webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

MENINGGALNYA SUSPECT SIDA

Kebun Sayur kembali heboh. Bukan, bukan soal preman yang datang lagi. Bukan juga masalah jemuran warga Karawang yang hilang atau anjing warga Batak yang mendadak sekarat.

Peristiwa yang satu ini langsung membuat gempar satu kampung. Apalagi didukung kemampuan kaum hawa dalam menghembuskan desas-desus. Cepat berita itu menyebar.

Si Ryan, lelaki sebatang kara yang saban hari meringkuk di pos besar, meninggal mendadak. Tak ada yang tahu. Anak-anak yang sedang main melihat tubuhnya dikerubungi semut. Naas memang nasib si Ryan, sampai jadi mayat pun, keluarganya tetap tidak sudi menerima.

Kabarnya Ryan ini minta ampun nakalnya. Rampok, judi, mabok, main perempuan. Semua yang buruk, bobrok, jahat, dosa, sudah dilakoni. Durhaka pula pada orang tuanya.

Berkali-kali masuk penjara, orang tuanya pun murka. Ryan diusir dari rumah. Tidak lagi diakui sebagai anak. Dasar doa orang tua manjur. Begitu keluar dari rumah, Ryan sakit parah. Tidak ada yang mau merawat.

Tergeletaklah di pos. Kadang warga yang kasihan meletakkan nasi bungkus di sana. Ada juga yang taruh minuman. Tapi sajen dari warga ini lama-lama tidak banyak berguna.

Sejak kematiannya, berita simpang-siur merebak. Seperti biasa, kematian tragis memang sering dikaitkan dengan arwah penasaran. Anak-anak tidak berani melewati pos dan Mushola — yang saling berhadapan.

Bisa ditebak, peserta les pun mendadak hilang. Ini jadi ujian berat bagi pendamping yang jauh-jauh datang menembus tembok tinggi, melewati ancaman preman dan beradu dengan tanah becek yang lebih mirip pasir hisap.

Tanpa ada cerita hantu saja, pendamping masih harus keliling memanggil anak-anak. Itupun kalau Bang Tolib tidak menggelar dangdutan di rumahnya. Kalau di tempat Bang Tolib ada dangdutan, bisa dipastikan Mushola kosong. Anak-anak mudah teralihkan.

Pernah suatu kali, Johan datang sambil berlari ke Mushola. Waktu itu ada dangdutan di tempat Bang Tolib. Tergesa-gesa, Johan menemui Lilian. Senang hati Lilian, bukan karena anak kesayangannya tetap datang, tapi karena Johan tak habis memujinya.

"Kak Lilian, Kakak cantik deh kayak artis," kata Johan.

Lilian tersipu. "Ah masa? Kayak artis siapa?"

"Itu Kak, kayak artis yang di tempat Bang Tolib. Apalagi kalau matanya dikasih biru-biru sama ijo-ijo…terus, pipinya dikasih merah-merah…" Johan tambah semangat.

Lilian malah merengut. "Itu sih artis dangdut koplo dong…."

Kami, pendamping lain yang mendengar mereka berdua tidak bisa menahan tawa. Kasihan Lilian, padahal sudah bersemu kedua pipinya yang putih mulus itu. Puas menggoda Lilian, Johan kabur lagi. Lihat dangdutan tentunya.

Inilah dilemanya, menarik anak-anak dari dangdutan saja susahnya bukan main, sekarang ada lagi isu hantu Ryan gentayangan. Anak-anak jadi punya banyak alasan untuk tidak ikut les. Di sisi lain, kematian Ryan yang tragis malah dijadikan bahan orang tua saat memarahi anaknya.

Tentu si Ryan jadi contoh nasib buruk seorang anak yang durhaka pada orang tua. Malinkundang pun tak perlu dijumpa di Minang sana. Kebun Sayur punya legenda sendiri. Ryan si anak durhaka, mati sebatang kara.

