webnovel

JIWA ABADI USIA BERGERAK (TAMAT)

"Kadang aku berpikir tentang hujan. Barangkali hujan salah satu mahluk paling purba. Bertahun-tahun mengalami siklus yang sama. Entah sudah berapa jaman yang dilalui? Dia pasti tahu banyak rahasia.” Nan menatap tetes hujan yang jatuh jadi genangan. “Ada yang bilang, hujan membawa pesan anak-anak di penjuru dunia. Siapa lagi yang bisa berkelana begitu jauh, selain hujan dan angin?” Aku menoleh dan melihat lelaki yang dulu sempat mengisi hari-hariku. “Kau bisa mendengar pesan itu, Nan?” Nan menengok dan menatapku. “Kurasa begitu.” Aku tersenyum. “Bagus, jika suatu hari nanti aku tidak bisa mengirim pesan padamu, pesan itu akan kutitipkan pada hujan.” Kami terdiam lama. Hujan masih deras. Sore berubah jadi petang. Lalu memasuki awal malam. Hujan masih terus bercerita.

rikadiary85 · Urban
Not enough ratings
22 Chs

KEBUN SAYUR IMPIAN KAMI

"Aku ingin jadi pemain bola, Kak!" Suara lantang Wahyu membuatku tersenyum.

Waktu menunjukkan pukul 11.30. Anak-anak Kebun Sayur belum semuanya kumpul. Suara Asih juga belum terdengar dari toa Mushola. Aku mencuri sedikit waktu untuk bicara dengan Wahyu dan Johan. Kami sedang bahas cita-cita.

"Kalau aku, dulu ingin sekali jadi tentara," ujar Johan. "Tapi sekarang mau jadi polisi saja."

"Kok berubah? Kenapa?"

Johan menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Berat, Kak."

"Apanya yang berat? Latihannya?"

Kening Johan langsung berkerut. "Bukan, tasnya."

Aku langsung tergelak. Astaga, polos sekali anak ini. Bicara dengan mereka selalu berhasil membuat hariku lebih berwarna. Ada saja aksi lugu dan lucu yang mereka pamerkan. Aduh, anak-anak ini, hampir dua tahun menawan hatiku. Tidak terasa memang.

Waktu bergulir begitu cepat. Tidak bisa ditahan. Nan saja sudah hampir satu tahun. Laras, Surya dan Wira malah sudah tiga tahun. Perlahan tapi pasti, kondisi Kebun Sayur semakin membaik dan mendapat perhatian berbagai pihak.

Dua minggu lalu, seorang wakil rakyat datang ke Kebun Sayur. Lelaki itu anggota DPR yang sedang berkeliling mendengar aspirasi rakyat. Lelaki keturunan Tionghoa itu mantan Bupati di wilayah Sumatera. Konon di daerahnya, dia sangat terkenal.

"Ayah saya pernah bilang, kalau saya mau jadi politisi, adik saya harus ada yang jadi dokter dan pengacara. Katanya biar saya tidak diracun dan kalau terjebak kasus hukum, ada yang membela…hahaha…syukurlah, adik-adik saya akhirnya benar-benar jadi dokter dan pengacara," ujarnya saat diskusi dengan pendamping dan tim sembilan di pos besar.

Sebelumnya, lelaki itu sudah lebih dulu mencatat uneg-uneg warga Kebun Sayur. Beberapa anak Kebun Sayur bertanya padaku tentang diskusi kami dengan wakil rakyat itu. Seperti biasa, anak-anak selalu ingin tahu semua yang dikerjakan orang dewasa.

Apalagi jika menyangkut kedatangan orang-orang yang dianggap penting. Aku bilang pada anak-anak di kelompok 5 kalau wakil rakyat itu berjanji mencarikan jalan keluar atas status tanah Kebun Sayur yang belum jelas.

Pernah ada usulan dari Wira, andai kata memang sudah mentok dan tidak ada lagi titik temu antara warga dan perusahaan, terpaksa tanah di Kebun Sayur dibagi dua. Warga Kebun Sayur mendapat setengah dari tanah yang ada dalam sengketa. Tanah itu kemudian ditata sedemikian rupa, agar cukup untuk pemukiman, lahan produktif yang bisa digarap dan tempat untuk belajar.

Aku pikir ide Wira ini bisa juga didiskusikan dengan anak-anak di kelompok 5. Toh, anak-anak inilah yang nantinya akan meneruskan estafet di Kebun Sayur. Aku meminta anak-anak untuk ikut memikirkan ide Wira ini.

