webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

PENDAMPING BUKAN PUNAKAWAN

Ing Ngarso Sung Tuladha…seorang pendidik harus memberi teladan…Ing Madya Mangun Karsa…pendidik berada di tengah muridnya dan terus-menerus membangun semangat untuk berkarya…Tut Wuri Handayani…pendidik terus menuntun dan menopang anak didiknya."

Malam mulai larut saat aku meracau di warung bakso Malang.Nan yang bersamaku malam itu mengerutkan keningnya.

"Rei lagi jadi dalang atau sinden?"

Aku memandangnya kesal. "lagi nembang Macopat Dandanggula…"

"Hahaha…." Nan tertawa lepas sampai memegang perutnya. "Hahaha…habis seperti sedang merapal matra."

"Aku bukan gadis Gypsi yang membawa bola kristal di samping tenda sirkus seperti dalam khayalanmu…dasar lelaki aneh….Ah, Nan, aku hanya sedang berpikir tentang konsep pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, ideal sekali."

"Kita jauh ya? Eh, kita kan pendamping, bukan pendidik. Kita dan anak-anak sama-sama belajar."

Aku masih terus melempar ingatan pada Ki Hadjar, seperti tak mendengar kata-kata Nan. "Momong, Among dan Ngemong…Ki Hadjar itu mengibaratkan pendidik seperti Punakawan yang mendampingi Pandawa Lima."

Nan yang sedang menelan bakso hampir saja tersedak. "Itulah masalahnya!"

Aku mendelik. "Apa?"

"Rei tahu siapa Punakawan?"

"Dalam negeri wayang, mereka itu Petruk, Gareng, Bagong dan Semar"

"Pintar, sering lihat wayang semalam suntuk?"

"Dulu rajin menonton Aneka Ria Jenaka di TVRI."

"Maksudnya begini, Punakawan itu digambarkan sebagai manusia jelmaan Dewa dan jin. Apalagi Semar yang sangat dituakan. Wajahnya tidak jelas, apakah sedang menangis atau tertawa? Semar mengandung kebijaksanaan hidup tingkat tinggi…Nah, inilah yang jadi masalah. Apa ada pendidik jaman sekarang yang manusia setengah dewa?"

Pertanyaan Nan malam itu menggelitik juga. Pendamping di Kebun Sayur memang bukan pendidik sungguhan. Sekolah keguruan saja tidak pernah. Sangat mungkin melakukan banyak kesalahan. Entah dari metode belajar atau materi yang disampaikan. Pengetahuan pun terbatas.

Saat diskusi pendamping tentang muatan sejarah saja, kami berbeda pendapat: apakah ingin mengulas dari kejayaan kerajaan nusantara, pergerakan nasional atau perjuangan kemerdekaan? Dan dialog yang terjadi di dalam forum diskusi pendamping ternyata sungguh mengkhawatirkan.

"Jadi kita bahas sejarah Indonesia dari mana?" Kak Gigih memulai diskusi.

"Sejarah Selat Bali." Nan semangat menanggapi. "Belum pernah dengar kan?"

Aku menarik napas. "Huff…perasaanku tidak enak."

"Ini serius. Jadi dulu itu, Jawa dan Bali sebenarnya satu daratan, tapi kemudian dibelah dengan tongkat sakti. Hingga terbelah menjadi dua pulau yang berbeda dan muncullah Selat Bali."

Aku hampir saja menjitak kepalanya. "Nan, bedakan antara sejarah dan legenda."

Nan malah tertawa keras. "Hahaha….apa bedanya? Bagi yang percaya, legenda itu ya sejarah juga."

"Ya beda dong, legenda kan ceritanya belum tentu valid. Banyak bercampur dengan kisah mistis. Sejarah disusun atas fakta-fakta yang lampau. Legenda Candi Prambanan misalnya, kan tidak bisa dibuktikan kebenarannya," sahutku

"Candi Prambanan yang tentang Roro Jonggrang kan?" Nan bertanya lagi

Rogun yang asli Batak ikut komentar. "Oooh…yang membangunkan ayam itu? Cowoknya Sangkuriang kan?"

Tiwi bingung. "Kok Sangkuriang? Itu sih cerita Tangkuban Perahu."

