webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

SUATU SORE MENJELANG SENJA

Hujan! Aku terlalu malas untuk beranjak. Hamparan permaidani hijau terlukis indah dalam pandanganku. Ya Tuhan, aku merasa berada dalam mesin waktu. Memutar kembali episode yang terlewat dan tersimpan rapi dalam almari ingatan.

Ada detik yang memberi kesempatan. Ada proses yang berubah menjadi peluang. Dan tiba-tiba, aku merasa seperti seorang banker yang bangkrut di arena kasino Las Vegaz. Bingung, kosong, takjub pada kecepatan permainan takdir. Bintang jatuhku melesat terlampau cepat.

Jika putaran masa menyisakan perubahan, maka interaksi ini pun mengalami transformasi. Awalnya bernama "nyaman".

Tak peduli pada benar dan salah. Lalu rasa nyaman ini punya kata baru yang ikut bersanding bersamanya. Kata itu berbunyi "terbiasa".

Kata, sikap, laku, dan rasa. Tiba-tiba hari menjadi media dialog yang terus bergulir. Seiring perputaran jarum jam, muncul istilah baru. Sebut saja dengan "butuh".

Hujan di tanah merah tak juga mau berhenti. Mengamuk. Deras dan berubah menjadi badai. Petir yang berkali-kali menyambar membunuh nyali orang-orang yang ingin segera beranjak.Tidak sama sekali memberi jeda. Tuhan, tolong! Aku terjebak. Delapan bulan sudah terlewat, saat aku memutuskan untuk jatuh.

Entahlah, kadang aku ingin tenggelam. Dalam ruang. Dalam waktu. Dalam sesat pikir. Dalam sudut-sudut bersisian. Dalam terjalnya pencarian. Dalam cepatnya langkah. Dalam pusaran ide. Dalam garis-garis konsep.

Sampai wujudku tak tampak lagi. Hilang musnah seperti air yang berubah jadi hujan, lalu menyamar menjadi awan. Agar dia semakin sulit menjangkau. Tak punya kesempatan bertanya apa dan kenapa?

Karena aku sudah kehabisan aksara. Tak lagi bisa berceloteh selepas dahulu. Aku letih dan tidak mengerti.

Kadang aku ingin berlari. Meninggalkan keramaian. Meninggalkan kebisingan. Meninggalkan kata jiwa. Meninggalkan perasaan. Meninggalkan goresan asa. Meninggalkan khayalan. Meninggalkan catatan kenangan. Agar dia tak bisa lagi mengejar dan membiarkanku tetap ada di altar. Tak terjangkau. Tak tersentuh.

Tapi gravitasi seperti mengembalikanku ke tempat yang sama. Tidak peduli seberapa jauh aku berlari. Lalu semua cerita ini membuatku mulai kehabisan napas dan merasa sesak. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa ada daya tarik begitu besar yang tidak bisa aku lawan? Dan, sialnya, daya tarik itu juga yang membawa dia ke sini.

"Rei…Rei!"

Aku terhenyak. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku di sini? Kuhamparkan pandangan ke seluruh penjuru. Menatap baris demi baris kebun pak tani yang berjajar rapi. Sore di tanah merah, aku duduk di saung kecil sendirian. Hujan tersisa jadi gerimis.

"Jangan terlalu banyak melamun, Rei, apalagi sendirian di tengah sawah…hiii…serem"

"Nan?"

Lelaki itu tersenyum. "Aku mencari Rei, anak-anak Kelompok 5 bilang Rei ada di sini. Hmm…jadi sekarang sembunyi di sini? Wah bagus juga tempat kaburnya...."

Nan melipat payung kecilnya. Lalu duduk di dekatku. "Apa yang Rei cari di sini?"

"Inilah sebabnya kadang aku begitu membencimu"

"Kenapa?"

"Kau selalu bisa membaca pikiranku. Selalu mampu menebak isi otakku. Di hadapanmu, aku tak punya sudut untuk sembunyi."

Nan, seperti biasa hanya tertawa.

"Hahaha….Rei hanya takut."

"Takut apa?" Aku melotot padanya.

"Ah, Rei sendiri yang lebih tahu."

"Dan Kau sungguh sok tahu…" Aku melipat kedua tangan di depan pinggangku.

Nan tertawa lagi. "Hahaha…" dia terdiam sejenak dan kembali bicara. Kali ini sedikit lebih kalem.

"Coba Rei lihat kebun hijau itu. Menurut Rei, bagaimana nasib kebun itu setelah hujan turun perlahan?"