Bersamaan dengan kasus Ryan ini, santer juga penyebaran virus flu burung. Warga Kebun Sayur yang punya unggas ikutan panik. Beberapa hari lalu, belasan ayam mati mendadak. Bangkai ayam ditumpuk di pinggir rumah sampai bau busuk.

Hampir saja ribut lagi. Beberapa warga merasa terganggu dan ingin menyerbu pemilik ayam. Untunglah pak Rohmat cepat melerai.

Beberapa orang warga juga sakit demam berdarah. Kecemasan tidak bisa lagi dihindari. Masalah lingkungan memang cukup pelik. Air bersih sulit ditemui. Sampah menumpuk tak beraturan. Pembuangan air tak ada. MCK juga jarang sekali.

Hanya ada belasan rumah yang punya MCK sendiri. Kupikir sudah saatnya masalah ini ditangani tim khusus. Tidak cukup hanya dihadapi pendamping yang mengajar. Tim medis — yang bersama-samaku terjun ke beberapa daerah — akhirnya ambil peran juga di Kebun Sayur. Assessment pertama dilakukan dr. Satya Ananda.

Lelaki Sunda yang pandai bahasa Jawa ini, pertama kukenal saat penanggulangan bencana banjir di Karawang. Waktu itu Satya heroik sekali. Rela merayap dalam banjir yang sampai ke dada — untuk memeriksa orang-orang yang terjebak di dalam rumah.

Satya kembali ikut bersamaku ketika Gunung Merapi meletus. Dia ada di tim gelombang kedua. Satya dengan sabar merawatku yang sempat pingsan — karena stres harus menjaga seorang manula yang patah tulang tanpa pengetahuan medis sedikit pun.

"Kematian mendadak sangat jarang ditemui, Rei, sayang sekali aku datang terlambat dan tak bisa memeriksa Ryan." Satya, dokter bersahaja dari Bogor itu menemaniku keliling Kebun sayur.

Kami melewati rumah orang tua Zeulin. Menyapanya sebentar. Kukenalkan pada mereka dr. Satya. Mereka senang ada dokter yang datang. Kami kembali keliling.

"Apa diagnosamu, Sat?"

Hening sejenak, dr. Satya menghentikan langkahnya.

"Kalau tak punya sakit serius, maksudku yang berhubungan dengan penyakit dalam, mungkin dia dehidrasi. Tetapi dari ciri-ciri tubuhnya saat meninggal, riwayat hidupnya dan beberapa cerita yang tadi sempat kita dengar dari warga, aku curiga dia Suspect Sida."

Aku serius menatap wajah dokter muda itu.

"Sida?"

Dr. satya menarik napas.

"Huff…hanya dugaanku. Barangkali dia menderita HIV/AIDS. Tapi jangan sampai ini terdengar warga. Mungkin bisa jadi tragedi baru nantinya."

Tubuhku terasa lemas mendengar kata-kata dr. Satya. Teringat satu piring kecil yang biasa diletakkan warga untuk makan Ryan sehari-hari. Piring kecil yang tidak lebih bersih dari tempat makan kucing.

"Kalau dia tahu penyakit yang dideritanya dan pengucilan yang diterimanya, bisa jadi dia akan lebih memilih untuk mati. Tapi, Setiap orang punya hak untuk hidup dan diselamatkan."

Dr. Satya menghentikan langkahnya lagi.

"Setiap orang juga punya hak untuk mati. Saat ini jantung seseorang masih bisa dipaksa tetap berdenyut dengan mesin, padahal orang itu sudah tidak bisa apa-apa lagi. Apa itu yang kita sebut hidup? Apakah hidup adalah masih berfungsinya organ-organ di tubuh kita? apa yang sebenarnya kita sebut dengan hidup dan mati?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah…"

"Lupakan yang sudah berlalu. Rei, kita harus lakukan pemeriksaan pada warga sekitar. Yah, minimal untuk tahu kondisi umum kesehatan mereka."

Pelan aku mengangguk. Pemeriksaan gratis kami lakukan minggu itu juga. Les diliburkan dulu. Dr. Satya sendiri belum bisa mendampingi. Sebagai pengganti, ada dr. Arimbi yang cantik — seperti gambaran bidadari dalam Kitab Suci.