"Tapi ada perempuan yang membangunkan ayam kan?" Tanya Rogun lagi.

"Ada, tapi itu Dayang Sumbi." Kali ini Laras yang menjawab. "Itu ceritanya bikin perahu dalam satu malam. Kalau Candi Prambanan, Roro Jonggrang minta dibuatkan 1000 candi dalam satu malam."

Rogun pun tertawa. "Hahaha…itu cerita yang beda ya? Aku pikir sama. Habis mereka berdua sama-sama hobi membangunkan ayam."

Mendengar jawaban Rogun ini, aku harus mengelus dada. Meski bisa aku maklumi. Barangkali sebagai gadis Batak, Rogun jarang mendengar kisah Candi Prambanan dan Tangkuban Perahu.

"Huuu…biasa dengar cerita Disney sih. Ini bedanya putri Indonesia dengan putri Disney. Cinderella, si putri Disney itu, jam 12 malam baru pulang dari pesta. Sementara Roro Jonggrang dan Dayang Sumbi, sudah bangun sebelum ayam berkokok."

"Hahaha….eh, tapi kayaknya bagus kalau kita bahas kejayaan Nusantara. Dulu Sriwijaya itu negara maritim yang kuat dan pusat pendidikan Agama Buddha. Banyak pendeta Cina dan India yang belajar di Sriwijaya." Sebagai pewaris bumi Sriwijaya, Surya bangga sekali dengan sejarah panjang daerah kelahirannya, Palembang.

"Majapahit juga negara yang besar. Konon tamu kerajaan dibuat tercengang dengan piring-piring emas yang dibuang ke kolam setelah jamuan makan." Kak gigih dengan semangat ke-Jawa-an-nya juga tak mau kalah.

"Iya, tapi Majapahit sangat kontroversial, terutama Patih Gajah Mada." Surya kembali menanggapi .

Kak Gigih juga terus menjawab. "Memang…bahkan perang Bubat antara Majapahit dan Padjajaran, konon terjadi akibat siasat Gajah Mada. Efeknya masih terasa sampai sekarang. Di Bandung, tidak ada jalan Gajah Mada atau Hayam Wuruk."

"Yaa…korban perang Bubat juga masih berjatuhan sampai sekarang. Banyak pasangan kekasih Sunda dan Jawa yang gagal ke pelaminan, karena dendam lama yang belum berakhir…hahaha…memang hebat Maha Patih Gajah Mada," jawabku

Lalu Nenden merusak diskusi serius ini dengan pertanyaannya yang sangat penting, "Ih…aku bingung deh, jadi sebenarnya Gajah Mada itu orang atau gajah?"

Sontak pertanyaan Nenden ini membuat hening sejenak. Kami saling menatap tak percaya. Dan tertawa bersama.

"Hahahahahaha….."

Nenden masih dengan pertanyaannya yang polos. "Terus sumpah palapa itu apa hubungannya sama Stasiun Palapa?"

Tiwi tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Hahaha…ya ampun Nenden, untung kamu tanya sekarang. Aduh aku gak terbayang kalau kamu ajak anak-anak kelompok 1 untuk gambar wajah Gajah Mada dan ternyata pas dibuka gambarnya…"

"Gambar gajah….hahaha…." Kak Gigih tertawa sampai berguling-guling.

Tiwi tertawa lagi. "Hahaha…Nenden, kamu benar-benar bisa merusak sejarah."

Sementara yang lain tertawa, wajah Anya terlihat gusar. "Kok bisa-bisanya kalian tertawa? Ini keterlaluan loh. Kita mendampingi anak-anak belajar dan Kita bahkan tidak bisa membedakan Gajah Mada dengan gajah."

Manda pun langsung bereaksi. "Astaga Nenden, jangan bilang Kamu mengira Gajah Mada itu gajah karena kepalanya Gajah Mada seperti gajah?"

Kembali hening. Aku menatap Manda lekat. "Kok kepalanya Gajah Mada seperti gajah. Maksudnya apa ya?"

Manda menjawab tanpa dosa. "Gajah Mada yang lambang ITB itu kan?"

"Itu Ganesha!!!" Aku berteriak putus asa.

"Hahahaha…." Tawa kembali pecah.

"Ini memprihatinkan, kalian harusnya tidak boleh tertawa." Anya masih dengan kegundahan hatinya.