Aku ikut menatap hamparan kebun di depanku. "Mungkin sayur di kebun itu akan tumbuh subur."

"Dan bagaimana jika hujan turun terlalu deras, lalu berubah jadi badai dan banjir?"

"Bahaya! Kebun bisa tenggelam dan gagal panen."

Nan tersenyum. "Pintar."

Aku menatapnya heran. "Hanya itu?"

"Cerdas."

"Kau bertanya padaku hanya untuk dua kata itu?"

"Hmm…tidak juga."

"Lalu?"

"Hanya ingin bilang, semua yang datang dengan cepat, tergesa-gesa, meluap-luap dan menyerang, pasti akan membinasakan. Jadi, biarkan apa yang kita rasa jatuh setetes demi setetes, hingga kita tumbuh bersamanya…."

Aku kembali tersenyum kecut. "Dan bagaimana jika tidak tumbuh? Tapi malah tenggelam dan hanyut, lalu terdampar pada satu sisi yang tidak pernah kita kenal sebelumnya…huff…apa yang akan terjadi esok, Nan?"

Nan juga menarik napas. "Huff…entahlah Rei, besok adalah misteri. Tidak pernah bisa kita tebak."

Nan terdiam sebentar. "Bisakah kita hidup untuk hari ini saja? Menikmati semua yang hadir dengan lugu, tanpa pusing memikirkan bagaimana jadinya besok?"

Aku tersenyum. "Sesuatu yang jadi misteri itu selalu menakutkan. Sama seperti hari esok. Sama seperti perasaan. Dua-duanya abstrak dan sulit dijangkau."

"Rei, apa yang dirasa sekarang bisa berbeda di esok hari. Tak ada yang benar-benar sama. Setiap detik dan detak punya sensasinya sendiri. Keluarlah dari benteng yang tertutup rapat, atau setidaknya, izinkan seseorang untuk singgah sejenak."

"Sejenak? Lalu pergi begitu saja? Itulah yang paling menyakitkan…itulah yang paling kubenci. Orang datang dan pergi seperti pramusaji. Itulah yang membuatku takut. Aku butuh kunci itu, butuh menutup rapat bentengku. Agar tidak ada yang menerobos masuk dan membuatku tersakiti. Mereka yang mencoba mendobrak pintu atau menggesernya sedikit demi sedikit, selalu membuatku ingin sembunyi. Ah, Kau mana mengerti?"

"Memang tidak!" Nan menyahut cepat, nada suaranya berubah jadi tinggi. "Rei tahu? Orang yang berdiam di balik pintu hanyalah mereka yang tidak pernah siap dengan perubahan, padahal perubahan adalah niscaya. Mereka adalah kasta terendah dari pengecut. Jika kita hanya hidup dalam ketakutan, maka kemarin, sekarang ataupun esok, tidak ada bedanya. Kita masih sosok yang sama. Bocah penakut yang terkurung dalam bentengnya sendiri. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi nanti, tapi ketakutan pada akhirnya membuat kita benar-benar tidak pernah tahu."

Aku hanya terdiam. Bisu. Belum juga malam, tapi dingin terasa menusuk. Mungkin karena habis turun hujan. Sementara angin mulai berhembus kencang. Pohon-pohon kecil meliuk seirama udara yang bergerak.

Sebentar lagi senja. Nan menggoyangkan satu benda di depanku. Sebuah kalung hitam dengan ujungnya berbentuk anak kunci.

"Kau tidak ingin hipnotis aku kan?"

"Hahaha…" Nada suara Nan mulai terdengar santai.

"Rei bilang butuh kunci kan? Rei tidak dikutuk dewi kunci kan?"

Aku mengingat-ingat nasibku sendiri yang selalu runyam saat berurusan dengan kunci. Entah di toilet, di ruang kantor bahkan di rumah. Aku selalu bermasalah dengan kunci. Aku pernah berseloroh, seandainya aku penganut dinamisme, aku pasti percaya, kalau aku dikutuk dewi kunci.

"Ambillah! Aku belikan khusus untuk Rei. Anggap saja jimat, agar kutukan dewi kunci berakhir. Gunakan kunci ini untuk keluar dari rasa takut dan kekhawatiran yang tidak perlu. Buka sedikit benteng pertahanan yang Rei bangun."

Aku beranjak dari saung bambu. Berjalan di atas tanah merah yang becek karena hujan. Nan juga beranjak. Membuntutiku dari belakang. Sore berubah jadi senja. Kami berdua meninggalkan tanah merah yang mulai temaram. (Bersambung)