Juga suster Dewi yang tak kalah manisnya. Keduanya berkulit putih dengan hidung mancung dan tubuh semampai. Tentu semua orang jadi merasa sakit. Terutama kaum pria.

"Ih…Kakak-Kakaknya kayak barbie yaa…"

Kudengar Asih berbisik pada Sabrina. Dua bocah TK ini tak henti memuji kecantikan dr. Arimbi dan suster Dewi yang repot dengan pasien.

Hasil pemeriksaan ini ditindaklanjuti dr. Satya dan suster Rana. Puan Kirana, sahabatku yang bagai saudara sendiri. Hampir semua tugas relawan aku jalani bersamanya.

Rana, sayangku itu, mahir memanjat bukit yang longsor untuk menyelamatkan warga terisolir saat longsor di Ciwidey. Berkali-kali juga menembus bahaya demi menolong orang lain.

Rekomendasi dari dr. Satya dan suster Rana tentu tidak bisa diabaikan. Mungkin butuh kumpul seluruh warga, khusus untuk diskusi soal Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kali ini les anak-anak tidak diliburkan. Hanya orang dewasa yang ikut diskusi. Anak-anak tetap belajar.

Diskusi dilakukan di pos besar. Tempat Ryan meninggal. Sekaligus menghempas berita kematian Ryan yang mengerikan. Banyak yang terungkap dalam diskusi ini. Termasuk kebutuhan warga untuk tahu masalah kesehatan. Penyuluhan kesehatan pun sepakat dilakukan sebulan sekali. Tetapi masih ada yang menganjal di hati Suster Rana.

"Ibu-Ibu…kalau ada yang tidak dimengerti, jangan malu-malu, ayo ditanya…mumpung ada dr. Satya di sini," Suster Rana menunjuk seorang perempuan. "Itu…kayaknya Ibu yang itu masih bingung yaa…"

Perempuan yang ditunjuk Suster Rana tersenyum malu-malu.

"Itu, anu, saya masih bingung, penyuluhan itu apa ya?"

Suster Rana hampir saja mengelus dada. Setengah jam lebih membahas rencana penyuluhan kesehatan, ternyata warga bahkan tidak mengerti arti penyuluhan. Untunglah Suster Rana terbiasa menghadapi masyarakat. Diulangi lagi penjelasannya, dipermudah kata-katanya, dibuat lebih rinci uraiannya. Pelan-pelan warga mengerti.

Sesuai permintaan warga Kebun Sayur, Suster Rana memberi penyuluhan kesehatan sebulan sekali. Bahasannya sederhana saja. Penyakit yang sehari-hari menjangkiti warga Kebun Sayur.

Misalnya maag, pusing atau encok. Lama-lama ketahuan, kalau banyak warga yang tidak bisa baca-tulis. Poster kesehatan yang ditempel Suster Rana di pos besar tidak dapat dipahami. Permintaan pun bertambah. Ibu-ibu ingin ada kelas baca-tulis untuk orang dewasa.

Tentu kami senang. Semakin cerdas ibu-ibu, semakin maju pula pendidikan anak-anak. Urusan ini pun kami serahkan pada Manda. Azalea Amanda, resmi menjadi guru kelas baca-tulis-hitung (calistung) untuk ibu-ibu.

Setiap kamis, mahasiswa tingkat akhir yang sudah punya satu orang anak itu meluangkan waktu untuk mengajar. Pengalaman Manda sebagai ibu sekaligus istri tentu bisa jadi penghubung. Bukan rahasia lagi, kaum ibu selalu senang berbicara dengan orang yang dianggap senasib dan seperjuangan.

Sejak saat itu, perubahan besar terjadi. Kami merasa warga Batak lebih terbuka. Awalnya mereka cukup tertutup. Setelah acara buka puasa dan pengobatan gratis, kami melihat kepercayaan itu pelan-pelan mulai terbangun. Syukurlah. (Bersambung)