Dan, setelah legenda Selat Bali hasil belahan orang sakti, Gajah Mada yang diduga kembar dengan Ganesha, juga Dayang Sumbi dan Roro Jonggrang yang bak "putri yang tertukar", kami memutuskan tidak menyerahkan urusan sejarah pada masing-masing pendamping.

Sebagai gantinya, kami akan menonton bersama-sama film sejarah yang agaknya lebih valid. Kami memilih film Janur Kuning yang bercerita tentang agresi militer II dan penyerangan umum 1 Maret.

Sebelum menonton, pendamping boleh membahas yang lain. Kelompok 5 memilih untuk membahas tentang sejarah. Agar lebih menjiwai, anak-anak sepakat untuk belajar dengan menggunakan kebaya. Mereka ingin mencoba jadi perempuan di era kartini.

Meski tentu saja, menjadi Kartini bukan hanya tentang pakaian adat, tetapi juga pola pikir yang maju dan terbuka. Tapi anak-anak ingin merasakan seperti apa jika harus mengenakan kebaya sambil belajar.

Begitu harinya tiba. Anak-anak Kelompok 5 datang dengan malu-malu. Mereka mengenakan rok batik dan kebaya. Itupun baru beberapa menit mereka sudah ribut. Gerah, ribet dan susah bergerak. Iyom bahkan merajuk dan tidak mau ikut belajar. Saat teman-temannya memaksa, Iyom malah menangis.

Alhasil, kami ke rumah Iyom untuk membujuknya. Anak-anak melunak, kesepakatan diubah. Khusus untuk Iyom, boleh tidak menggunakan kebaya. Iyom justru tidak enak hati. Dia mau mengenakan kebaya dan rok batik. Masalah beres. Kami lalu berjalan kaki ke lapangan yang banyak alang-alang dan belajar di sana. Anak-anak semakin gerah dan sulit bergerak.

"Aduh tidak terbayang jadi Kartini. Ribet ternyata. Jalan sebentar saja sudah susah," kata Maya.

"Untung kita sekarang tidak harus begitu ya…bisa bebas pakai yang kita mau." Neni terus mengibas-ibas rambutnya yang mulai lepek tersengat matahari.

Aku tersenyum. "Karena perjuangan Kartini, perempuan mendapat hak yang sama dengan anak laki-laki untuk mendapat pendidikan. Punya hak sama dengan laki-laki untuk bekerja dan keluar dari rumah. Pada masa kartini, anak perempuan dipingit sampai menikah. Sebagian besar tidak bisa belajar dan tidak diberi pendidikan. Meski dengan gerak yang terbatas, Kartini tetap berusaha untuk belajar dan membantu rakyat disekitarnya. Oke, sekarang kita bahas tentang sejarah ya. Menurut kalian sejarah itu seperti…."

Aku melempar bola ke Yanti, itu artinya dia harus menjawab. "Seperti memori. Menyimpan peristiwa yang lalu." Yanti melempar bola ke Maya.

"Seperti buku harian. Mancatat banyak kejadian." Maya melempar bola ke Nida

"Seperti cerita. Mengandung suka dan duka." Nida melempar bola ke Neni

"Seperti video. Merekam yang sudah terjadi." Neni melempar bola ke aku

"Seperti aku, kamu, dia, mereka dan kalian. Sejarah seperti Kita," ujarku.

"Hahahaha…." Kami tertawa.

Lalu anak-anak menghampiri kakak pendamping yang ada di kelompok lain sambil terus melempar bola dan bertanya: "sejarah adalah…."

"Perjalanan nilai-nilai dan kado hikmah dari masa lalu agar kita belajar," ujar Rogun

"Kebingungan atau kekaburan…." Jawaban yang sangat pesimis dari Surya.

"Ingatan tentang pahlawan, kakek, nenek dan…..mantan pacar," ujar Lilian. Jawaban ini disambut gelak tawa dari anak-anak.

"Hmmm….Robert Wortel Monginsidi." jawaban Nan membuat kening anak-anak saling bertatapan. Bingung.

"Menelusuri kehidupan yang telah berlalu," kata Laras

"Pelajaran menghapal." Singkat dan padat jawaban dari Lingga.

