tanaman kangkung yang terendam banjir. Tidak bisa tidak, esok hari kangkung muda yang belum siap panen itu harus segera dicabut.

Akhirnya hujan reda. Menyisakan Mushola (yang juga kelas kami) yang kotor dan becek. Anak-anak berkumpul. Bersama mereka, kami bersihkan kelas kami. Berharap kalau-kalau kami masih bisa menggali ilmu di sini. Di tempat yang atapnya selalu bocor dan beberapa ubinnya mulai retak.

Anak-anak semangat mengguyur air. Ya, ya, ini memang menjadi momentum main air untuk mereka. Bahkan Riki dan Dadi dengan rela ikut mandi. Peralatan yang terbatas tak menjadi masalah. Seluruh alat tempur digunakan, bahkan baju yang berubah jadi kain pel.

Sejam kemudian kelas kami kembali bersih. Anak-anak duduk dengan santai. Mereka masih saja bertanya pada kami, kapan mereka bisa membuat prakarya? Kapan mereka bisa jalan-jalan ke kampus tempat kami belajar?

Saat hujan benar-benar berhenti, kami bergegas pulang. Alas kaki harus dilepas dan kaki dibalut plastik yang diberi karet. Baru bisa jalan di atas tanah basah yang amblas kalau diinjak. Persis di dekat bolongan, pemilik warung sudah siap dengan selang panjang dan besar. Di situ kami mencuci kaki dan membersihkan sepatu.

Kalau cuaca sedang bagus, akan sangat menyenangkan jalan-jalan dulu ke kebun milik warga. Ada saja yang pendamping bawa pulang. Tiga ikat bayam dan tiga ikat kangkung, rutin jadi ongkos mengajar. Warga pemilik kebun senang anak-anaknya bisa les setiap minggu.

Mereka hanya petani, sulit kalau harus membantu anak-anaknya membuat PR. Sebagai terima kasih, hasil panen pun disisihkan untuk kakak pendamping. Pernah suatu hari aku pulang dari Kebun Sayur dengan sembawa satu kantong penuh sayuran yang masih segar. Waktu naik bus dari terminal, kenek bus pun bingung.

"Neng, habis panen bayam di mana?"

Aku tertawa mendengar celoteh orang-orang. Kadang mereka pikir aku habis belanja di Pasar Induk Kramat Jati. Kadang juga disangka penjual sayur. Ingin aku ceritakan pada mereka, ada satu tempat di tepi kota Jakarta, di mana sayuran tumbuh subur dan orang-orang bangga jadi petani. Dan, itulah ruang belajar kami.