Jika tanah di Kebun Sayur dibagi dua dan harus ditata ulang, kira-kira fasilitas apa saja yang harus dibangun dan berapa luasnya. Sekalian anak-anak belajar skala dan membuat denah.

Meski usia anak-anak di kelompok 5 masih sekitar 12-14 tahun, tapi kulihat mereka jauh lebih kritis dari anak-anak seumurnya. Tidak ada salahnya mulai menerapkan pola pendidikan kritis pada anak-anak di kelompok 5.

Pendidikan kritis dalam konsep Freire memang membutuhkan kedewasaan, kematangan pikiran dan dialog yang terbuka. Pendidikan kritis tidak mungkin lahir dari interaksi yang kaku dan satu arah. Ini beda sekali dengan pendidikan gaya bank.

Pendidikan gaya bank membuat anak-anak bersifat pasif. Seakan guru tahu segala hal, sedang murid seperti celengan yang siap diisi apa saja yang diberikan si guru. Murid tidak harus mengerti, cukup menghapal saja.

Pendidikan gaya bank yang dikritik Freire membuat anak-anak tidak memiliki kesadaran kritis. Sebagai gantinya, Freire menawarkan pendidikan hadap-masalah.

Dalam konsep pendidikan hadap-masalah, guru dan murid berada dalam posisi yang sejajar. Sama-sama belajar. Fungsi guru atau pendidik hanya menyiapkan materi sebagai pemantik diskusi yang merangsang hasrat untuk berpikir lebih dalam, kreatif dan solutif.

Freire membagi kesadaran dalam tiga kategori. Kesadaran magis membuat manusia menempatkan semua kesialan hidupnya pada sesuatu di luar dirinya sendiri. Manusia dibius dogma pasrah tanpa mau berusaha.

Kesadaran naif lahir saat manusia merasa pesimis. Manusia menyalahkan masyarakat, strata sosial dan lingkungan atas nasib buruk yang menimpanya.

Yang paling menarik, kesadaran kritis. Bagi pemikir kritis, yang terpenting adalah perubahan realitas, demi kelanjutan proses memanusiakan manusia. Tetapi bagaimana cara menumbukan kesadaran kritis? Dengan dialog.

Ini kunci yang paling penting dalam metode pendidikan hadap-masalah. Dialog menjadi perjumpaan sesama manusia. Tapi dialog harus didasari cinta.

Inilah tugas besar pendamping. Menanamkan rasa cinta saat dialog berlangsung. Dialog tidak akan terjadi tanpa kerendahan hati. Jangan ada yang mendominasi dan mematikan kreatifitas yang lain. Seperti kata Freire, cinta harus melahirkan tindakan-tindakan pembebasan berikutnya; jika tidak, dia bukanlah cinta.

Dialog itulah yang terus kami upayakan. Di kelompok 5 sendiri, kami terbiasa memulai belajar dengan diskusi ringan. Aku meminta anak-anak membuat catatan harian. Ini agar mereka terbiasa menulis.

Kadang catatan itu dibacakan di dalam kelompok. Lalu kami diskusi sebentar. Kadang, aku mengajak anak-anak diskusi tentang pendidikan. Beberapa menit, anak-anak membaca artikel yang aku siapkan dari rumah.

Mereka menulis pendapat mereka sendiri. Baru setelah itu mengemukakan pendapatnya secara lisan di dalam kelompok.

Beberapa anak membuatku terkejut. Yanti mengkritisi pola pendidikan di sekolah yang dibuat "horor". Dia jadi malas ke sekolah dan enggan belajar. Dalam benaknya, belajar sangat membosankan.

Nida mengkhawatirkan masa depannya. Sebagai anak tukang sayur, mungkinkah dia bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi?

Sedang tulisan Iyom membuatku terdiam sesaat. Ada beberapa hal yang dikritisi. Tetapi yang paling penting dari catatannya adalah kritisi pendidikan untuk kaum miskin.

Iyom mempertanyakan ide sekolah formal. Sebab sekolah formal tidak mungkin bisa dijangkau oleh anak-anak di kolong jembatan. Sekolah formal yang kaku juga tidak cocok bagi mereka yang biasa hidup di jalanan.

Anak-anak perempuan di hadapanku ini masih kelas 6 SD dan (paling tua) baru kelas 2 SMP. Tetapi mereka sudah memikirkan apa yang tidak pernah kupikirkan sampai kelas 3 SMA. Kurasa anak-anak ini dididik oleh realitas sosial. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat dan rasakan secara langsung.