Setelah keliling dengan kebaya dan rok batik, anak-anak merasa lelah dan berkeringat. Mereka lalu pulang untuk ganti baju. Sementara kami menyiapkan sound system untuk menonton bersama di pos. Acaranya sendiri baru dimulai setelah maghrib.

Meski acara ini ditujukan untuk anak-anak mengingat sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tapi rupanya pos malah dipenuhi warga satu Kebun Sayur. Jarang ada hiburan yang menarik di Kebun Sayur. Sekedar menonton piala dunia atau Thomas Cup bersama saja, sudah jadi hiburan yang istimewa. Apalagi kali ini, yang digelar film sejarah ala layar tancap.

Kenangan orang-orang tua pun kembali pada masa kecilnya di orde baru. Saat itu, jarang orang yang punya televisi. Layar tancap pun jadi idola. Tentu film yang diputar layar tancap hanya yang itu-itu saja: film kolosal, film pahlawan atau film warkop DKI.

Waktu menonton bersama, tawa warga Kebun Sayur pecah melihat adegan penyerangan yang dipimpin Letnan Komarudin. Rencananya setelah agresi militer II yang dilakukan Belanda, tentara Indonesia akan melakukan serangan besar-besaran pada tanggal 1 Maret jam 06.00, di seluruh lini.

Tepat pukul 06.00, sirine berbunyi dan Letnan Komarudin memimpin pasukannya melakukan penyerangan pada tentara Belanda.

"Seraaaaangg….," ujar Letnan Komarudin.

Tapi ada yang aneh, ternyata hanya pasukan pimpinan Komarudin yang menyerang. Tentara Indonesia yang lain belum bergerak. Letnan Komarudin pun menyadari ada yang janggal. Dia lantas memerintahkan pasukannya untuk mundur.

"Munduuuurrrr….sekarang baru tanggal 28 Februari. Penyerangan 1 Maret-nya besok…."

Semua penonton di pos langsung terpikal-pikal. Termasuk juga pendamping. Ternyata banyak pendamping yang belum pernah menonton film Janur Kuning.

Kupikir-pikir, barangkali begitulah sejarah. Seperti megahnya kisah Penyerangan Umum 1 Maret yang tetap menyimpan ruang untuk alpa. Realitas tak hanya berisi epik kepahlawanan. Bukan cuma kisah Satrio Piningit atau Ratu Adil penyelamat negara. Tetapi juga kisah orang-orang biasa, juga tokoh-tokoh yang dianggap hebat, lengkap dengan keluguan dan kekhilafan yang pernah mereka lakukan.

Sejarah mengajarkan kalau tidak ada yang sempurna. Sebab, kita bukan manusia setengah Dewa.

"Rei…," Nan menghampiriku yang berdiri di bawah pos. Lalu mengeluarkan bungkusan dari tas ranselnya. "Ini untukmu."

Aku terima bungkusan itu. "Apa ini?"

"Batik Kebumen, dari kampung ibuku. Itu tulis asli. Rei suka sekali dengan batik tulis kan? Kata pembatiknya, itu batik motif burung Walet, khas Kebumen."

Aku perhatikan batik pemberian Nan yang didominasi warna biru tua dan cokelat. Motifnya burung Waletnya cukup besar, tetapi dihias dengan isen-isen bunga dan cecekan yang padat. Penuh sekali. Aku tahu harganya pasti mahal.

"Seleramu bagus sekali, Nan, ini batik yang bagus dan mahal."

Nan hanya tertawa. "hahaha…aku tidak mengerti tentang batik, sepenuhnya aku percayakan pada pembatik itu."

"Kau datang sendiri ke kampung batik di Kebumen? Kalau tidak salah di Tanuraksan, kan?"

Nan kembali tertawa. "Hahaha…iya, keluargaku saja sampai bingung. Mereka tidak tahu kalau Kebumen punya kampung batik. Tapi karena aku tahu Rei sangat suka batik tulis, jadi aku cari kampung batik itu."

Aku lihat mata lelaki yang jenaka itu. Dua bola matanya bersinar seperti mata anak-anak. Sedang senyumnya tetap mirip dengan Joker. Dalam hati, aku bertanya, mana yang lebih berkuasa dalam dirinya: keluguan anak-anak ataukah seringai sinis milik Joker? (Bersambung)