Selesai diskusi pendidikan, anak-anak di Kelompok 5 mulai presentasi hasil gambar mereka—berupa denah Kebun Sayur yang pernah kuminta. Berhubung ini tugas yang agak sulit, jadi aku bagi ke dalam tiga kelompok. Ada kelompok Neni dan Zeulin, Maya dan Iyom, dan terakhir, kelompok Tri, Nida dan Yanti.

Denah milik Neni dan Zeulin jadi yang paling rapi dan bagus. Tetapi yang lainnya pun tidak kalah menarik. Mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Awalnya mereka ubah dulu ukuran dari hektar ke m2, baru setelah itu mereka ubah lagi ke cm dan mulai membuat denah dengan skala yang sudah ditentukan.

Rata-rata setiap denah memuat rumah warga, lahan untuk berkebun, Mushola, aula, tempat belajar, perpustakaan dan ruang bersama untuk kreasi. Ini yang menarik, anak-anak ternyata sangat ingin punya tempat belajar khusus — yang bukan di pos atau Mushola.

Mereka juga menginginkan ada perpustakaan — dimana mereka bisa meminjam buku-buku baru untuk dibaca. Keinginan anak-anak ini aku bicarakan dengan Pak Rohmat — sebagai ketua dari Tim Sembilan. Pak Rohmat menyambut baik usulan tempat belajar anak-anak. Kebetulan di depan Mushola ada rumah kosong. Rumah itu sendiri hanya terbuat dari bilik bambu.

Pak Rohmat mengumpulkan warga dan meminta mereka membantu pembangunan ruang belajar dan perpustakaan untuk anak-anak. Cepat sekali bertindak. Ada yang menyumbang pasir, batu-bata dan juga uang. Hanya butuh waktu satu minggu untuk meratakan rumah kosong di depan Mushola itu.

Pembangunan ruang belajar yang baru untuk anak-anak segera dimulai. Air mataku menetes. Terima kasih, anak-anak Kebun Sayur akan punya ruang belajar baru.

Saat lahan untuk ruang belajar baru itu sedang dibersihkan, beberapa anak laki-laki lewat di depanku. Mereka ini anak laki-laki yang sudah SMP. Ada Deni, Rusdi dan Riki. Sudah agak lama mereka tidak ikut les setiap hari minggu. Sore itu, aku dan Nan mengajak mereka mengobrol sebentar.

"Kita sekarang mengamen, Kak," ujar Deni

"Iya Kak, lumayan pendapatannya," kata Riki

Aku menoleh ke arah Nan yang memintaku untuk tidak frontal menghadapi anak-anak.

Aku tersenyum sebentar. "Memangnya sehari dapat berapa?"

"Tergantung, kak, paling sedikit Rp 50.000,00. Tapi kalau lagi untung, bisa dapat Rp 300.000,00."

Aku tercengang. Banyak juga, pantas anak-anak ini lebih suka mengamen. Kalau dibiarkan, anak-anak bisa malas belajar. Toh tanpa harus lulus sekolah, mereka bisa dapat uang. Kalau melarang mereka mengamen dan fokus belajar, setidaknya kami harus menyalurkan bakat dan minat mereka di bidang musik.

Nah, sekalian saja aku minta mereka bermain musik dan bernyanyi. Kebetulan Nan juga pandai sekali bermain gitar. Ini menjadi daya Tarik sendiri bagi anak-anak yang suka musik. Tapi anak laki-laki ini tidak suka lagu-lagu yang ada di televisi.

Arkim yang melihat kami ingin bernyanyi dan bermain musik, langsung minta dimainkan lagu Cinta Pembodohan dari Marjinal. Tapi anak laki-laki yang lain, ada juga yang minta lagu Superman Is Dead. Anak-anak ini rupanya suka dengan musik indie yang bertema perjuangan dan pembebasan.

Akhirnya Riki dan kawan-kawan malah memainkan lagu "Kembali" dari Steven & Coconut:

"Dari semua yang pernah…aku jalaniii….di sini yang berikan…damai di hati…."

Syair yang menusuk langsung ke hatiku. Mungkin benar, tepat sekali, Kebun Sayur ini akan selalu jadi tempatku untuk kembali. Nanti, bertahun-tahun kemudian, ketika aku tidak lagi menjejak di Kebun Sayur, lagu ini akan selalu aku senandungkan. Sebab disinilah aku tumbuh, merasakan damai dan menemukan cinta.

Selepas sholat Maghrib, aku dan Nan keluar dari Kebun Sayur. Kami makan malam sebentar. Aku terlalu bahagia dengan pembangunan ruang belajar yang baru.

Melihat anak-anak pandai bermain musik, aku rasa memang perlu ada ruang khusus untuk anak-anak mengeluarkan bakat seni. Ah, anak-anak itu, selalu saja pikiranku tercurah untuk mereka.

"Nan, menurutmu bagaimana kalau kita buat juga ruang untuk anak-anak menyalurkan hobi mereka…ah, kurasa nama yang tepat ruang imaji dan kreasi. Bagaimana menurutmu?"

Nan rupanya sedang bergulat dengan pikirannya. Dia malas menanggapiku. Dia malah mengeluarkan kata-kata yang membuatku kesal.

"Kau kenapa? Aku kan sedang membahas tentang anak-anak di Kebun Sayur, Nan. Tentang harapan mereka, cita-cita mereka….tentang mimpi kita."

Nan menatapku dengan sinis. Senyum Joker itu kembali menyeringai di wajahnya. "Kita? Bukan! Itu mimpi Rei, bukan mimpi kita."

Aku terperanjat. Jarang Nan bersikap seperti itu padaku. Adakah kata-kataku yang salah? Atau adakah sikapku menyinggungnya? Aku tidak mahir menghadapi laki-laki. Dalam urusan laki-laki, nilai raporku merah. Jarang aku bisa mengerti apa yang ada dalam pikiran para titisan Adam. Bisa dibilang, aku tidak peka.

Nan sadar kata-katanya sudah membuatku sedih. "Maafkan aku, aku hanya sedang banyak pikiran."

Aku mencoba mengerti. "Apa yang Kau pikirikan?"

"Aku masih begini-begini saja, sedang teman-temanku sudah sukses."

Aku menatap Nan yang lebih banyak menunduk. Makananku sudah habis. Aku meminta pelayan membawakan tagihannya ke meja kami.

"Memang apa definisimu tentang sukses?"

Nan menggaruk kepalanya berulang kali. "Teman-temanku sudah kerja….sudah mapan….juga sudah menikah…."

Pelayan membawakan tagihan makanan. Nan membayar makanan yang kami pesan. Aku melihat Nan sekali lagi.

"Kau kan sudah kerja."

"Iya…tapi kan di perusahaan Bapakku."

"Sukses kan tidak harus selalu dinilai dari pekerjaan dan pernikahan, Nan," ujarku menenangkan.

Tetapi Nan sepertinya sedang tidak bisa diajak bicara.

"Lalu apa? Hidup memang begitu kan? Kalau sudah kuliah, ya harus kerja…sudah itu menikah…memang mau apa lagi?"

Kata-kata Nan membuatku seperti ditampar. Hampir setahun, ternyata aku tidak benar-benar mengenal lelaki ini. Barangkali dia hanya sedang gundah. Barangkali, setelah tenang, jiwa polos anak-anaknya kembali lagi.

Sungguh tidak bisa dipercaya, bintang jatuhku memaksa dirinya sendiri untuk mulai "seragam". Dia mulai mempersoalkan kemapanan hidup yang berbanding lurus dengan harta-benda.

Bagi sebagian orang, hidup barangkali hanya menjawab tanya dari kapan ke kapan. Waktu kuliah, ditanya kapan lulus? Sudah lulus, ditanya kapan kerja? Sudah kerja, ditanya kapan menikah? Sudah menikah, ditanya kapan punya anak? Selalu ada segerombolan orang yang sibuk mengurus hidup orang lain.

Selalu ada ukuran tertentu yang dipatok masyarakat untuk urusan lulus, kerja, menikah dan punya anak. Sedang Tuhan saja menciptakan manusia beda-beda. Kenapa pula harus punya nasib dengan deretan angka yang sama?

Kupikir Nan tidak terlalu peduli dengan hal remeh semacam itu. Bukankah dia selalu menjebakku dengan dialog-dialog yang menguras pikiran? Kenapa baru sekarang dia bicara tentang kategori sukses dan mapan yang terkesan sangat basi?

Aku berdiri dari kursi tempatku duduk.

"Kau mulai seperti lelaki kebanyakan, Nan. Dan….kebanyakan lelaki sungguh membosankan."

Aku tinggalkan Nan yang masih termenung di dalam restoran. Firasatku tidak enak. Sepertinya akan terjadi badai besar diantara kami. (Bersambung)